Masih Ingin Bicara

24 03 2008

Menunggu matahari yang belum menemukan jalannya untuk datang, adalah sebuah dini hari. Mata sudah nyalang untuk sebuah pemandangan yang tak tahu apa. Dan rasa dingin dari sebuah rindu yang tak mungkin selesai tuntas, hanya dilupakan sesaat untuk meredakan penat menanti tuntasnya.

Angin-angin yang berhembus selalu membawa serta pasir yang serupa  dalam butirannya. Dan kupahami sebagai aneka hiasan bumi yang selalu menyentuh dunia kemanusiaan. Marah, rindu, malu………aku bicara tentang rindu saja. Rindu, sebuah pasir yang khas butirannya, lembut mendayu namun sanggup menyayat dalam-dalam.

Hai matahari yang mulai menemukan jalan menyapa bumi, kami disini memang rindu. Tapi tak mungkin lagi terselesaikan. Tak bisa tuntas karena tak mungkin diusap. Tak mengapa, karena ketika rindu yang ini datang mengelus, menjadi alat komunikasi yang sangat layak menjembatani dunia ini dengan dunia yang sangat maya dan belum kami kenal bentuknya.

Memang, tak mudah mengartikan segala yang tak terucapkan. Tapi kasih kami yang terentang kuat tak bisa memisahkan dua dunia yang berbeda. Maka, disanalah kata-kata antara kami berpendaran untuk dimaknai dalam frekuensi yang sama. Disanalah kami mencari segala arti, yang mungkin meminta kami menggerakkan langkah dan rentangan tangan. Mungkin dia yang disana, inginkan kami tahu betapa arus air bergejolak tanpa dia ada untuk meredakannya.

Ada suara yang mengatakan mungkin kami terlalu mengingat kasih kami dan terlalu sering bicara tentang dia yang tak ada, maka dia tak mungkin pergi. Mungkin kami tak melepasnya dari buku besar kosa kata kami. Maka, itu adalah kesalahan. Tapi kau tahu, kadang dia datang tanpa diminta. Kehadirannya yang tak berujud membawa alunan nada lirih yang melingkupi dan hanya terdengar oleh hati yang terdalam. Saat ini terjadi, maka hati kami kembali bersuara bahwa pintu komunikasi terbuka untuk kami memaknai segala tanda. Dan kamu tahu, komunikasi ini hanya ada di rentang cinta yang sama kuatnya.

Tapi untuk kamu yang tak di sisi, ada waktunya bagi kami untuk tidak melakukan apa-apa selain memahami bahasamu.  Sekadar khasanah yang tertimpa sinar untuk bisa terlihat dan tak harus kami sentuh dan perbaiki letaknya. Ada tempat yang tak mungkin lagi kami jamah karena dia menolak kulit tangan kami. Maka jika demikian, kami hanya mengenangmu. Tidak membantumu. Kami mungkin saja menangisi apa yang tak bisa kami sentuh untukmu, tapi kamupun tahu kenapa.

Kami tahu, ada rindu yang tak bisa tertuntaskan dan tak mungkin. Tapi biarlah ada, untuk tak menafikan semua yang pergi tak kembali dan masih ingin bicara………….





Bicara “Ora Ilok” Dengan Aminah

19 03 2008

” Ora ilok ngono kuwi…..gak ilok koyok ngono iku…”

Apa itu? Yah……kata-kata itu seringkali terdengar dalam masa nafas yang lalu. Jauh ke belakang, tempat dimana hari-hari yang kini ada dirintis. Kalau kosa katanya tak tercatat dalam kamus besarmu, maka bisa kubisikkan saja bahwa itu berarti tidak baik seperti itu atau pamali. Maka, jika kalimat itu sudah mengudara, sebaiknya tak lagi dilakukan hal-hal yang akan memicu petuah berhamburan.

Ah ya…..aku bicara saja dengan Aminah, temanku yang telah lama tak kubicarakan. Mungkin dia lebih menguasai khasanah per- ora  ilok -an itu.

Begini, kata Aminah, sekali waktu kamu ingin menghirup nafas segar yang rasanya hanya ada di sebuah ambang pintu. Tentu apa yang dirangkai oleh keinginan menghirup nafas segar itu adalah kegiatan duduk, memeluk lutut mungkin, lalu sambil melihat lalu lalang meski hanya debu dan diiringi sejumlah lalu lintas cerita. Bisa terjadi memang, semua itu dilakukan seorang diri, yang artinya tentu jadi melamun melanglang jagad tak tentu arah dan berimajinasi apa saja. Maka apa yang terjadi saat itu jika lalu tertangkap sinar mata mereka yang lanjut usia, akan menerbitkan kalimat andalan tanpa penjelasan.

