Ucapan Sayang Untukku, Kasih Bagimu

22 12 2006

UPDATE 22 Desember 2011 :

Anak yang saya ceritakan disini, saat ini sudah berusia 16 tahun dan kuliah di Teknik Informatika Universitas Brawijaya Malang……tidak ada lagi puisi ataupun surat kecil darinya di Hari Ibu ….tetapi kelembutan dan pengertiannya pada ibunya semakin diperlihatkan dengan berbagai cara……..dan postingan ini selalu menjadi pengingat manis tentang Hari Ibu bertahun lalu…….sedangkan sang adik, juga bertumbuh dewasa dan menyayangi ibunya dengan cara yang berbeda juga…….

*****

Pagi hari tepat di tanggal 22 Desember ini, aku tidak banyak berpikir tentang hari ini saat bangun mempersiapkan rutinitas harian. Aku tahu hari ini tentang apa. Satu-satunya alasan aku tidak menganggapnya istimewa, adalah karena hari ini diperuntukkan wanita-wanita istimewa. Wanita-wanita dengan segudang prestasi, dengan segudang kasih dan pengorbanan bagi keluarganya, dengan banyak perbuatan besar yang nyata terlihat. Dan aku, tidak ada di daftar itu. Ketika aku menunjukkan rasa lelah pada suami dan anak-anak, aku selalu berpikir, tidak selayaknya hal itu terjadi. Ketika aku menyatakan kekecewaan untuk sebuah harapan yang dibangun bersama, aku selalu berpikir seharusnya aku punya rasa maklum yang lebih dari yang diharapkan. Atau ketika aku kurang suka dengan tingkah anak-anak yang kurang bertanggungjawab pada tugas, aku berpikir seharusnya aku punya hati seluas samudra untuk bersabar. Maka, aku merasa belum banyak berbuat untuk buah hatiku, permata hati dan kekasihku. Maka, hari ini bukan untukku.

Kenyataannya, pagi ini aku disodori sebentuk surat dalam amplop putih. Di bagian muka amplop itu tertulis:

Dari : Ari
Untuk : Ibuku Tersayang

Kepada Ibuku yang mengasuhku selama ini, kuucapkan selamat hari ibu. Semoga sehat selalu dan tak pernah lupa padaku dan kenangan selama ini bersama keluarga. Maafkan aku yang selama ini belum mengucapkan terima kasih, maka bersama surat ini aku mengucapkan terima kasih atas jasamu selama ini. Mungkin hanya ini yang bisa kuberi sampai saat ini untuk berterima kasih karena semua jasa orang tuaku tak akan terbalas olehku sampai kapanpun. Dengan penuh rasa sayang dan terimakasih kuucapkan lagi, Selamat Hari Ibu.

Bukan cara menulis surat yang benar, karena surat itu ditempel , sekali lagi, di bagian depan amplop. Tapi ini menjelaskan hal lain, yaitu bahwa di dalam amplop itu terlipat kertas putih berisikan puisi ungkapan perasaan , seperti ini :

Jasa Ibuku
BERTAHUN-TAHUN IBU MENGASUHKU
BERTAHUN-TAHUN PULA AKU TAK BERTERIMA KASIH
AKU TELAH LUPA AKAN JASA IBUKU
AKU TELAH LUPA SEMUA DOSAKU PADA IBUKU

IBU….
SEMBILAN BULAN ENGKAU BERJUANG MENGANDUNGKU
LALU ENGKAU BERTARUH NYAWA MELAHIRKANKU
PERJUANGANMU SUNGGUH BERAT IBUKU
MAAFKAN AKU IBUKU….
AKU TAK PERNAH BERTERIMA KASIH ATAS JASAMU

IBU,
MAAFKAN ANAKMU YANG BANYAK BERDOSA PADAMU INI
SEKARANG, AKU AKAN BERTERIMA KASIH PADAMU
ATAS SEGALA JASAMU YANG TAKKAN BISA KUBALAS

SAMPAI KAPANPUN
Lalu, ada foto kami berdua di bagian bawahnya. Apa yang kulakukan dengan itu semua? Tak mampu satupun, baik berkata atau melangkah, untuk waktu sekian menit. Ari, sudah sejak tadi pergi ke kamar mandi mempersiapkan harinya dan meninggalkanku sendiri di dapur. Aku bukan jenis orang cengeng yang akan segera mengalirkan air mata. Tapi jelas, semua yang kubaca memberikan irama lain dalam debar jantungku. Dan airmata itu mungkin mengalir di setiap sendi tulang dan bersama aliran darahku, karena mendadak terasa dingin badan ini.
Dan kerongkongan yang sakit karena tercekat keharuan.

