Anak Emak…….

24 04 2008

” Mas, minggir…aku yang disitu, deket ibu….maaaasssss…”
” Apa sih, disitu kan juga bisa…….aku duluan yang disini…”
” Nggak mau…..aku mau deket ibu….nggak bisa tidur kalo nggak deket ibu !”

BLESSSS………..NYEESSSSS……*suara nancep dan adem di dada, dan bikin makin males lama-lama depan komputer….*

( aaaaah…aku harus bikin bulletin…mestinya nulis……”adheeek….main sini yuk ama ibu”….)





Malas dan Cemas

15 04 2008

Ah…..aku sedang sangat malas. Dan tak peduli. Pada aneka bentuk tulisan, milikku atau milikmu. Tulisan ini ada hanya karena aku tak tahu harus bagaimana mengatur irama hati. Sejujurnya matahari, aku hanya ingin menikmati hadirmu dengan sabar dan tanpa target. Tapi duniamu tempatku juga berada, kadang tak mengerti.

Kalau pagi terbawa dalam setiap kehadiran matahari, selalu kupandang langkah kekasih kecilku yang makin mantap dalam harapnya. Kadang ada kerikil kecil di ujung kakinya, kecil namun bisa membuat kulit jarinya terkelupas. Aku hanya memandangnya, karena disana dia belajar merawat luka karena kerikil itu. Tapi pandangan ini bukan kosong, karena kalau kau jeli mendengar desahku dan gerak bulu mataku, disana ada pandangan seorang ibu. Dan setiap teriakan yang terdengar adalah juga teriakan seorang ibu.

Ya, Gusti……aku tahu bahwa kekasih kecilku bukan sebentuk adonan donat yang ada semata karena tanganku. Tetapi kuinginkan tanganku banyak meninggalkan jejaknya disana, dan mudah-mudahan baik baginya. Adonan yang kugiling ini dipenuhi dengan hati penuh cinta. Ketika tak ada cemas di matanya, kau bisa melihat cemas itu di mataku. Justru karena terlalu banyak yang sudah kusaksikan dan dia baru belajar membuka mata. Ya, ya, aku tahu……….semua harus kuserahkan padaMu dan padanya sendiri. Hanya biarkan saja aku menikmati masa ini, hal baru yang dulu bahkan tak pernah kubayangkan bagaimana akan kurasakan.

Kau tahu, di akhir setiap pandang dengan pendar kecemasan ini, selalu kutingkahi hari dengan satu pelukan. Pelukan besar setiap kali dia berpaling padaku dan bertanya apa yang kurasakan. Pelukan dengan keinginan berlama-lama setiap kali dia datang dengan kerinduan padaku setelah hari lelahnya.

Matahari, aku ingin berdiam dulu entah berapa lama. Menikmati setiap inci sinarmu dengan degup jantung keibuanku……….





Haruskah Aku Percaya….Kenisbian ?

9 04 2008

Ada kudapati seorang ibu yang mengalami kecemasan. Tentang apa yang sedang terjadi di sebuah tempat jauh dari pandangan mata tuanya yang merabun, tempat dimana buah hatinya mengarungi hidup. Tentang hal-hal yang tak diketahuinya dengan pasti, hanya hatinya menyala. Hati tuanya mungkin terlalu mencintai dan bisa menerawang jauh pada apa yang tak tertangkap mata fisiknya. Terlalu mencintai yang bisa juga mengacaukan kebenaran karena kabut cintanya terlalu tebal dan melingkupi.

Banyak suara pernah bicara tentang segala sesuatu yang tak berkaki pada apapun selain kenisbian. Entah bagaimana jejak nisbi itu menjadi nyata dan diyakini lalu ditularkan pada benak lain yang tak pernah percaya, dididik untuk tak percaya, dan yang tak pasti. Satu hal yang pasti, kadang keterpaksaan untuk meyakini itu datang karena melihat sesuatu yang ada meskiĀ  tak pernah mempercayai. Ada dan tidak, percaya dan tidak percaya. Lalu bagaimana dengan keyakinan pada yang Esa, akankah terduakan?

Matahari pasti terbit pada waktunya, entah enggan atau tidak. Banyak isi alam yang dia bawa serta dengan kemunculannya, sebagiannya menjadi duka bagi makhluk. Pernah ada yang mendapat kabar dari sang matahari sebelum duka itu datang, lagi-lagi sebuah kenisbian. Ketidakpastian. Dan semua telinga yang mendengar kabar burung menjadi terapung dalam batas keyakinan, percaya dan tidak.

