Dimana Jendela Untuk Saya?

28 10 2010

Suatu kali, saya sengaja menikmati duduk sendiri di tengah kegelapan alam. Langit yang menghitam meski jarum jam masih di angka muda, suara gelegar alam menghentak jantung, kejar-mengejar air hujan dari atas sana saling susul untuk mencapai tanah, dan bohlam yang tidak kunjung dinyalakan……..rasanya semua itu menjadi satu kerjasama luar biasa untuk membuat warna dalam dada dan kepala ini menjadi pekat.  Ada ngeri, itu pasti. Sepertinya, saya akan ditelan alam ini tanpa sempat memberi kabar pada siapapun. Hebatnya lagi, kengerian itu juga mempertegas luka.  Ah, kok luka lagi yang saya bicarakan. Yah, anggap saja saya tak mau beranjak dari kubangan itu meski niat juga ada.

Sendiri, tidak aneh juga sebetulnya bagi saya. Dalam 24 jam waktu yang ada, 8 hingga 10 jam diantaranya saya memang selalu sendiri. Tapi belakangan ini terasakan sendiri itu adalah dingin. Sakit.

Beberapa peristiwa yang terjadi dan memporakporandakan kehijauan rasa hati terasa seperti hanya sebuah potret yang tidak ada wujudnya. Atau film yang ditonton tanpa konsentrasi penuh tapi saya ketahui jalan ceritanya secara lengkap dari bertanya kesana kemari atau pandangan sekilas lalu. Atau mungkin, seperti terjangan angin yang menumbangkan pohon-pohon besar dan membuat daun ranting berguguran porak poranda, lalu tiba-tiba diam. Mati angin, dan semua hanya cerita. Tapi pohon tumbang dan guguran daun nyata jadi satu-satunya bukti bahwa terjangan angin itu pernah ada. Tinggal saya duduk sendiri di tepi jalan, menekuri kesunyian.

Kemana yang lain? Ada. Sudah larut dalam pusaran ibukota. Luka yang ada dalam hati mereka, tertutupi pusaran angin berikutnya. Saya, suka atau tidak, tidak punya banyak pilihan untuk bisa seperti mereka. Keheningan membuat semua rasa itu jadi kental.  Justru karena mati angin itu, kegamangan menyergap saya dan menyisakan banyak waktu untuk membelalakkan mata lebih lebar dan mencari  apa yang telah terjadi sebenarnya. Sungguh-sungguh saya terduduk sendiri . Berusaha menikmati, adalah selalu jadi cara saya untuk berdamai dengan kegetiran.

Lalu saya mencoba mencari jendela yang terbuka. Untuk bertanya. Untuk bercerita. Untuk menjelaskan semua. Untuk mencari telinga yang mampu berdekatan dengan bibir ini dan melegakan hati saya, sejujur-jujurnya. Tidak ada jendela. Tidak terbuka. Saya tidak mampu menemukan jendela mana yang boleh saya ketuk dan buka. Sempat terlihat oleh saya, satu jendela yang memiliki celah kecil hingga bisikan saya bisa sampai. Saya beranikan diri membukanya lebih lebar, tapi tak pernah bisa lebih dari sejengkal. Karena jendela itu tidak saya kenali dengan baik. Begitupun terasa sedikit melegakan dan membuat saya tak terlalu pegal menyanggah beban.Ada juga jendela yang saya ketuk, tetapi yang tampak adalah gelengen kepala halus. Cerita saya tidak laku, pikir saya.

Sampai saya sadari, saya berada di sebuah jalan maha panjang yang entah dimana ujungnya. Saya tidak bisa berhenti berjalan. Harus terus berjalan. Tidak ada banyak waktu untuk berhenti dan beristirahat sekedar menitikkan airmata. Apalagi mata ini memang aneh dan sulit sekali meneteskan airnya. Mungkin saya bahkan membutuhkan burung phoenix untuk menyembuhkan luka yang ada, yang pasti segalanya tak bisa diam disitu.