Ketika akhirnya kami akan berjalan ke ruang makan, aku cuma mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya dan kucium puncak kepalanya. Adiknya, melingkarkan lengannya di pinggangku dan menyembunyikan kepalanya di perutku.
Satu yang aku tahu, betapapun aku tidak merasa punya banyak arti atau belum banyak berbuat untuk mereka, tapi tidak begitu di mata kekasih-kekasih kecilku. Dan betapa terkejutnya aku ketika menyadari aku lalu memiliki energi besar untuk percaya diri bahwa aku ada di daftar para ibu. Dan membuatku kemudian bergirang hati untuk saling mengucapkan selamat untuk ibu-ibu lain, baik melalui SMS ataupun sapaan dalam shoutbox.

Dan inilah yang ingin kuucapkan :

“Untuk semua wanita,
yang selalu memiliki cinta kasih,
yang tak akan pernah habis untuk dibagi,
SELAMAT HARI IBU….”




Wadah Tak Sebesar Nafsu

19 12 2006

Yang namanya manusia betul-betuk makhluk yang paling komplit diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Dimulai dari hardware hingga softwarenya, meski makhluk hidup lain juga diberi hal yang sama, keberadaannya sudah dalam bentuk yang paling mutakhir. Bahkan begitu mutakhirnya seringkali malah menimbulkan masalah tersendiri bagi pemiliknya, terutama jika tidak hati-hati memeliharanya. Paling mudah contohnya adalah soal software yang namanya nafsu. Tanpa perlu kujelaskan disini, semua pasti “nyandak” atau “ngeh” masalah-masalah apa yang bisa timbul dari nafsu ini. Tapi aku malas bicara soal nafsu yang bisa menjerumuskan seorang manusia bahkan yang berstatus ulama menjadi orang yang suka membenar-benarkan sesuatu yang tidak benar. Itu kan tidak seperti orang salah ketik atau salah cetak yang bisa mudah dibenarkan. Ini soal nafsu makan saja.

Orang hidup jelas perlu memiliki nafsu makan. Kalau tidak, dikhawatirkan lukisan-lukisan tidak indah lagi karena bentuk tubuh manusia yang diulaskan di atas kanvas hanya sebuah garis lurus bercabang empat. Dengan adanya nafsu satu ini, maka berbahagialah kita sebab akibat berikutnya adalah munculnya ide-ide kreatif untuk membuat berbagai ramuan yang enak-enak untuk disantap. Kita akhirnya bisa memiliki aneka pilihan makanan dari segala penjuru dunia untuk memenuhi perut. Bayangkan jika di hadapan kita tersaji pilihan Sop Buntut Goreng, Nasi Ayam Hainan, Udang Mayonaise, Asinan, Rujak Cingur, Soto Mie, Spaghetti Bolognaise, Pecel Lele, Tempe Penyet dengan lalapan, dan banyak lagi. Begitu besarnya nafsu kita melihat itu semua, rasanya segalanya ingin dikunyah dan otomatis ditelan. Dan memang ada juga jenis orang yang bisa melakukan itu untuk beberapa jenis makanan sekaligus. Setelahnya, mungkin pingsan kekenyangan meski belum tentu juga kapok.

Di rumahku, masalahnya kita sekeluarga tidak pernah akan pingsan untuk kasus kelebihan makanan. Mengapa, langsung kujawab saja bahwa ini berkaitan dengan wadah alias lambung yang kecil. Aku dan Pak Uban senang sekali menerima tamu ataupun keluarga untuk bertandang di gubuk kecil kami. Lalu, kami akan dengan senang hati juga menyuguhkan aneka kue, makanan berat, minuman hingga aneka cemilan untuk keramaian itu. Tentu saja sesuai kondisi dompet pada saat itu. Tapi apa saja yang kami miliki tidak akan kami sembunyikan. Salah satu alasannya adalah kami senang sekali melihat orang lain makan banyak, sebuah kemampuan yang tidak kami miliki sama sekali. Kami iri melihat kemampuan keponakanku misalnya, makan dengan porsi besar dan tiga kali mengisi piring yang segera kosong.