Oh ya, pasti aku bicara tentang adanya aku, sisi mana yang kupilih. Bekal cerita, banyak nilai yang ditanamkan, keberadaan dunia dewasaku, menempatkanku disini. Di tengah. Yang selalu mampu untuk ditarik ke kanan dan kiri bergantung cahaya-cahaya yang menerpa mataku. Dan aku lebih memilih untuk bergerak dengan sebuah keterpaksaan jika kabar burung itu benar. Maka jika dipertanyakan tentang menduanya aku dari yang Esa, aku lebih memilih untuk bertanya padaNya karena kebodohanku. Aku tahu, Dia akan bicara dalam hatiku. Karena aku bukan seorang ahli surga, selain hanya meyakini ajaran tentang kebaikan.

Dalam ketidakpastian yang kumiliki, entah apa membawaku bicara dengan dia yang tak bisa kutemui lagi. Dia yang membuat rindu kami tak pernah tuntas lagi. Entah bagaimana siang itu aku dan dia berbincang layaknya hari kemarin, meski segala kalimat yang ada hanya ingin menyuruhnya pergi. Berjalan terus dan tak menghentikan perjalanan keabadiannya. Dan aku hanya menginginkan kami yang disini menjalani segala kemanusiaan kami yang serba tidak tahu dan harus begitu.

Kalau aku tak percaya, karena aku tak boleh mempercayai yang tak kutahu. Kalau aku menyentuh duniamu, karena aku hanya yakin dirimu masih ada. Maka pergilah, demi dirimu ……………………….





Kembali ke Peradaban Cinta

5 04 2008

Perawakan kecil tapi liat, tegap dan gagah sebagai perempuan, membuat penampilanku tampak sangat sehat. Aminah misalnya, jika ditanya kesannya tentangku, maka biasanya dia menyebutku sehat sekali dan cenderung menjulukiku sebagai atlet. Sebagian lain mengatakanku sebagai bola bekel. Apa sajalah, muaranya tetap pada diri yang selalu tampak sehat dan segar. Maka, jangan ditanya ketika pengalaman pertama kali pingsan dahulu kala, berapa banyak yang bertanya bagaimana aku bisa sakit. Tak terkecuali guru olahraga yang mestinya lebih proporsional menilai, toh tergelincir juga dengan pertanyaan begitu. Tidak, bukan jumawa selain mencoba mengurai kesempatan langka dalam hidup.

Tapi kurun waktu sepuluh hari terakhir ini, hal yang bisa aku lakukan hanya tidur. Dan di pertengahan waktu itu bahkan harus dihabiskan di sebuah kamar yang bukan kamarku, tetapi lengkap dengan selang infus dan kunjungan suster dan dokter secara berkala. Ada rasa geli dalam dada ketika semuanya berubah serius begitu. Ada keperkasaan yang terlepas begitu saja tanpa dikehendaki. Sekaligus juga sedikit kelegaan bahwa memang aku cuma manusia biasa yang harus menyerah kalah pada teriakan tubuh sendiri.

Di luar semua itu, rasanya semakin banyak saja cinta berpendar dan kuterima. Perlakuan layak seorang suami yang mencintai istrinya, seperti yang bisa diterima semua istri di dunia dari para suami mereka, itu tak perlu dipertanyakan. Uban mengelap badanku, mengurangi waktu kerjanya di kantor, tiap sebentar memegang kepala, menggantikan pakaian yang basah, membuatkan minuman dan mencarikan makanan pembuka selera. Belum lagi dia harus bangun lebih pagi dan mempersiapkan keperluan sarapan kekasih-kekasih kecil kami berikut minuman pagiku. Apa yang bisa lebih sempurna dari cinta itu?

Atau kekasih-kekasih kecilku dengan pesan-pesannya untuk tetap beristirahat saja. Ciuman perpisahan menjelang berangkat sekolah dan kerinduan saat pulang sekolah. Si bungsu yang tak mau berjauhan danselalu menanyakan apa yang kubutuhkan, atau si sulung yang siap melakukan apa saja di tengah kesibukannya mempersiapkan berbagai ujian. Apa yang bisa lebih sempurna dari semua kasih itu?

Aku punya banyak cinta dalam kehidupanku. Mataairnya tak henti mengalir dari tiap hati orangtua, adik, kakak, keponakan dan teman yang selama ini kepada mereka sudah kuberikan hatiku. Maka, ketika perawakan kecil sehat ini harus tersungkur, semuanya bukan apa-apa selain pembuktian cinta. Ada teman yang tak bersikap layaknya teman, maka itupun pembuktian tentang cinta-cinta yang tak pernah sia-sia ditebarkan karena mampu memilihkan yang terbaik untukku.

Tubuh ini mungkin sedang lelah amat sangat dan perlu banyak waktu untuk memulihkan diri. Tapi hati ini justru makin bekerja keras untuk mencintai. Bukan untuk meminta lagi pada saat yang berbeda, tapi hanya demi sebuah hati yang damai dan penyembuh utama di kala gundah.

Pagi ini terasa lebih indah di pandangan mataku yang masih sedikit bergoyang………..