Aminah tak bisa tidur nyenyak, bahkan hampir tak mampu memicingkan matanya. Dia terlalu gembira meski tak sampai membuat dirinya laksana akan meledak. Memang tidak sebombastis itu. Baginya, cukup saja dengan senyuman yang seolah tak mau lepas dari bibir.
Dia pernah melakukan ini. Mengumpulkan semua teman masa lalunya yang telah lama tak ditemui sama sekali. Mereka yang entah bagaimana masih ada sedikit singgungan di kesehariannya, tapi tidak dengan Aminah. Dan ketika dia mengumpulkan semua yang tercerai berai, maka seperti semut mengerumuni gula kumpulan itu membesar. Sekarang, hal itu diulanginya lagi untuk jenis kumpulannya yang lain. Dari kelompok lain teman masa lalunya.
Lagi, mereka yang dia kumpulkan pun telah pernah bertemu, bersinggungan dalam jumlah kecil. Entah bagaimana pula selalu Aminah tak terjangkau keberadaannya saat dulu. Seolah tersembunyikan oleh alam dan halimun, tak kasat mata. Ketika kini dia muncul, alam membantunya. Kelompok kecil menyatu dan membesar menjadi keriaan yang tak pernah ingin diakhiri. Dan begitulah mengapa senyumnya enggan pergi.
Membuka pintu rumahnya, menata duduknya, Aminah pun tercenung. Dua gumpalan, dua kelompok, dua kolam. Yang satu dengan kenakalan-kenakalan tersembunyi dan tak berani ditampilkan terang benderang. Lingkaran nilai dan norma yang sangat kental menyelubungi, nilai yang disetujui oleh dirinya juga. Yang selalu hadir di setiap waktu sujud tanpa boleh terlewatkan. Halal dan haram sangat jelas garisnya.
Yang lainnya, begitu jelas goresannya. Entah nakal entah diam bukan masalah. Mereka yang nakal meminta ruang bagi kenakalannya dengan tanpa pengajuan keberatan dari yang diam. Halal dan haram menjadi isi kepala masing-masing dan tak pernah menjadi perbincangan. Sebagian yang diam tak mencerca, dan tawa dibagi rata.
Lalu dimana Aminah? Dia ada di semuanya. Dia ada di tengah mereka. Dia pernah nakal tapi semua pun mengenal dia alim. Dia mengikuti semuanya dan tak pernah mengingkari kenyataan masing-masing. Tak pernah membohongi hatinya untuk ya dan tidak. Dia tetap dengan gaya klasiknya, kuno, yang tak sungkan dibagi pada yang hampir tak mengenal akar. Dia juga kadang berteriak tentang nilai pada yang satu untuk mewujudkan diri sebagai manusia yang selalu ingin menjadi lebih baik. Tetapi dia tak ingin bersusah payah menyerukan apa-apa yang tak pernah menjadi masalah di satu bagian.
Aminah tersenyum. Dia mensyukuri semuanya, mengamini indahnya dua dunia yang mirip tapi tak sama. Dia menikmati keberadaannya di dalam keduanya. Dia mensyukuri kekunoannya. Dan dia berdoa untuk kelangsungan persahabatannya dengan semuanya…………..
Komentar Terbaru