Ketika keramaian berakhir dan semua pengunjung rumah kami kembali ke habitatnya sendiri, kami seringkali kuatir jika masih juga tersisa makanan di rumah. Itu akan menjadi PR terbesar kami untuk beberapa hari ke depan. Bisa terjadi aku tidak akan belanja selama beberapa waktu karena masih mengolah ulang makanan yang ada, entah sekedar menghangatkan atau memodifikasinya lagi. Kami berempat di rumah ini tidak akan sanggup menghabiskannya dalam satu hari bahkan untuk satu panci kecil saja. Bukan cuma itu. Nasi pun seringkali dengan sedih terbuang karena sudah menguning di magic jar sebelum kami sempat menyantap. Lalu, apa isi perut kami? Aku saja sebagai contoh. Jika jam 10 pagi sudah terisi setengah porsi nasi sayur plus minum susu, maka akan bisa dilihat aku melakukan hal yang sama pada waktu yang sama, keesokan harinya. Anak-anak, mereka sudah makan di sekolahnya. Dan jika ingin melihat mereka makan di malam hari , urat leher ini pasti menonjol dan membiru bekerja keras menyuarakan permohonan untuk mereka melakukan hal mulia itu. Ada memang jenis makanan tertentu yang menjadi kesukaan mereka, tetapi idealnya toh menu harus terus berganti. Atau jika tidak, mereka sudah kenyang dengan sereal susu milik wong bule saja. Selesai cerita. Pak Uban….ah, gambarannya sudah didapatkan dari cerita sebelumnya.

Maka, jika pagi hari ada teman yang bertanya di halaman obrolan tentang masakanku hari itu, sebaiknya jangan segera percaya dengan jawabanku. Aku akan membuka rahasia disini, bahwa kadang ketika aku mengatakan sedang masak sesuatu makanan, bisa jadi itu hanya angan-anganku saja. Atau, jika memang benar hari itu akhirnya aku masak, tolong jangan ditanya masakan terbaru untuk sekitar 3 hari ke depan. Bukan apa-apa, karena seringkali memang tidak bernama alias masakan baru yang didapat karena memodifikasi yang sudah ada dan tidak kunjung habis. Satu prestasi besar jika kedapatan dalam satu hari itu tiba-tiba masakanku tak bersisa. Artinya, empat orang ini sedang dalam nafsu terbesarnya untuk menghabiskan sepiring lauk dan menjadi cadangan tenaga untuk keesokan harinya. Sungguh-sungguh kami bernafsu sekali melihat orang lain makan banyak dengan lahapnya di hadapan kami. Dengan demikian, tidak heran jika keluarga kami lebih senang berkumpul di rumah kami. Bercengkerama di pendopo, dengan aneka hidangan yang menjadi nafsu dan cita-cita kami, tetapi wadahnya adalah perut mereka.





Hhhh……

14 12 2006

Waktu aku masih aktif sebagai penari, rasanya orang yang mengenalku akan menilai aku lebih sibuk daripada Pak Uban. Penilaian itu semata karena aku sering bepergian ke luar kota, atau dulu juga ke kota lain yang harus dengan persyaratan paspor. Sedangkan Pak Uban, setelah tugasnya kembali ke tanah Jawa ini, hanya di seputaran Jabodetabek saja. Paling jauh ke Bandung yang kalau tidak perlu sekali, masih bisa kembali ke Depok dengan kereta api. Artinya, malam hari akan selalu tidur di rumah. Ini bukan bicara tentang kangen tidak bertemu, tapi tentang kenyataan bahwa seseorang itu lebih mudah meninggalkan daripada ditinggalkan.