Satu hal yang saya yakin adalah perjalanan ini akan selalu ditemani angin. Perlahan, segalanya akan baik atau mungkin akan terjadi lagi seperti yang lalu. Menderu kencang menumbangkan segalanya, lalu dikala lain lembut menyejukkan, dan yang lainnya bertiup kering. Di semua pergantian itu, rasanya tidak mungkin untuk saya selalu menoleh kiri kanan mencari jendela yang siap terbuka untuk saya. Suatu saat, saya harus berani mengetuk dan bertanya adakah di dalamnya yang sudi untuk saya bisikkan sebuah cerita. Dan cara itu membutuhkan keberanian, bahkan niat untuk meluluhkan sendiri kekerasan hati, dan keengganan untuk membuka bibir……….

Setiap sore, alam selalu menawarkan warna yang sama disini. Saya juga masih sendiri. Apa yang saya lakukan? Saya cuma berteriak dengan bahasa saya……………..sekuat saya bisa………..





Terpejam

10 03 2008

hening, diam dan sepi……Kalau kamu pernah mengenal rasa lelah, ada banyak yang ditawarkan dunia buatmu. Tapi apa yang kemudian akan kamu pilih semuanya hanya kamu dan kepala dan hatimu yang menentukan.

Lelah itu seperti apa ? Hanya tak bertulang? Atau tak berlidah? Bagaimana kalau tak bertulang dan tak berlidah? Dan bagaimana dengan segala tuntutan yang datang untuk meminta kata dan pemikiran darimu?

Buatku, lelah hanya ketika tulang seperti tak ada, otak tak mencerna, lidah tak berkata dan airmata mengalir bebas tak ada perintah……dan masih ada yang tak mau tahu. Selebihnya, kekuatan itu masih ada.





Terpengaruh

8 11 2007
Angan-anganku dulu pernah mencapai sebuah titik dimana tak ada kata pengaruh. Angan yang naif dan terlalu bodoh. Terlalu sederhana untuk kepala yang mulai menyemai warna lain di helaian halus mahkotanya. Dan keinginan yang ingin berendam lebih lama dalam indahnya jelajah bening sebuah akal. Nyatanya, kemanusiaanku membuatku tersadar betapa makhluk bertangan kaki kepala ini begitu lengkap sebenarnya. Dalam satu tubuh kecil saja, bisa kupunguti banyak sisi gelap terang bodoh pintar balita dan manula.

Pagi ini tercium wanginya dengan sebuah ingatan akan malam yang dihadiri beliau yang sudah pergi. Melacak jalannya, semua hanya diawali dari sebuah malam yang merindukan kehadirannya seperti malam-malam yang dulu. Mimpi yang tercipta dari kuatnya pengaruh rindu, dan keengganan pada yang dia tinggalkan. Maka kantuk yang tersisa tak mungkin lagi dilenakan kembali.

Berkelana menghibur hati kadang tak selalu memenuhi cungkup gundah yang ditengadahkan. Hati yang lurus tak beriak justru lebih berbahaya untuk menerima segalanya ke dalam cungkupnya. Ada seseorang di belahan lain dunia mengingat selarik bait sesalnya yang mengundangku bersimpati. Menjadi berempati, mencoba merasakan duka lara yang dia cecap seolah manis. Tapi empati ini datang dari daging yang hanya sepotong dan harus mampu menanggung semuanya. Maka pengaruh itu tak bisa dienyahkan lagi.

Aku terpana mendengar berita kabel menodai pagi. Ingatan tentang perempuan di belahan lain dunia ini dan rasa sesalnya, memenuhi dada dan kepala lebih banyak. Yang kudengar ini, pasti tak seujung kuku keadaan yang diterima perempuan itu. Wanita tua yang dulu menggendongku di rahimnya masih mampu berjalan. Entah semangat atau keterpaksaan yang membuatnya tampak gagah memilih jumlah roda yang bisa membawanya ke dinding-dinding berbau alkohol dan obat suntik. Tapi ingatan tentang perempuan yang masih menggendong sesal itu, membuatku tak ingin menunggu. Tak ingin menggendong sesal yang sama. Membuang waktu mungkin jauh lebih baik daripada menangis nanti.

Pengaruh. Masih terlalu menguasaiku. Membawaku tak berakal. Membawaku kadang menjadi labil. Mengingatkanku, bahwa aku makhluk yang utuh. Lagi, dalam satu tubuh kecil saja, bisa kupunguti banyak sisi gelap terang bodoh pintar balita dan manula. Sebenarnya memang indah. Menakjubkan. Membuat yang Mutlak tak mungkin dipungkiri.

