Mirip Tapi Tak Sama

22 11 2008

Aminah tak bisa tidur nyenyak, bahkan hampir tak mampu memicingkan matanya. Dia terlalu gembira meski tak sampai membuat dirinya laksana akan meledak. Memang tidak sebombastis itu. Baginya, cukup saja dengan senyuman yang seolah tak mau lepas dari bibir.

Dia pernah melakukan ini. Mengumpulkan semua teman masa lalunya yang telah lama tak ditemui sama sekali. Mereka yang entah bagaimana masih ada sedikit singgungan di kesehariannya, tapi tidak dengan Aminah. Dan ketika dia mengumpulkan semua yang tercerai berai, maka seperti semut mengerumuni gula kumpulan itu membesar. Sekarang, hal itu diulanginya lagi untuk jenis kumpulannya yang lain. Dari kelompok lain teman masa lalunya.

Lagi, mereka yang dia kumpulkan pun telah pernah bertemu, bersinggungan dalam jumlah kecil. Entah bagaimana pula selalu Aminah tak terjangkau keberadaannya saat dulu. Seolah tersembunyikan oleh alam dan halimun, tak kasat mata. Ketika kini dia muncul, alam membantunya. Kelompok kecil menyatu dan membesar menjadi keriaan yang tak pernah ingin diakhiri. Dan begitulah mengapa senyumnya enggan pergi.

Membuka pintu rumahnya, menata duduknya, Aminah pun tercenung. Dua gumpalan, dua kelompok, dua kolam. Yang satu dengan kenakalan-kenakalan tersembunyi dan tak berani ditampilkan terang benderang. Lingkaran nilai dan norma yang sangat kental menyelubungi, nilai yang disetujui oleh dirinya juga. Yang selalu hadir di setiap waktu sujud tanpa boleh terlewatkan. Halal dan haram sangat jelas garisnya.

Yang lainnya, begitu jelas goresannya. Entah nakal entah diam bukan masalah. Mereka yang nakal meminta ruang bagi kenakalannya dengan tanpa pengajuan keberatan dari yang diam. Halal dan haram menjadi isi kepala masing-masing dan tak pernah menjadi perbincangan. Sebagian yang diam tak mencerca, dan tawa dibagi rata.

Lalu dimana Aminah? Dia ada di semuanya. Dia ada di tengah mereka. Dia pernah nakal tapi semua pun mengenal dia alim.  Dia mengikuti semuanya dan tak pernah mengingkari kenyataan masing-masing. Tak pernah membohongi hatinya untuk ya dan tidak. Dia tetap dengan gaya klasiknya, kuno, yang tak sungkan dibagi pada yang hampir tak mengenal akar. Dia juga kadang berteriak tentang nilai pada yang satu untuk mewujudkan diri sebagai manusia yang selalu ingin menjadi lebih baik. Tetapi dia tak ingin bersusah payah menyerukan apa-apa yang tak pernah menjadi masalah di satu bagian.

Aminah tersenyum. Dia mensyukuri semuanya, mengamini indahnya dua dunia yang mirip tapi tak sama. Dia menikmati keberadaannya di dalam keduanya. Dia mensyukuri kekunoannya. Dan dia berdoa untuk kelangsungan persahabatannya dengan semuanya…………..





Tanah dan Akar

17 11 2008

Beranjak tua, aku makin melihat begitu banyak temanku yang tersebar di seluruh dunia. Teman kecil, teman remaja di masa lalu dan teman-teman baru yang kutemui di tengah jalanku meniti kemodernan gaya hidup. Mereka dengan kehidupan mereka, mereka dengan kesulitan mereka, dan mereka dengan segala kerinduan mereka akan segala sesuatu yang mereka miliki di tanah air. Memberiku potret, memberiku pertanyaan, memberiku nuansa sebuah kekuatan yang mungkin tidak kumiliki.