Meninggalkan keluarga selalu tidak ringan, namun setidaknya kesepian itu bukan milik orang yang sedang bepergian berombongan. Segala pikiran yang mengarah pada rumah selalu teralihkan oleh keberadaan teman dan kesibukan kerja. Yang ditinggalkan di rumah, pasti bersahabat dengan sepi. Benak ini melayang pada yang jauh, apa yang sedang dilakukan saat itu bersama rombongan, bagaimana makanannya, dan banyak hal lagi tentang kesehatannya. Masuk kamar di malam hari jadi terasa aneh, sendiri tanpa teman diskusi, dan kasur juga terlihat aneh karena tiba-tiba terasa lapang. Kemarin, aku merasakan hal itu. Bukan yang pertama, tapi kejadian begini bisa dihitung dengan jari. Dan aku menjadi tidak bisa tidur karena memikirkan keadaannya di luar sana. Dengan bertumpuknya berkas yang harus diselesaikannya bersama tim, sudah pasti kegiatan tidur dan makan tidak teragendakan dengan baik.

Sejak meninggalkan rumah beberapa menit lepas subuh hingga tengah malam saja, aku mengetahui dia makan hanya sekali dan tidak pernah mengistirahatkan matanya. Kondisinya terus begitu sampai hitungan 24 jam. Aku berharap akan ada perubahan situasi setelah lewat waktu itu. Mendekati 36 jam dia bekerja, nyatanya masih juga lambungnya terlantar begitu saja. Jangan tanya soal mata kalau sudah begitu. Keadaannya sama saja. Beruntung pekerjaan itu segera selesai dan ada temannya yang sudah tidak tahan dengan kosongnya perut sehingga mampir di sebuah restoran. Ah, kebiasaan buruknya yang selalu mengatakan “tidak sempat” itu yang mengkhawatirkanku. Hampir 40 jam mata terbuka, lambung terabaikan , pikiran terus berjalan, dan harus selalu siap bertarung…..bahkan Jack Bauer pun filmnya berjudul hanya 24 ! Oh, maaf….jadi terpaksa kembali kesana. Tapi ini soal ketahanan seorang manusia! Dan ini bukan tentang orang lain yang bisa jadi lebih dari itu.

Pada akhirnya memang Pak Uban mendapatkan waktunya untuk beristirahat, sekitar 6 jam. Dia masih harus kembali pada tugasnya. Kami mengawali dengan duduk bersama di meja makan, dan disana kupaksakan segelas susu dan roti padanya. Kami bertukar cerita, dan mulai membaca SMS yang tidak sempat terbaca olehnya. Yang kubacakan untuknya….umpatan dari pihak lawan yang merasa kalah…. Oh, no! 40 jam untuk hal sampah semacam itu? Rasanya ada raksasa dari dalam tubuh ini ingin menelan siapa saja yang menuliskan SMS itu. Atau memang sebaiknya aku memelihara dinosaurus saja? Hhhhh…..





Ajaran atau Perasaannya?

7 12 2006

Susahnya menjadi orangtua tidak bisa terkatakan dengan apapun juga. Susah, karena kita harus memperhatikan segala kebutuhan anak lahir dan batin. Susah karena apapun yang kita berikan pada mereka, jangan sampai berbalik malah akan membuat hidup mereka sulit kelak dan tidak kita sadari sejak awal. Susah karena kita harus seimbang dalam memberikan kesenangan dan bekal hidup yang kita ketahui tidak mudah untuk dijalani. Susah juga membedakan antara perasaan kita kepada mereka dan apa yang seharusnya memang kita jalankan sebagai tugas orangtua mendidik anaknya. Tapi sebenarnya, segala kesusahan itu merupakan sebuah kenikmatan tersendiri karena membuat diri kita merasa lebih hidup dan ada artinya.

Aku mengaku saja bahwa dalam soal mendidik anak terhitung keras dalam soal disiplin dan tingkah laku. Lebih keras dari bapaknya, sampai-sampai kedua kekasih kecilku itu lebih banyak bertanya tentang apa yang benar dan tidaknya sesuatu itu kepadaku daripada kepada bapaknya. Atau meski telah bertanya pada bapaknya, tidak lengkap rasanya jika tidak bertanya padaku kecuali saat bicara pada bapaknya itu aku ada di samping mereka. Dari sisi ini sebenarnya juga terlihat bahwa mereka tidak hanya “takut”, tapi juga sangat dekat denganku. Kekerasanku dalam mendidik mereka soal kedisiplinan dan tingkah laku ini tentu saja berdasar pada keinginan agar mereka mampu menjadi orang teladan, dalam arti tidak hanya pintar tapi juga berakhlak baik. Sejauh ini dari pengamatanku, tampaknya mereka memiliki banyak teman dan jarang sekali terdengar orangtua lain yang kurang suka pada perangai mereka.

