andai saja…………..

18 11 2009

Sangat tak mungkin bagi saya mengelak jika kebanyakan orang yang mengenal saya lalu menilai sebagai sosok yang sangat dekat dengan sifat tradisional. Bagaimanapun saya tampil dengan segala atribut kemodernan yang mampu saya jangkau, sifat tradisional itu akan tetap tampak. Terlebih dengan separuh lebih usia saya habiskan dalam lingkungan tari, kesan itu akan semakin kuat terasa. Segala yang saya dapat dari dunia tari nyata benar sangat mempengaruhi apa yang saya pikirkan, ungkapkan……

Saya lalu teringat ketika masih baru belajar menari. Ada satu tarian dengan ragam gerak membatik. Memegang kain, canting, mengambil malam, meniupnya agar malam dapat menetes dan dilukiskan pada pola kain, dan mulai membatik. Gerakan itu melekat erat di benak saya, dan sejak saat itu pula selalu tersimpan angan untuk melakukannya secara nyata. Bukan cuma menari. Sampai saya beranjak tua, saya tidak punya kesempatan untuk mewujudkannya. Saya pikir, itu adalah kemewahan yang dimiliki orang-orang tertentu dan orang seperti saya sulit untuk mendapatkannya, dengan segala keterbatasan yang ada.

Sampai di hari Minggu lalu, impian itu terwujud. Duduk dalam kelas pengenalan membatik ibu Indra Tjahjani, saya membayangkan lagi gerakannya, meniup canting……dan …..teman saya tertawa. Katanya, dalam pengalamannya mengikuti kelas membatik tidak pernah terjadi dia harus meniup canting untuk mengeluarkan malam. Cukup mencelupkan lagi canting pada wajan kecil tempat memanaskan malam, maka lilin dingin yang mulai membeku dan menutup lubang canting akan dengan sendirinya mencair. Siap untuk digunakan lagi. Logika sederhana tetapi tidak pernah saya cari sampai saya melakukannya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, saya membatik kaos agar bisa saya pakai.

Dan segala bayangan itu masih melatari gerak awal saya membatik . Kesabaran ala meditasi gerak bedhaya, pengaruh baju batik yang saya kenakan, semua melingkupi saya hari itu. Hingga akhirnya keluhan, tawa teman seperjuangan dan tetesan lilin panas di tanganlah yang menjatuhkan saya pada dunia nyata. Dan meditasi saya buyar, menjelma kembali menjadi keseharian seorang perempuan yang tak feminin sama sekali. Tapi setidaknya, saya sangat bahagia hari itu. Saya membatik ! Saya membatik! Layaknya mantra, saya ulangi terus kalimat itu dalam hati. Apapun hasil akhirnya, saya akhirnya membatik !

Sedikit saja yang saya sesalkan dari catatan tentang hari itu. Yaitu ketika ada satu mbak pendamping yang memberitahukan bahwa saya harus tebal-tebal melukiskan malam pada bahan kaos saya itu. Saya lalu menurutinya hingga membuat mas dan mbak yang melakukan pewarnaan kesulitan sendiri melorot malamnya. Dan satu lagi mbak pendamping lain begitu saja mengoleskan parafin pada lengan kaos saya.

Saya tidak begitu mengerti awalnya, bagaimana olesan parafin itu akan mewujud pada kaos saya. Mbak tersebut bersikap seolah pengolesan parafin itu adalah sebuah keharusan dalam proses membatik. Tanpa bertanya, beliau langsung saja mengoleskannya pada lengan kaos saya. Ketika saya dapati hasl akhirnya kemudian setelah pewarnaan, membuat bibir saya terbuka lebar menganga. Dan tanpa saya perintahkan, otak saya seperti melihat Maradona memakai batik. Atau, mungkin begitulah kurang lebih bentuknya jika suatu saat para penghuni keraton ingin membuat kaos seragam sepak bola.
Tapi ‘luka kecil parafin’ itu tetap tidak menutupi kebahagiaan saya. Pengalaman mewujudkan apa yang selama ini saya angankan lebih berarti dari segalanya.