Dalam perjalanan meniti hari-hari kemanusiaanku, melihat dan menghirup udara yang asing memang beberapa kali aku lakukan. Menanamkan kesan indah tentang sebuah kemewahan hidup ketika seorang manusia mampu melihat belahan dunia lain yang begitu jauh dan akan membutuhkan banyak pengorbanan untuk bisa mewujudkannya. Tak banyak merubah apapun, karena perjalanan itu hanyalah sebuah perpanjangan jangkauan pandangan mata. Kaki, masih di bumi tercinta. Tapi menanamkan jejak sepatu di negara orang dengan artian lugas tinggal dan menetap dan hidup dan mencari penghidupan disana, adalah sebuah ide yang selalu seperti gumpalan kapas di hadapanku. Tipis, rapuh, kadang mengandung bahaya jika terhirup hidung dan mengganggu pernapasan.

Aku selalu menyisakan sebuah gambaran atau pertanyaan, bagaimana mereka sampai disana. Bagaimana mereka bisa bertahan disana. Bagaimana mereka bisa memutuskan hal itu. Bagaimana mereka memiliki keberanian itu, sesuatu yang tampak luarnya aku miliki tapi sebenarnya tidak sama sekali.

Ada kelebat bayangan yang seringkali mengganggu. Aku hidup di sebuah negara yang jauh bersama dengan kekasih-kekasih hatiku. Menetap meski tidak selamanya. Mencari penghidupan. Bertahan hidup. Jauh dari akar. Sebuah potret tentang bertahan hidup yang sesungguhnya, bagiku. Karena bertahan hidup di sini tidaklah terlalu mencengangkan dan mengagumkan mengingat akarku selalu ada. Di kejauhan itu……..kemana berlari jika akar yang aku rindukan dan mengerti diri ini tak bisa digapai dalam kesulitan. Aku, nyata-nyata manusia yang tak bisa jauh dari akar. Dan karena itulah aku membayangkan untuk menjauh, untuk mencari keberanian dalam diriku. Atau mungkin untuk menumbuhkannya karena sebelumnya kerdil. Tapi tentu aku tak pernah ingin menghilangkan cinta pada tanahku. Tanahku adalah tanahku, meski tak wangi bahkan busuk kata orang.

Tepuktanganku bagi mereka yang jauh namun terus menggenggam lagu cinta tanah ini di dadanya. Tunduk hormatku bagi mereka yang asing namun ingin menjadi bagian dari tanah yang katanya busuk. Tapi tangis dan penyesalanku bagi mereka yang tinggal di tanah ini namun hidungnya sibuk membaui wangi tanah asing. Tanah busuk ini, tidak membutuhkan mereka. Dan seharusnya tak perlu aku tangisi karena memang mereka tak berguna.

Maka, aku mungkin ingin menjauh hanya untuk melapisi cintaku lebih tebal lagi. Kepada akar, kepada tanah…….kepada segala yang aku kenal sejak aku hidup.





Menilaiku……..

12 11 2008

Dulu, pernah kudengar sebuah bait. Terekam di ingatan. Tetaplah kau menjadi dirimu yang tak berubah bagi orang lain, bagaimanapun sinarmu menyala. Kini, ada banyak lagu terputar,” kamu nggak berubah yaa…” Padamu kubertanya, baikkah itu….

Di waktu-waktu diamku, kutelisik kalimat itu. Entah apa kerangka mereka yang harus kumengerti untuk bisa menilai baik atau buruk tetap dan berubah itu. Jika itu adalah kelamku, maka aku akan layu. Terpukul. Di ambang senja, mungkinkah bagiku untuk melepaskan kerak kelam yang tak disuka. Api di dada mungkin juga tak jelas nyala redupnya karena angin pasti meniadakannya dalam sekejap dan hanya catatan niatan yang ada.Yang ingin kudengar terucap hanya kalimat bersedia untuk menerima hingga kulampus.

