Wajah Dalam Pigura

25 02 2009

Cappucino saya pagi ini terasa agak berbeda manisnya. Dia tidak membawakan saya suara-suara desiran angin yang mendayu seperti biasa dan melanglang buana tak tentu arah. Dia justru menemani alam pikiran saya yang dengan senang hati berderap berlari menembus belasan tahun di belakang, di saat diri ini merasa menjadi orang penting di dunia kecilnya, dunia kampus. Saat ada seseorang yang entah bagaimana awalnya bisa begitu khilaf mencalonkan saya dan dua teman lagi untuk menjadi salah satu anggota legislatif Badan Perwakilan Mahasiswa. Lalu satu teman saya menandai bahwa periode kami itu adalah periode terseru sepanjang sejarah kampus yang pernah kami dengar. Dengan segala idealisme kami. Mungkin berlebihan…..biarlah, karena kenyataannya kami toh sang penembus kenangan rimba raya benak kami.

Lalu cappuccino itu benar-benar mengantar awal hari ini dengan sesuatu yang menuntut saya mengorek kembali kemampuan otak yang pernah ada di dewan rakyat itu dalam menanggapi sebuah kabar, adanya seorang sutradara andalan pemirsa yang ingin menjadi ujung tombak kepemimpinan negeri.

Derapan pemikiran saya seringkali memang menjalar ke ranah yang bagi sebagian orang sangat tak berkaitan. Sebagian menyebutnya sebagai sedikit cipratan darah seni yang akhirnya mengotori logika hingga ke akar-akar hati dan rasa. Maka begitulah kenangan sebagai mantan anggota legislatif kampus itu juga tercemari oleh haru biru kenyataan saat ini dimana posisi saya adalah sebagai wakil presiden rumahtangga. Ibu, yang tidak membagi tugas kerumahtanggaannya dengan urusan kantor milik pengusaha lain. Memasak, mengurusi pakaian dan kebersihan serta kesejahteraan anggota keluarga, begitu mewarnai hari-hari saya tanpa jeda. Hingga saya bertemu dengan dunia tulis menulis, saya merasakan betapa dedikasi saya tak penuh lagi dipersembahkan pada rumah dan seisinya ini. Belantara pengembaraan imajinasi dan angan dan keinginan saya betul-betul terpecah. Ketika kepala saya begitu berisiknya dengan rentetan huruf yang mengelompokkan diri begitu saja menjadi kalimat-kalimat panjang, seketika itu hasrat saya pada cabe bawang daging tomat pun lenyap tak berbekas. Jika kemudian api kompor masih menyala, maka itu semata hanya persoalan tanggungjawab tanpa hati lagi. Lalu di tengah aliran air membilas cucian piring dan wajan, terbersit tanya yang entah bagaimana menjawabnya. Jika kapasitas hati dan pemikiran saya begitu terbatasnya dalam lingkup keluarga kecil ini, apakah keterbatasan ini hanya menjadi milik saya semata? Ataukah begitulah semua manusia diciptakan? Beruntung pertanyaan ini menguar di saat piring terakhir telah saya sandarkan di tempatnya hingga tak perlu pecah sia-sia.

Yah, saya sedikit lelah. Beberapa hari ini saluran kabel yang biasanya mampu mengalihkan perhatian saya dari sinetron airmata dan kebengisan tak berfungsi dengan layak. Dan sudut hati saya begitu merindukan Para Pencari Tuhan. Oase bagi kelelahan saya yang ingin mencari nilai cinta yang semestinya. Bukan cinta yang hanya senilai dengan coklat. Saya merindukan episode lain, atau serial lain dari bidannya. Bidan yang mampu berpikir kreatif dan mencerminkan hatinya yang halus, dan menenangkan saya dari sebuah kegelisahan dan kejemuan.

Ternyata jeritan kerinduan saya kini meruncing menjadi sayatan. Salah saya sendiri karena saya berandai dalam sebuah kabut yang bisa saja hilang dalam hujan. Karena saya berandai menjadi sutradara andal yang pernah menawarkan warna baru pada warna pelangi yang hanya mejikuhibiniu. Dan saya lalu dielukan sebagai manusia bijak bestari yang bahkan artinya tidak saya ketahui dengan tepat. Dan saya terlena pada belaian sayang semua orang, hingga menempatkan wajah saya sendiri di sebuah pigura berlatar bendera suci . Wajah saya yang dalam pigura itu lalu berkerut karena hasrat hati untuk melukis warna-warna baru pelangi itu tak mungkin terpuaskan. Juga berkerut ketika memaksakan diri untuk melukis lalu banyak mulut ternganga karena terlupa saya berikan ciuman. Saya hanya berkerut. Tetapi mulut yang menganga itu mungkin bahkan akan mengalirkan liur beratus liter tanpa henti selama satu periode. Ada yang menganga karena rindu akan warna, dan ada yang menganga karena suaranya dibiarkan berlalu tanpa bau.

