Cappucino saya pagi ini terasa agak berbeda manisnya. Dia tidak membawakan saya suara-suara desiran angin yang mendayu seperti biasa dan melanglang buana tak tentu arah. Dia justru menemani alam pikiran saya yang dengan senang hati berderap berlari menembus belasan tahun di belakang, di saat diri ini merasa menjadi orang penting di dunia kecilnya, dunia kampus. Saat ada seseorang yang entah bagaimana awalnya bisa begitu khilaf mencalonkan saya dan dua teman lagi untuk menjadi salah satu anggota legislatif Badan Perwakilan Mahasiswa. Lalu satu teman saya menandai bahwa periode kami itu adalah periode terseru sepanjang sejarah kampus yang pernah kami dengar. Dengan segala idealisme kami. Mungkin berlebihan…..biarlah, karena kenyataannya kami toh sang penembus kenangan rimba raya benak kami.
Lalu cappuccino itu benar-benar mengantar awal hari ini dengan sesuatu yang menuntut saya mengorek kembali kemampuan otak yang pernah ada di dewan rakyat itu dalam menanggapi sebuah kabar, adanya seorang sutradara andalan pemirsa yang ingin menjadi ujung tombak kepemimpinan negeri.
Derapan pemikiran saya seringkali memang menjalar ke ranah yang bagi sebagian orang sangat tak berkaitan. Sebagian menyebutnya sebagai sedikit cipratan darah seni yang akhirnya mengotori logika hingga ke akar-akar hati dan rasa. Maka begitulah kenangan sebagai mantan anggota legislatif kampus itu juga tercemari oleh haru biru kenyataan saat ini dimana posisi saya adalah sebagai wakil presiden rumahtangga. Ibu, yang tidak membagi tugas kerumahtanggaannya dengan urusan kantor milik pengusaha lain. Memasak, mengurusi pakaian dan kebersihan serta kesejahteraan anggota keluarga, begitu mewarnai hari-hari saya tanpa jeda. Hingga saya bertemu dengan dunia tulis menulis, saya merasakan betapa dedikasi saya tak penuh lagi dipersembahkan pada rumah dan seisinya ini. Belantara pengembaraan imajinasi dan angan dan keinginan saya betul-betul terpecah. Ketika kepala saya begitu berisiknya dengan rentetan huruf yang mengelompokkan diri begitu saja menjadi kalimat-kalimat panjang, seketika itu hasrat saya pada cabe bawang daging tomat pun lenyap tak berbekas. Jika kemudian api kompor masih menyala, maka itu semata hanya persoalan tanggungjawab tanpa hati lagi. Lalu di tengah aliran air membilas cucian piring dan wajan, terbersit tanya yang entah bagaimana menjawabnya. Jika kapasitas hati dan pemikiran saya begitu terbatasnya dalam lingkup keluarga kecil ini, apakah keterbatasan ini hanya menjadi milik saya semata? Ataukah begitulah semua manusia diciptakan? Beruntung pertanyaan ini menguar di saat piring terakhir telah saya sandarkan di tempatnya hingga tak perlu pecah sia-sia.
Yah, saya sedikit lelah. Beberapa hari ini saluran kabel yang biasanya mampu mengalihkan perhatian saya dari sinetron airmata dan kebengisan tak berfungsi dengan layak. Dan sudut hati saya begitu merindukan Para Pencari Tuhan. Oase bagi kelelahan saya yang ingin mencari nilai cinta yang semestinya. Bukan cinta yang hanya senilai dengan coklat. Saya merindukan episode lain, atau serial lain dari bidannya. Bidan yang mampu berpikir kreatif dan mencerminkan hatinya yang halus, dan menenangkan saya dari sebuah kegelisahan dan kejemuan.
Ternyata jeritan kerinduan saya kini meruncing menjadi sayatan. Salah saya sendiri karena saya berandai dalam sebuah kabut yang bisa saja hilang dalam hujan. Karena saya berandai menjadi sutradara andal yang pernah menawarkan warna baru pada warna pelangi yang hanya mejikuhibiniu. Dan saya lalu dielukan sebagai manusia bijak bestari yang bahkan artinya tidak saya ketahui dengan tepat. Dan saya terlena pada belaian sayang semua orang, hingga menempatkan wajah saya sendiri di sebuah pigura berlatar bendera suci . Wajah saya yang dalam pigura itu lalu berkerut karena hasrat hati untuk melukis warna-warna baru pelangi itu tak mungkin terpuaskan. Juga berkerut ketika memaksakan diri untuk melukis lalu banyak mulut ternganga karena terlupa saya berikan ciuman. Saya hanya berkerut. Tetapi mulut yang menganga itu mungkin bahkan akan mengalirkan liur beratus liter tanpa henti selama satu periode. Ada yang menganga karena rindu akan warna, dan ada yang menganga karena suaranya dibiarkan berlalu tanpa bau.
Ah……itu mungkin pengandaian dalam kapasitas saya yang hanya sepetak kecil. Mungkin, kapasitas seorang sutradara andal yang sebenarnya, jauh lebih luas dari saya. Begitupun, saya masih memiliki angan tentang sebuah wajah dalam pigura……….
Komentar Terbaru