Jika itu adalah sinarku, maka aku akan menunduk. Berucap syukur untuk keberkahan yang kumiliki. Berharap untuk terus begitu hingga kemanapun aku berada. Dan kenang aku seperti itu ketika kulampus.

Bicaraku pada hati……..seringkali sudah tak kukenali lagi tindak tanduk yang ada. Dulu aku tak mampu menggeleng, kini bahkan seringkali kulakukan meski ragu. Dulu aku tak mungkin menghapus nama, kini aku akan tegak berdiri dan melambaikan tangan selamat tinggal meski air mata membanjir. Dulu, aku tak pernah lelah menerima beban. Kini rasa lelah yang menggerogoti sulit untuk terobati dan membuatku berpaling wajah. Kekinian yang paling memukul dan kusesali. Kekinian yang ingin kusembuhkan tapi semuanya kupelajari juga dari partikel di sekitarku. Kekinianku, yang tak banyak disadari mereka yang menatapku.

Aku, juga sudah ada di masa kini. Laluku, kubawa untuk menyenangkan dirimu. Tapi sebagian kiniku menghitam ketika berkali kau tusuk jantungku.

Menilaiku dengan tombak, mungkin tak mengapa untuk mempertahankan sinar………..





Bukan Prioritas

12 11 2008

roti-unyil-008Memang betul, tampaknya aku sudah tak lagi sering hadir disini. Tak bisa juga kukatakan aku tak pernah duduk di meja ini, bukan juga bosan. Entahlah…..sebaiknya kuurai saja apa yang aku rasakan.

Setiap hari, aku masih duduk disini, dengan waktu yang tak tentu lagi. Aku masih menulis, disana dan disana. Aku masih bercengkerama dengan teman-teman, tetapi mereka sungguh adalah teman yang sesungguhnya. Teman yang hadir untuk saling menghormati, untuk saling mengejek, memuji, bahkan memberi emosi. Tetapi bukan teman yang membuatku jera. Karena mereka aku kenal dengan segala kebaikan dan kekurangannya dan mengenalku juga sebaliknya tanpa harus membelakangiku ketika kesal.

Maka, aku isi hariku dengan menulis tanpa keinginan lain selain menulis. Aku tak peduli lagi dengan halaman ini karena terasa sekali tuntutan disini sangat berbeda. Bahkan aku tak mengerti dengan rencana Pesta Blogger dan tak peduli. Aku bukan bagian dari itu. Aku hanya menghormati mereka yang pernah dan selalu hadir disini untuk bertandang meski dengan rasa maaf dan menyesal karena mungkin aku tak melakukan yang sebaliknya. Inilah kewajibanku, untuk menghormati.

Di sela itu, aku kembali menyibukkan diri di ruang dapurku. Dengan segala kebisaanku yang serba terbatas. Membuat aneka makanan, kadang terwujud seperti yang kuinginkan tapi di saat lain kegagalan yang datang. Namun semua tetap menyenangkan. Ketika selesai, kusempatkan hadir di halaman teman yang senang mengabadikan alam Jerman di kamera. Atau ke teman lain yang menerimaku apa adanya dengan segala pandanganku tentang apapun meski mungkin berbeda dengannya. Tak bisa tentu waktunya kapan aku ingin bertandang pada mereka.

Maka…..apakah arti halaman ini bagiku sekarang? Ini adalah abadi, tak lekang oleh waktu dan emosi. Tapi bukan prioritas agendaku lagi. Mungkin saat ini aku belum ingin lagi memotret persoalan kehidupan untuk dituliskan disini. Hanya tampungan rasa tak berguna. Nanti saja, ketika kalian justru tak hadir lagi disini. Dan berteman dengan tanpa alasan, maka aku akan menyelinap dan mengetikkan huruf-huruf yang kusuka.

Kamu, yang pernah menjadi primadona hatiku……..selamat tinggal.