Ah……itu mungkin pengandaian dalam kapasitas saya yang hanya sepetak kecil. Mungkin, kapasitas seorang sutradara andal yang sebenarnya, jauh lebih luas dari saya. Begitupun, saya masih memiliki angan tentang sebuah wajah dalam pigura……….





Mendidik tanpa konsep, tetapi……

3 02 2009

Ketika empatbelas tahun yang lalu saya melahirkan untuk yang pertamakalinya, tidak ada satu kalimat pun mampu mewakili keterpanaan saya. Terpana karena pada akhirnya saya sampai juga di titik itu, dimana seluruh tubuh dan hidup saya berada dalam wujudnya yang sama sekali baru meski tampaknya sama saja. Ajaib, adalah kata berikutnya yang juga bisa dikatakan klise yang mungkin bisa didaftarkan dalam benak saya sebagai rekomendasi untuk diucapkan. Tetap saja semuanya berlarut dalam bidang rasa dan saya hanya membiarkan orang-orang di sekeliling saya untuk mengucapkan apa saja yang mereka inginkan.

Belum sampai saya pulang dari rumah sakit dan mulai menghayati peran saya sebagai ibu yang harus melakukan sesuatu untuk bayinya, sebuah kalimat mencuat dari sebuah bibir yang saya kenal. ” Tinggal mendidik saja tugas berikutnya”. Kalimat yang secara otomatis saya beri anggukan kepala dan ulangi secara tepat. Apa artinya itu? Bagi saya, yang pertama tentu menjadi sebuah alarm pengingat bahwa mengandung dan melahirkan adalah pekerjaan mudah. Yang terberat adalah tugas mendidik bayi ini menjadi seorang MANUSIA. Makna kedua, adalah pertanda bahwa masa-masa berikutnya adalah bulan madu antara ibu dan anak yang tak boleh disia-siakan jika tak ingin menyesal hingga mati.

Apa bekal saya sebagai seorang pendidik? Saya mempunyai keahlian merawat bayi dengan pengalaman keikutsertaan merawat dan mengasuh anak-anak kakak-kakak saya. Secara fisik. Tetapi mendidik, tidak sedikit pun saya bayangkan akan mampu saya lakukan. Ditambah dengan ketidaksabaran asli dan tidak tergila-gilanya pada anak kecil, kegagalan membayang di pelupuk mata. Menjalani saja apa yang diyakini, akhirnya adalah langkah pertama yang saya ambil. Dan kemudian diperkaya dengan pengalaman sebagai seorang anak yang menerima semua perlakuan ayah ibu dengan paduan rasa suka dan tidak suka. Yang tidak saya sukai sebisanya tidak saya terapkan pada pola didikan saya, dan sebaliknya dengan yang saya sukai. Apa yang saya yakini harus tetap ada suka atau tidak seiring trend yang ada, akan saya terapkan dengan modifikasi kreatif saya. Dan lain-lain sesuai naluri membisiki.

Hingga kini saya kemudian mempunyai dua anak, saya masih sering memikirkan tentang bekal ketrampilan mendidik itu. Saya melakukan ini dan itu, mengatakan ya dan tidak, mengajak bermain dan memarahi, semuanya memakai referensi yang pernah ada. Dari keluarga, dari nilai sosial dan agama, dari pengalaman sebagai manusia, dan mungkin juga dari pendidikan yang pernah saya lalui. Sudahkah baik dan benar, tidak tahu. Terlebih jika melihat dan membandingkan dengan bagaimana orang lain mendidik anak mereka, baik dan benar itu tidak pernah saya temukan. Hasilnya suatu hari nanti, juga tidak mutlak menunjukkan hal itu.

Pada akhirnya, saya lebih memilih memusatkan perhatian pada ada dan tidaknya hubungan batin ibu dan anak yang tidak hanya terberi secara alamiah tetapi juga harus dibina dengan kesungguhan. Kedekatan. Keterbukaan yang tetap memberi peluang adanya privasi. Dan kemampuan untuk saling mengungkap rasa dan pikiran. Berkomunikasi dengan lancar. Maka saat suatu hari kami duduk berhadapan, menceritakan segala ganjalan dengan tenang hingga di satu titik bahkan menerbitkan airmata haru di masing-masing kami, di sudut hati saya muncul setitik sinar. Apa yang saya inginkan dari sebuah hubungan ibu dan anak mewujud nyata. Bersama dengan waktu yang akan semakin mendewasakan mereka, saya tahu di ujung jalannya nanti mereka akan mengenang saat-saat itu dan menjadikannya bekal mendidik anak-anak mereka.