Menunggu matahari yang belum menemukan jalannya untuk datang, adalah sebuah dini hari. Mata sudah nyalang untuk sebuah pemandangan yang tak tahu apa. Dan rasa dingin dari sebuah rindu yang tak mungkin selesai tuntas, hanya dilupakan sesaat untuk meredakan penat menanti tuntasnya.
Angin-angin yang berhembus selalu membawa serta pasir yang serupa dalam butirannya. Dan kupahami sebagai aneka hiasan bumi yang selalu menyentuh dunia kemanusiaan. Marah, rindu, malu………aku bicara tentang rindu saja. Rindu, sebuah pasir yang khas butirannya, lembut mendayu namun sanggup menyayat dalam-dalam.
Hai matahari yang mulai menemukan jalan menyapa bumi, kami disini memang rindu. Tapi tak mungkin lagi terselesaikan. Tak bisa tuntas karena tak mungkin diusap. Tak mengapa, karena ketika rindu yang ini datang mengelus, menjadi alat komunikasi yang sangat layak menjembatani dunia ini dengan dunia yang sangat maya dan belum kami kenal bentuknya.
Memang, tak mudah mengartikan segala yang tak terucapkan. Tapi kasih kami yang terentang kuat tak bisa memisahkan dua dunia yang berbeda. Maka, disanalah kata-kata antara kami berpendaran untuk dimaknai dalam frekuensi yang sama. Disanalah kami mencari segala arti, yang mungkin meminta kami menggerakkan langkah dan rentangan tangan. Mungkin dia yang disana, inginkan kami tahu betapa arus air bergejolak tanpa dia ada untuk meredakannya.
Ada suara yang mengatakan mungkin kami terlalu mengingat kasih kami dan terlalu sering bicara tentang dia yang tak ada, maka dia tak mungkin pergi. Mungkin kami tak melepasnya dari buku besar kosa kata kami. Maka, itu adalah kesalahan. Tapi kau tahu, kadang dia datang tanpa diminta. Kehadirannya yang tak berujud membawa alunan nada lirih yang melingkupi dan hanya terdengar oleh hati yang terdalam. Saat ini terjadi, maka hati kami kembali bersuara bahwa pintu komunikasi terbuka untuk kami memaknai segala tanda. Dan kamu tahu, komunikasi ini hanya ada di rentang cinta yang sama kuatnya.
Tapi untuk kamu yang tak di sisi, ada waktunya bagi kami untuk tidak melakukan apa-apa selain memahami bahasamu. Sekadar khasanah yang tertimpa sinar untuk bisa terlihat dan tak harus kami sentuh dan perbaiki letaknya. Ada tempat yang tak mungkin lagi kami jamah karena dia menolak kulit tangan kami. Maka jika demikian, kami hanya mengenangmu. Tidak membantumu. Kami mungkin saja menangisi apa yang tak bisa kami sentuh untukmu, tapi kamupun tahu kenapa.
Kami tahu, ada rindu yang tak bisa tertuntaskan dan tak mungkin. Tapi biarlah ada, untuk tak menafikan semua yang pergi tak kembali dan masih ingin bicara………….
Komentar Terbaru