Aku tak bersedih hari ini. Tawaku masih berlanjut. Mengumpankan rasa lain yang lebih melankolis dan sensitif. Aku hanya ingin menjewer kuping sendiri agar tak lupa.





Amat Dalam

29 09 2007
Sang Dewi memilih tempatnya sendiri, menyepi. Meski tak sedang berangin, tak mengapa baginya. Karena hatinya begitu penuh, karena sebuah cinta. Nikmat, terlalu nikmat rasanya, hingga menjadi begitu menyayat. Aneh, tapi amat sangat nyatanya. Karena pekat darah yang mengalir dari sayatan itu terasa manis. Dan dia cecap berulang kali.

Dia mengingat perjalanan cintanya, entah mengapa. Orang bilang unik, aneh, kadang lucu hingga tak mampu dipahami oleh mereka diluar. Satu yang begitu melekat dalam benak adalah ketika begitu sulitnya ayah ibunya menerima kenyataan kemana cintanya dia lekatkan. Banyak alasan dia dengar, tapi tak satupun yang mampu dia mengerti. Karena nafasnya telah meninggalkan catatan bahwa cinta tak pernah mudah. Tapi cinta sungguh maha luas untuk menerima semua beban, meski bukan satu-satunya. Dan itu membuatnya kuat hati menjalani segala dusta pada orang tuanya.

Cintanya terlalu tua untuknya, begitu dalam kacamata semua orang. Tapi tidak untuk sang Dewi sendiri. Caci, olok dan cemooh menjadi bagian dari udaranya. Tapi Dewi begitu yakin dengan hatinya, dibawa oleh suara nuraninya yang begitu terletak dalam. Datang dan pergi wajah muda dalam hari-harinya, sangat bisa dia nikmati. Bukan sekali dua dia mencari pengganti demi menyenangkan hati tua ibunya. Kesemuanya dia lihat secara fisik. Sampai akhirnya dia sadari apa yang dia cari secara fisik itu, juga mencari sosok yang dia cintai. Hanya secara fisik tapi semua adalah cermin wajah cintanya. Lalu bagaimana dia mampu berpaling pada lelaki lain. Jeratnya kuat mengikat hati.

Sepanjang hidupnya kemudian, yang Dewi lakukan adalah menyimak dan belajar. Lelakinya tak banyak memiliki huruf untuk diucapkan kepadanya. Tapi Dewi merasakan dengan hatinya. Dewi mencari cermin lagi untuk tahu bagaimana bicara benar sebagai perempuan. Dimana batas yang tak bisa dilampaui perempuan agar tak menyinggung kelelakian lelakinya. Dia mencari dengan keperempuanannya titik apa yang begitu menyentuh hati lelaki.

Semakin dia mencinta, semakin resah hatinya. Rasanya tak cukup apa yang dia miliki untuk diberikan. Dan begitu takutnya dia kehilangan dan tak punya lagi kesempatan untuk memberi. Ini yang menyayat. Dan sangat perih. Kata orang, jangan berikan hati perempuanmu terlalu banyak pada lelaki agar tidak hancur satu ketika. Tapi Dewi lebih senang menghadapi resiko hancur daripada membawa hati yang cuma sepotong. Dengan begitu dia merasa punya bakti. Jika ditanya apakah lelaki itu membawa cinta yang sama besarnya untuk Dewi, tak mungkin dia mampu jawab sendiri. Karena Dewi tak begitu menyimak tentang itu, tak peduli. Dan jika satu ketika itu datang, Dewi hanya ingin mengganti kulit hatinya yang tipis, dengan kepenuhan yang sama, dengan cinta yang pernah dia punya. Meski besar hati itu sudah menyusut untuk lelaki terdahulu.

Satu hal yang pasti, mengenang indahnya cinta, tak harus pada malam yang khusus……….





Catat Dalam Hati

27 09 2007
Wanita itu tak duduk sendiri. Mestinya dia tidak merasakan kesendirian. Tapi memang hati manusia tak mudah dikendalikan. Bahkan keberadaannya juga tak selalu bersama tubuhnya. Terbang menikmati angin dimana ia ingin berada. Terbang kemana ia suka.

