Menyapa Orang-orang di Menara Gading

19 09 2021

— Menyapa Orang-orang di Menara Gading —

Seorang teman, pernah menyebut saya adalah makhluk kuno dan langka –extinct, dalam istilahnya– bertahun lalu. Saya hanya tertawa, tak tahu tentang apa, atau harus bagaimana. Saya tak menilai diri sendiri, kan? Seiring waktu, saya menemukan apa yang dimaksud.

Salah satu kekolotan saya, adalah sulit untuk bisa mendekatkan diri dengan orang yang saya posisikan sebagai guru secara resmi. Dalam sebuah program belajar. Hampir pasti, saya tak akan berani menyapa mereka dalam suasana santai, dalam situasi pertemanan. Jika terjadi, pasti melalui beberapa tahapan mengamati dan mencoba. Lebih banyak didahului untuk didekati oleh para guru itu.

Tak ada kosa kata santai yang saya miliki untuk berkomunikasi dengan mereka. Hampir pasti, sikap saya secara otomatis resmi, menghormat. Rasa terima kasih pun disampaikan resmi dalam kata. Jika ingin bertanya di luar waktu resmi belajar, maka saya akan bertanya untuk meminta izin lebih dahulu. Di hadapan banyak orang, sesama peserta kelas.

Begitu pun dengan guru baru ini, yang oleh kalangan teman-teman baru saya, dipandang sebagai maha guru. Guru yang paling berpengaruh dalam proses pembelajaran, selain ibu kepala sekolah yang lebih ‘nyemanak’.

Dan siapa sangka, dari bertanya di luar kelas, ungkapan terima kasih, beliaulah yang kemudian menyapa saya lebih dulu dalam suasana lebih santai. Lebih santai. Lalu mulailah saya masuk dalam mode melunak. Mengikis rasa takut, mengubahnya menjadi lebih bersahabat. Bertukar pikiran dan cerita dalam keilmuan.

Hingga akhirnya, kemarin. Saya mengajak ‘ngopi’, ritual andalan untuk bersosialisasi. Tentu saja karena ada yang menemani, hingga saya berani melakukannya.

Dan sesuatu yang luar biasa adalah, beliau berkenan memilih untuk bersantai di padepokan sederhana milik saya, ketimbang tempat-tempat ngopi yang semula saya ajukan.
Jadilah kemarin satu hari menimba ilmu tambahan, yang akan saya pupuk dalam benak untuk –semoga– menambah kecintaan dalam bidang baru ini. Seperti dulu pernah saya lakukan dengan kecintaan lama yang harus saya tinggalkan. Ngangsu kawruh dengan mendengar para maestro bercerita.

Alhamdulillah.
Maturnuwun, guru.
Untuk ilmu dan kerendahhatiannya.
Sebuah kehormatan untuk saya, untuk kami.


Aksi

Information

Tinggalkan komentar