Suatu kali, saya sengaja menikmati duduk sendiri di tengah kegelapan alam. Langit yang menghitam meski jarum jam masih di angka muda, suara gelegar alam menghentak jantung, kejar-mengejar air hujan dari atas sana saling susul untuk mencapai tanah, dan bohlam yang tidak kunjung dinyalakan……..rasanya semua itu menjadi satu kerjasama luar biasa untuk membuat warna dalam dada dan kepala ini menjadi pekat. Ada ngeri, itu pasti. Sepertinya, saya akan ditelan alam ini tanpa sempat memberi kabar pada siapapun. Hebatnya lagi, kengerian itu juga mempertegas luka. Ah, kok luka lagi yang saya bicarakan. Yah, anggap saja saya tak mau beranjak dari kubangan itu meski niat juga ada.
Sendiri, tidak aneh juga sebetulnya bagi saya. Dalam 24 jam waktu yang ada, 8 hingga 10 jam diantaranya saya memang selalu sendiri. Tapi belakangan ini terasakan sendiri itu adalah dingin. Sakit.
Beberapa peristiwa yang terjadi dan memporakporandakan kehijauan rasa hati terasa seperti hanya sebuah potret yang tidak ada wujudnya. Atau film yang ditonton tanpa konsentrasi penuh tapi saya ketahui jalan ceritanya secara lengkap dari bertanya kesana kemari atau pandangan sekilas lalu. Atau mungkin, seperti terjangan angin yang menumbangkan pohon-pohon besar dan membuat daun ranting berguguran porak poranda, lalu tiba-tiba diam. Mati angin, dan semua hanya cerita. Tapi pohon tumbang dan guguran daun nyata jadi satu-satunya bukti bahwa terjangan angin itu pernah ada. Tinggal saya duduk sendiri di tepi jalan, menekuri kesunyian.
Kemana yang lain? Ada. Sudah larut dalam pusaran ibukota. Luka yang ada dalam hati mereka, tertutupi pusaran angin berikutnya. Saya, suka atau tidak, tidak punya banyak pilihan untuk bisa seperti mereka. Keheningan membuat semua rasa itu jadi kental. Justru karena mati angin itu, kegamangan menyergap saya dan menyisakan banyak waktu untuk membelalakkan mata lebih lebar dan mencari apa yang telah terjadi sebenarnya. Sungguh-sungguh saya terduduk sendiri . Berusaha menikmati, adalah selalu jadi cara saya untuk berdamai dengan kegetiran.
Lalu saya mencoba mencari jendela yang terbuka. Untuk bertanya. Untuk bercerita. Untuk menjelaskan semua. Untuk mencari telinga yang mampu berdekatan dengan bibir ini dan melegakan hati saya, sejujur-jujurnya. Tidak ada jendela. Tidak terbuka. Saya tidak mampu menemukan jendela mana yang boleh saya ketuk dan buka. Sempat terlihat oleh saya, satu jendela yang memiliki celah kecil hingga bisikan saya bisa sampai. Saya beranikan diri membukanya lebih lebar, tapi tak pernah bisa lebih dari sejengkal. Karena jendela itu tidak saya kenali dengan baik. Begitupun terasa sedikit melegakan dan membuat saya tak terlalu pegal menyanggah beban.Ada juga jendela yang saya ketuk, tetapi yang tampak adalah gelengen kepala halus. Cerita saya tidak laku, pikir saya.
Sampai saya sadari, saya berada di sebuah jalan maha panjang yang entah dimana ujungnya. Saya tidak bisa berhenti berjalan. Harus terus berjalan. Tidak ada banyak waktu untuk berhenti dan beristirahat sekedar menitikkan airmata. Apalagi mata ini memang aneh dan sulit sekali meneteskan airnya. Mungkin saya bahkan membutuhkan burung phoenix untuk menyembuhkan luka yang ada, yang pasti segalanya tak bisa diam disitu.
Satu hal yang saya yakin adalah perjalanan ini akan selalu ditemani angin. Perlahan, segalanya akan baik atau mungkin akan terjadi lagi seperti yang lalu. Menderu kencang menumbangkan segalanya, lalu dikala lain lembut menyejukkan, dan yang lainnya bertiup kering. Di semua pergantian itu, rasanya tidak mungkin untuk saya selalu menoleh kiri kanan mencari jendela yang siap terbuka untuk saya. Suatu saat, saya harus berani mengetuk dan bertanya adakah di dalamnya yang sudi untuk saya bisikkan sebuah cerita. Dan cara itu membutuhkan keberanian, bahkan niat untuk meluluhkan sendiri kekerasan hati, dan keengganan untuk membuka bibir……….
Setiap sore, alam selalu menawarkan warna yang sama disini. Saya juga masih sendiri. Apa yang saya lakukan? Saya cuma berteriak dengan bahasa saya……………..sekuat saya bisa………..
Komentar Terbaru