Matanya lurus pada apa yang dihadapinya. Tak berpusat, tapi setengah mati ia pusatkan. Tak ingin terganggu, tak ingin dicampuri urusannya. Bagai cicak di dinding siap menyantap mangsa mendekat, matanya bergerak lincah mencari pengganggu yang ingin memasuki dunianya. Tapi ia bukan yang berkuasa. Tak mungkin dirubahnya diri menjadi laksana. Segala aturan resmi harus dia turuti.

Tak ada pikiran yang bisa dia pusatkan pada tugasnya. Dia hanya ingin menghibur dua teman. Yang katanya sedang menangis berdua. Tapi mereka biasa bicara bertiga. Dan dia jauh disini. Hatinya berdegup kencang. Semenit dua, lima, hingga hitungan menit ke sepuluh. Seluruh nadinya mencoba segala upaya. Segala perhatian yang dipunya dicurahkan. Semua akhirnya hancur karena mereka tak sungguh menderita. Hanya sebuah rasa ingin. Hanya karena sebuah berita yang tertiup jauh.

Tapi wanita itu tak merasakan hancurnya. Dia hidup, bahkan sangat hidup. Dan hidupnya menit-menit itu ingin mengenyahkan semua yang di sekitarnya. Karena ada yang tak tertahankan. Begitu hebat terasa akan meledakkan dada. Dan bermuara pada mulut kecilnya.

Tingkahnya menjadi mencurigakan. Menimbulkan tanya. Menimbulkan amarah pada yang berkuasa disana. Mulutnya tak henti menyuarakan ledakan tertahan. Karena dia begitu lemah untuk mampu menyimpan semua. Tangannya harus membantu sang mulut. Mendekap, melindungi dan sekuatnya menjaga agar ledakan itu tak semakin menguat. Semua ini karena sang teman. Dan salahnya terlalu cepat menanggapi berita. Terlalu mudah jantungnya berdegup.

Kriiiing……..ah, mengapa pula telepon itu harus memperjelas semuanya. Di ujung sana dia tahu pasti, temannya juga meledak bersama dia. Tapi lebih bebas darinya. Dan membuat diri sang teman itu sendiri basah airmata. Mungkin bisa menjalar padanya. Tak sekedar airmata, mungkin juga air seni. Dia amat sangat menyesal harus begitu. Pertama kali dalam hidupnya, dia menyesali berbicara dengan sang teman. Membuat dia begitu ingin, lebih ingin terbang. Agar yang berkuasa di sekitarnya tak memberinya tindakan yang lebih disesalinya. Dan dia cata dalam hati semuanya……catat dalam hati…..

Hallo Tata……jangan terus kau sesali dirimu…….PRmu kuganti dengan ini saja ya?





Dari Dapur Yang Hanya Secuil

15 09 2007
Malam ini hitungan kami, berdasarkan cara hitungan Jawa, memasuki saat untuk duduk melingkar dan mengenang 40 hari perginya satu anggota. Belum tepat 40 memang. Namun tepat atau tidak, sangat tidak penting bagi kami. Karena yang pasti, hingga hari ini napas kami masih sering tersengal mengingat semuanya. Kenyataan ini jauh lebih bermakna dari apapun juga. Ibu di kampung, rabun dan hanya berdua bapak yang sudah lemas dimakan gula, juga sibuk menari di dapurnya, untuk mendiang putra tercinta. Aku dan adik-adik, mencoba menyatukan hasrat mengharu biru dalam satu lokasi saja, tak peduli diterima atau tidak oleh wanita pendamping mendiang. Sebab nyatanya tak ada suaranya menyapa kami. Jika ini nantinya tak berhasil, mungkin memang dia harus dikenang secara berbeda di tiga tempat.

Maka, dalam dua hari ini aku harus lebih lama berada di dapurku yang hanya berbentuk huruf I, yang hanya secuil. Mengiris lebih banyak, menggoreng lebih banyak, berpuluh kali mengelap meja yang toh akan dikotori lagi. Pekerjaan lebih dari sekedar menyiapkan buka puasa dan sahur. Stamina yang prima hasil asahan hidup lebih sehat, membuat semangat menjadi berlebih. Bekal celana pendek, kaos menyerap keringat, rambut terikat, tangan berlumur bumbu memang tak sempat terabadikan lensa. Hati dan otak terpusat pada ruang dan tungku. Apapun yang diinginkan, pasti bisa dilaksanakan jika kendalinya adalah konsentrasi pikiran, kekuatan hati dan ijin dari Yang Kuasa. Dua pasang tangan dan beberapa pasang lagi yang bersifat on-off. Jumlah berapapun yang dimau tak menjadi masalah.