Memang, selalu tanpa penjelasan. Pernah kukatakan pada Aminah bahwa aku mempertanyakan sekali saja alasan ora ilok itu. Yang kusimpan hingga bertahun kemudian adalah pandangan tajam dan seolah aku telah mempertanyakan sebuah benda kepastian yang menjadi milik Gusti secara mutlak. Menjadi aib bagi seorang makhluk kecil mempertanyakan nasehat orangtua.

Aminah tersenyum. Dia memandang lurus, sebelum mengatakan, bahwa seharusnya memang aku telan saja kata-kata itu. Tidak akan rugi buatku menelan bulat-bulat wejangan itu, selain kehilangan kesenangan kecil semata untukmelakukan apa yang menjadi keinginanku saat itu. Sewaktu lalu usia makin merambat naik, banyak pemahaman baru memasuki celah pemikiran dan logika menemukan jalannya. Ambang pintu itu, adalah tempatnya lalu lalang siapa saja yang ingin lintas ruangan. Kemungkinan yang bisa terjadi jika aku duduk disana adalah aku terinjak, tertendang atau mungkin orang itu sendiri yang urung melintas dan lalu memberi perasaan bersalah telah mengganggu kepentingan orang lain untuk sekedar melangkah. Atau, aku mungkin akan membutuhkan sentuhan koin gobang dan balsam untuk mengusir angin penghuni ambang pintu yang merasuk ke tubuh karena tempatnya telah kujajah sedemikian rupa. Aminah tersenyum lagi dan berkata, ” kamu menemukan kebaikannya buatmu”.

Lalu kenapa logika itu tak diberikan lebih awal ketika aku bertanya? Ah ya……bodoh sekali. Jamanku dan Aminah kecil , semua nasehat kebanyakan adalah warisan. Apa yang ibu kami katakan, mungkin begitu juga yang beliau dapatkan sewaktu mereka kecil dulu dulu dan dulu sekali. Tak ada keinginan mengaransemen ulang nadanya agar terdengar lebih indah di telinga kami. Tak ada modifikasi. Semua diberikan dengan nada dasar yang sama, dipertahankan harmoninya dan caranya mungkin juga sudah dalam setelan default.

Dan bukan cuma tentang duduk di ambang pintu. Tapi ada banyak jenisnya, seperti menyapu harus selesai hingga masuk pengki agar suamiku tak brewok, habiskan makanan atau ayam tetangga mati dan dewi sri menangis, atau perempuan tak bersiul dan memasak tak sambil berkacak pinggang. ” Aminah. Aminah……..kita temukan nalarnya di usia kita yang sekarang ya “. Kami tertawa kecil, tapi cukup panjang sebelum melihat kekasih-kekasih kecil kami berlarian di sekitar.

Aku menerawang berdua dengannya melihat kaki-kaki kecil berlari. Satu tak ikut berlari, sibuk menelusuri jaring pertemanan dunia maya. Dunia ini bukan satu-satunya lagi, hingga ada yang kami sebut sebagai maya. Yang katanya maya ini, mampu membawa siapapun menghubungkan yang nyata disini dengan nyata lain di entah mana. Dan kemampuan menyelusupkan benak di alam maya itu mempunyai tuntutan nalar yang tak mungkin lagi diminta menelan semuanya secara bulat dan mentah.

Kami berpandangan. Menyadari sesuatu dan akhirnya kukatakan,” aku tak pernah memakai plot seperti yang dulu kuterima. Ora ilok itu tak pernah didengar anakku dari mulutku “. Aminah mengerti. ” Tapi nilai-nilainya tetap perlu disampaikan, Minah….” Lagi Aminah mengangguk.

Memang, bukan keberadaan yang maya yang meniadakan ora ilok dengan sadar dari khasanah percakapanku dengan kekasih-kekasih kecil itu.  Semata, hanya alam bawah sadarku yang menolak untuk dipandangi dengan heran oleh mereka ketika sebuah  alasan tak mampu kuberikan. Alasan yang kutahu dengan benar logikanya. Alasan yang ketika kuutarakan sebagai jawaban pertanyaan mereka, akan langsung membuat kata ora ilok itu tak relevan lagi dan seharusnya hanya menjadi tak baik.

Ketika Aminah berujar kemudian,” kamu tahu……ketika kamu berikan  nasehatmu dengan bahasa yang bisa mereka terima dengan logikanya, kamu sudah menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan jawabannya secara nalar…..dan mereka menjadi kurang berlatih pikir karena disuapkan sesuatu yang mudah dicerna…..” , ngilu di ulu hatiku. Apakah aku salah lagi? Apakah aku membunuh, Aminah?