Dari banyak hal yang aku tanamkan pada mereka diantaranya adalah memegang janji atau ucapannya sendiri dan menghargai kerja keras orang lain terutama jika membantu kita saat sedang dalam kesulitan. Ketika kemarin si sulung menemui kesulitan dengan mobil antar jemputnya, aku berusaha mengirimkan tukang ojek kompleksku untuk menjemputnya pada jam yang diminta. Usaha ini memang tidak bisa diketahui kepastiannya karena mungkin saja tukang ojek langganan itu sedang tidak ada. Singkat cerita, tukang ojek langganan itu sanggup menjemput si sulung pada jam yang ditentukan ketika ia baru keluar sekolah. Nyatanya, pada jam yang telah disepakati itu, si sulung justru telah sampai di rumah diantar oleh tukang ojek yang mangkal di sekolahnya. Bersyukur dia sampai di rumah dengan selamat, sudah pasti. Tapi kaget, itu juga jelas. Langsung terbayang bagaimana bingungnya tukang ojek langganan yang pasti setengah mati mencari anakku itu hingga ke depan kelasnya. Spontan aku melancarkan protes pada si sulung tentang bagaimana dia tidak memegang ucapannya sendiri soal jam kepulangannya yang tidak seperti disepakati dan kemungkinan nasib tukang ojek langganan disana. Aku lupa menunjukkan rasa syukurku akan keadaannya yang selamat sampai di rumah karena keberaniannya memutuskan pulang sendiri tanpa jemputan. Si sulung yang kelas 1 SMP itu meneteskan airmata, dan aku hanya tertegun.

Aku mendadak bertanya sendiri dalam hati ,” apa yang sudah kau lakukan pada anakmu?” Apakah keinginanku menjadikan dia orang yang menghargai orang lain dan memegang ucapannya lebih penting dari keselamatan anakku sendiri? Bukankah seharusnya aku terlebih dulu memeluk dan memuji usahanya untuk berani pulang sendiri? Bukankah seharusnya kuucapkan syukurku di hadapannya untuk menunjukkan betapa senangnya aku melihat dia dalam keadaan sehat dan selamat? Mengapa aku justru memikirkan kesulitan orang dewasa yang pasti bisa mengatasi sendiri hal sepele itu, toh nanti bisa dibicarakan lagi jika dia datang ke rumah? Aku melakukan kesalahan. Aku melukai dia. Dan ini tidak bisa dimaafkan.

Perih hatiku melihat kekasih kecilku, laki-laki, menangis karena kesalahanku. Ketika si sulung sudah bisa duduk tenang, kudekati , kupeluk , dan kucium dia. Kusampaikan permintaan maafku untuk kekhilafan itu. Kukatakan apa yang salah dengan perbuatanku itu. Dan kukatakan betapa aku sangat menyayangi dia, menginginkan dia menjadi orang yang utama hingga kadang aku begitu melupakan perasaannya. Dan di luar itu semua, agar dia mengetahui bahwa orangtuanya tidak selalu berkata dan bertindak dengan benar, dan membutuhkan bantuannya untuk melihat kesalahan kami sendiri. Perih hatiku, ketika dalam dialog itu, tidak sedikitpun si sulung meluapkan rasa sedih atau marahnya kepadaku, tetapi justru terlihat sangat memahami ibunya. Ketika airmataku menjadi mengalir karenanya, disana tertulis sebuah sejarah ajaran untukku sendiri. Terima kasih untukmu, Ari….





Smack Down, You or Me?

4 12 2006

Untuk pertama kalinya aku mengeluarkan uneg-uneg (pake’ g’ atau’ k’ yang benar ya?Hhhh…) tentang situasi yang agak di luar cerita keluarga. Yah, sekedar mencurahkan pemikiran yang agak mbeludak (bahasa apa lagi kah ini?). Smack Down, yang sedang ramai dibicarakan, didiskusikan sampai dituding dan dilarang muncul. Disini, di rumahku, tidak ada aturan untuk itu. Hey! Jangan marah kalau kami tidak pusing dengan itu. Kami bukannya menyetujui tayangan kekerasan atau menyukai tayangannya. Rayi, si bungsu kekasih kecilku itu, kadang-kadang suka menonton smack down malah. Dia anak laki-laki, sudah sifatnya jika tertarik pada olahraga atau hiburan yang mengandalkan kekuatan fisik. Meski, tidak berarti menjadi laki-laki harus mudah meninjau atau membanting orang. Itu picik namanya.Hanya saja tentang ini, aku ingin melihat masalahnya dari sudut lain.