Kadang tarian kami ditingkahi celoteh , mengapa begini mengapa begitu. Tak hendak bergunjing, tapi kesedihan ditinggal pergi seringkali jadi membawa lemah iman. Kesadaran berpuasa harus berperang sekaligus disatukan dengan kesiapan mental menghadapi si tarantula. Tinggal mana yang lebih dewasa, lebih menghayati makna puasa dan lebih waras yang akan menang. Demi kenangan. Demi ketenangan. Demi kekeluargaan. Karena memang cintaku, cinta kami, tak ingin memilah. Dan pisau serta sendok suthil masih terus bermain. Pikiran masih mengenang. 160 box harus sudah siap di tengah hari. Telinga, entah apa yang kan didengar nanti.

Mungkin kami, aku, tidak benar-benar tak bersalah. Mungkin benarnya dia karena memang hanya itu yang mampu diberikan oleh pola berpikirnya. Tapi banyak cara bisa ditempuh untuk bertemu. Dan tidak harus selalu dibawa panas. Sedangkan dapur secuil ini toh masih mampu melakukan tugas yang lebih berat dari kesehariannya. Mestinya masih lebih baik daripada harus mencabut banyak ratu dari dapur mereka sendiri untuk terlibat pada yang bukan bagiannya. Mas, maafkan jika terasa kurang baik dalam mengenangmu. Tapi aku tahu, semua hanya berebut kasihmu yang hanya bisa dikenang dan selalu mengasihimu. Tetaplah bahagia, tidak perlu lagi menguatirkan apapun……

* terimakasih untuk pinjaman gambar dari sini





¡¡¡˙˙˙llıʇs˙˙˙˙uıɐd ǝɥʇ ǝsɐǝ

1 09 2007

˙˙˙ıuɐɯǝuǝɯ ɐıp ɐʎuɹıɥʞɐ

¡dn ʇnɥs˙˙˙˙˙˙˙˙˙”uɐʞʇodǝɹǝɯ nɐɯ ʞɐƃ ” ƃuɐlıq ıuɐɹǝq ıɐdɯɐs ‘ıuı ʇıʞɐs nɯɐʞ ɐdɐ nɐʇ ¿ɐƃuılǝʇ ıp ɐʎuɐɹɐns uɐƃuǝp uodǝlǝʇɹǝq ıdɯıɯ ¿snɹǝuǝɯ snɹǝʇ pƃn ƃuɐnɹ uɐƃǝpɐ uɐƃuɐʎɐq uɐƃuǝp ıɹɐɥ dɐıʇ ıʇɐʍǝlǝɯ ɥɐpnɯ ɐɹıʞ nɯɐʞ ¡ ʞɐqɯ˙˙˙˙˙˙˙@***^%$#@

˙˙˙˙ıɹıpuǝs uoʇuou ‘ıɹıpuǝs uɐʞɐɯ˙˙˙˙ıɹıpuǝs ɐɹɐɔ ıɹɐɔ ɐsıq nʞɐ

˙˙˙˙˙˙˙ʇʇʇʇʇʇnnnnnʇ˙˙˙˙˙ʞılʞ

˙˙˙˙˙˙˙ɐpɐ ɥısɐɯ ‘ɐʎuʞɐʎɐʞ ɐsıq ʞɐƃ –
˙˙˙ʞnʎ ɐɾɐ ıuısǝʞ ƃuɐıs uɐʞɐɯ˙˙˙˙ıpuɐɯ nɐɯ ‘ɯʎƃ ıʇuɐƃ ƃuɐnɹ *
¿ɐuɐɯıp ıuı˙˙˙uıɐɯ
ɐsıq ɯnlǝq ɥısɐɯ ıdɐʇ˙˙˙ɐloq uɐƃuɐdɐl ıp ɥısɐɯ –
¿ʞɐd ‘ɐuɐɯıp *

Note : terinspirasi seorang teman lama dan teman baru, kali ini memang aku berniat untuk out of the box…….