Sebaiknya kita berlibur saja……..dan nikmati empat hari yang indah ini.





Seputar Degupan Jantung

13 03 2008

Mungkin karena terbiasa berada di kalangan mereka-mereka yang berusia jauh di atas usiaku, beginilah yang sering terjadi di pengucapan dan pemikiran kepala kecil ini. Kebanyakan dari apa yang kudengar adalah pembicaraan tentang nilai. Nilai seorang manusia, nilai sebuah kata dan tindakan, dan nilai tentang apa saja yang kita semua hadapi. Dulu, aku selalu mendengar. Asik saja rasanya telinga ini menangkap orang-orang tua bicara  seputar hal-hal pelik itu. Dan sudah pasti kemudiannya tertanam dalam-dalam di kepala dan lubuk hati. Kadang telan begitu saja untuk mendapatkan pemahamannya pada waktu yang tepat. Kadang juga sudah menjadi bahan proses mencerna sejak pembicaraan itu tertangkap radar sadarku.

Menjadi menua sekarang ini, aku tak pernah mencari-cari sparing partner untuk sekedar bicara kesana kemari persoalan yang sebangun dengan yang dulu sering kudengar. Karena memang tak perlu dicari. Satu dua kali pertemuan, entah temu wajah dan kata atau hanya kata saja, alarmku sudah bisa memberikan petunjuk mana-mana saja kaumku yang suka dan tidak suka berpartner bicara hal-hal begitu denganku, atau yang benar-benar  berbeda jalan dan hanya sapaan manis yang diperlukan. Dan dengan mereka yang buatku seperti ‘tumbu ketemu tutup’ itu, kalimat-kalimat yang mengalir bisa secara alami tanpa disetel berlebihan mengarah pada pengupasan makna.

Bicara makna, yang sederhana tapi juga tidak sederhana, biasanya berujung pada sebuah akhir. Tidak heran seringkali tersirat dan tersurat rasa takut disana. Karena siapapun menyadari adanya sebuah akhir, memaklumi, memahami sekaligus ingin menjauhi akhir itu. Bukan apa-apa, sungguh bukan apa-apa jika pembicaraan itu ada. Maksud sebenarnya hanyalah untuk mengingatkan tentang ketidakkekalan dan apa saja yang bisa ada, terjadi dan harus dilakukan selama menjalani ketidakkekalan ini.

Tapi, beberapa hari ini aku menjadi lelah ketika menghadapi dan mendengarkan kalimat-kalimat seputar masa akhir itu dari mulut seseorang yang dekat. Yang degupan dirinya sedang bermasalah. Yang selalu menunjukkan seolah ketidakkekalan yang telah dia jalani lebih banyak dari yang pernah ada di sekitarnya, meski dia tahu tak ada yang tahu berapakah banyak itu. Dan di antara semuanya, selalu diselipkan cerita tentangku.

Kalau tuduhan yang bisa datang padaku adalah ketidaksukaan untuk memberikan rasa kasih yang dibutuhkan, boleh kukatakan dengan suara lantang bahwa kamu tak tahu aku. Kelelahanku, hanya berpangkal pada ketidakrelaan tentang sebuah waktu akhir yang mungkin datang pada darah dagingku, sesuatu yang kupahami benar kepastiannya. Memang, lukisan yang bisa kucoretkan untuk kau lihat hanya semacam keluhan tak suka. Padahal aku hanya tak punya keahlian melukiskan. Semua yang ingin kulukiskan hanyalah apa yang tak bisa kupandangi dengan senyum.

Satu kali aku pernah membutuhkan lima menit terlama dalam hidup untuk mencoba menangkap sebuah gerakan dada yang begitu halus, hanya karena pintu yang terkunci dengan sengaja itu memisahkanku dengan apa yang kupandangi. Sampai akhirnya kutegakan membangunkan sebuah kelelapan untuk lebih memastikan semuanya baik-baik saja, sebelum airmata menjadi deras. Dan disitulah awalnya kelelahan itu.

Aku tak suka menangisi sesuatu yang tak pasti. Maka, memiliki teman yang mengerti benar apa yang kau bicarakan, adalah sebuah kemewahan. Aku katakan bahwa aku memiliki kemewahan itu kemarin, di saat lelahku. Mungkin dia sudah kembali pada kesehariannya kini, tapi sentuhan keberadaannya  tetap terasa kental.