Smack Down is a shit, mungkin begitu kata orang bule yang membenci sesuatu. Maksudku, memang tidak ada manfaatnya apa-apa. Tidak ada juga ilmu bela diri yang perlu diserap dari sana, kecuali belajar membanting orang, meski semuanya hanya pura-pura. Hanya sekedar hiburan. Lalu, anak-anak peniru ulung. Ini yang kemudian menjadi masalah karena mereka sendiri tidak mengerti apa dan bagaimana sebenarnya smack down itu sendiri. Pertanyaannya, dimanakah orangtuanya pada saat putranya sedang melotot mengikuti setiap gerakan bantingan itu? Sudahkah mendampingi, bertanya tentang penangkapan mereka atau memberi masukan tentang tontonan itu? Jika memang tidak ingin putranya menonton, sudahkah melarang mereka untuk duduk di depan TV saat itu, meminta mereka tidur atau memindahkan salurannya?

Pernah aku dengar seorang ibu diwawancara stasiun TV tentang hal ini. Katanya, sudah melarang putranya untuk menonton. Tapi karena putranya itu merengek dan agak memaksa, maka diperbolehkan. Berkerut puluhan lipatan kening saya mendengarnya. Terlebih setelah putranya cedera karena meniru adegan itu, beliau lalu menyalahkan tayangannya. Hai….kemana sajakah dikau, ibu, bapak? Ketika orangtua sudah tidak mampu mengendalikan putranya sendiri terlebih kala putra itu memang masih dalam usia di bawah pengawasan, maka sia-sialah jabatan itu disandang. Itu yang selalu aku dan pak Uban terapkan dalam diri kami sendiri. Ada sesuatu yang salah disini. Layaknya pepatah : Buruk muka cermin dibelah. Walaaah…ini celaka namanya. Teori psikologi yang sering kami baca mengatakan, bahwa satu-satunya yang mampu kita atur adalah diri kita sendiri. Tidak mungkin kita meminta orang lain melakukan sesuatu untuk memudahkan hidup kita. Kesulitan dan kemudahan hidup kita adalah di tangan kita sendiri. Boleh setuju atau tidak, tapi aku mengamini. Karena seharusnyalah kita tidak mudah mengacungkan jari kita pada hidung orang lain untuk kekacauan yang terjadi pada diri kita.

Aku lebih prihatin ketika sinetron semakin banyak mengajarkan kejahatan, kedengkian dan kekotoran hati. Dan yang berperan dalam sinetron itu adalah anak-anak usia sekolah dasar hingga lanjutan. Bahkan ketika iri dan dengki itu diwujudkan dengan segala cara yang keji untuk menjatuhkan temannya, bahkan sampai tega melukai temannya. Tayangan sinetron ini lebih cepat untuk diterima secara emosi dan karenanya lebih besar bahayanya dalam merusak mental. Tak terbayangkan ketika dunia ini semakin dipenuhi anak-anak, orang-orang, berhati kotor. Mungkin kedamaian tidak akan pernah ada lagi. Akan semakin banyak kasus dilempar ke kantor polisi hanya sekedar melaporkan kasus sepele semacam salah bicara, yang seharusnya bisa dibicarakan selayaknya manusia yang beradab. Tidak perlu ada kasus anak muda seperti Ratu Felisha. Sampai perih dadaku ini kuusap terus mendengar hal-hal demikian.

Bagiku, tidak penting smack down dihapus atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani kehidupan dan tanggungjawab di dalamnya. Bertindak sebagai orangtua yang lebih bijak dan mawas diri, dan melakukan segala yang terbaik demi perangai dan amal sholeh anak-anak keturunan kita. Dan ketika terjadi masalah dalam perjalanan hidup ini, selayaknya kita melihat dulu diri masing-masing, adakah peran kita di dalam mewujudkan kekacauan itu? Ataukah memang kita memilih hidup lebih mudah dengan menyalahkan orang lain saja? Ini adalah pilihan, dan harus terus kita lakukan.