Kalau ini adalah sebuah catatan harian terbuka, ……..entahlah. Matahari memang bersinar dan segalanya menjadi lebih baik. Tapi apa yang sudah terjadi tak bisa terhapuskan. Karena aku takut pada sebuah akhir, aku selalu mencari asa bersamaan matahari yang mulai bersinar. Selayaknya, menjadi lebih cerah dan kelelahan perlahan memudar dengan memejamkan mata beberapa saat lalu.

Aku ingin, hujan masih akan lama lagi datang…………………KAU dengarkan aku, kan?





Terpejam

10 03 2008

hening, diam dan sepi……Kalau kamu pernah mengenal rasa lelah, ada banyak yang ditawarkan dunia buatmu. Tapi apa yang kemudian akan kamu pilih semuanya hanya kamu dan kepala dan hatimu yang menentukan.

Lelah itu seperti apa ? Hanya tak bertulang? Atau tak berlidah? Bagaimana kalau tak bertulang dan tak berlidah? Dan bagaimana dengan segala tuntutan yang datang untuk meminta kata dan pemikiran darimu?

Buatku, lelah hanya ketika tulang seperti tak ada, otak tak mencerna, lidah tak berkata dan airmata mengalir bebas tak ada perintah……dan masih ada yang tak mau tahu. Selebihnya, kekuatan itu masih ada.





Cinta Pertama Lelaki Kecil

3 03 2008

” Kau mau duduk sebentar bersamaku sebelum kau rebahkan badan? Ada satu cerita untukmu..”

Aku hanya ingin bicara tentang satu dari kekasih kecil kami.  Masa ini baginya, adalah masa memiliki  pandangan tentang dunia baru. Dunia yang indah dan penuh bunga-bunga untuk dinikmati dalam kesederhanaannya. Ketika dia mengenal bentuk lain manusia yang tidak hanya dia saksikan berbeda alat-alat tubuhnya, tapi bisa menumbuhkan bunga-bunga di hatinya. Percikan-percikan hangat yang berbeda dari apa yang bisa aku, ibunya, berikan.

Ya, sayang……masa-masa ini kelembutan tanganku bukan lagi satu-satunya kelembutan yang bisa dia kenal. Ada lagi kelembutan lain yang baru dan dia tahu ingin dirasakannya, dengan penuh ketersipuan. Tapi kekasih kecilmu ini adalah makhluk tak banyak kata sepertimu. Maka segala ketersipuan yang terpapar di rona merah pipinya, hanya bisa kurasakan auranya. Dari apa yang tak biasa dia lakukan. Bukan barisan kata panjang jika aku tak mendekati dan membisikkan kesediaanku menjadi tempatnya meluapkan rasa.

Aku perempuan dan dia lelaki. Tapi apa yang bisa kubisikkan pada lelaki kekasih kecilku itu, adalah apa yang mungkin ingin dilihat perempuan-perempuan kecil seumurnya. Dan bagaimana kamu dulu mendekatiku, sayang…….

Dia sungguh menikmati masa ini. Dia tahu dari mulutku, ada jalan bercabang di mukanya. Jalan yang bisa membawa makin banyak cerita indah dan jalan yang bisa memberi kedukaan. Dan bagaimana dia bisa punya lembaran hati yang berlapis tebal untuk menerima salah satu kemungkinan jalan itu, menjadi tugas kita. Tak perlu dia berada dalam pesta tak bertepi ketika dia terima bunga-bunga dan tak harus dia tebarkan duri-duri terlalu banyak jika dia berada di  jalan buntu. Dan tugas kemanusiaannya masih sangat banyak dalam perjalanan waktu yang belum dia lalui di depan nanti. Semua tugas itu toh tetap ada di pundaknya dan tak bisa terganggu.

Dan aku termangu sendiri setelah kau pergi. Tidak, aku tidak galau. Semua itu pasti ada waktunya. Dan waktu ini pasti akan datang kapanpun dia siap dengan hatinya untuk menatap kecantikan bunga yang dipilihnya. Bohong kalau aku tak punya khawatir dengan luka yang mungkin dia rasakan. Atau tentang bagaimana langkah yang paling elegan yang bisa dia buat. Tapi biarkan dia memilih seperti kepribadiannya menuntunnya. Pasti akan ada kecantikan yang sesuai untuk setiap langkahnya. Tapi yang pasti, ada senyum tergaris di bibirku. Untuk jejak baru yang bisa ada dalam sejarah kehidupan kekasih kecilku, dan memberi warna lain dalam khayalan benaknya.

Lelaki kecil, nikmati saja masa-masa ini. Pahitnya mungkin ada, tapi satu saat nanti kamu hanya akan mengecap sisa manisnya saja. Tak akan pernah hilang rasanya………karena begitulah orang pernah bilang: CINTA PERTAMA TAK PERNAH MATI.