Andai saja saya bisa membatik setiap hari dengan diiringi suara gamelan, angin semilir, singkong rebus dan segelas kopi…………….





Tetangga Baru Yang Sering Ku-nenanggain

7 01 2009

Harus aku…ah, tahun baru mengganti sebutan mungkin lebih enak…mmm, harus saya akui bahwa saya memang sangat mungkin digolongkan pada jenis manusia yang tidak suka untuk sering bersosialisasi. Ingatan saya menunjuk pada keengganan untuk melakukan kopi darat kegemaran para blogger. Belum lagi pada kemalasan saya untuk bicara. Ah ya….di satu sisi gen pendiam ini sangat jelas menurun dari bapak. Saya hanya mampu bicara banyak pada orang-orang yang sudah sangat akrab. Maka, telpon pun tentu tidak terlalu akrab bagi saya.

Tahun Baru 2009 sudah datang satu minggu. Anginnya lebih sering dingin, dan ini membuat saya lebih senang lagi bergelung di rumah dengan rumah keong ini. Tetangga, biarlah bertukar senyum saja atau sebaris kalimat di kala saya sedang ingin duduk di teras atau belanja bersama. Jangan pernah membayangkan saya duduk di teras tetangga saya berbagi matahari sore jika tidak sedang waktu arisan- yang bahkan sering saya lupakan tanpa pernah berniat melupakannya. Terjadi begitu saja, hilang dari ingatan. Dalam persoalan satu ini, mungkin ibu saya andil dalam kesalahan karena ajaran beliau yang mengatakan, ” Ojo sok nonggo “.

Hampir saya percayai bahwa saya tidak akan pernah melakukan kegiatan nenangga, hingga tahun baru ini datang. Tahun baru, tetangga baru, tiga rumah di samping kiri saya. Entah sudah berapa kali saya bertandang kesana, duduk di teras dan ruang tamu bahkan dapurnya yang hanya selebar rentangan tangan. Tidak setiap hari memang, tapi rasanya rumah itu akan terbuka dua puluh empat jam sehari bagi saya. Dan anak-anak saya.

Kadang, kami berbagi roti atau singkong. Atau….memasak bersama dengan posisi saya sebagai pencicip dan pencuci piring. Lalu masakan itu kami bagi secara tidak adil. Tetangga baru itu terlalu pengalah dengan alasan jarang makan hingga hanya membutuhkan satu mangkok sayur dan sepiring kecil lauk saja untuk dibawa pulang. Tentunya dengan posisi yang sangat tidak adil begitu, saya akan lebih senang membayari setiap bahan makanan yang kami beli di tukang sayur. Semuanya ini, tidak pernah terjadi bahkan bisa dimasukkan kategori ‘haram’ bagi Pak Uban untuk berbagi antar tetangga. Maksud saya adalah, kami boleh membagi makanan pada tetangga tetapi haram untuk sekedar meminta daun jeruk apalagi semangkok sayur. Artinya, tentu ini sebuah perkecualian amat besar.

Perubahan lain, adalah pagi hari . Manakala saya ingin bermimpi lagi sepeninggal ketiga kekasih hati ke tempat rutinitas, maka kebebasan itu tak saya peroleh lagi. Karena di saat angan sudah hampir menembus kabut yang paling melenakan, tiba-tiba pagar rumah dibuka begitu saja. Dan lampu-lampu di pendopo rumah dia matikan tanpa merasa perlu menanyakan alasan mengapa saya belum mematikannya saat itu. Satu dua hari pertama, saya akan begitu lintang-pukang keluar dan berbasa basi serta membuatkan eyang-eyang tetangga ini kopi. Hari-hari berikutnya, tentu menjadi terbiasa. Terbiasa untuk meneruskan mimpi pemalas saya atau mematikan lampu-lampu pendopo lebih awal daripada jadwal waktu yang saya tetapkan sebelumnya. Harus salah satu dari dua hal itu, sebab ini akan berlangsung bertahun-tahun seiring begitu pedulinya tetangga baru itu pada kehidupan saya.

Hari ini, saya bahkan rela menodai kelembutan cuaca sejuk sekitar rumah dengan kemasaman kata-kata saya demi terpasangnya sambungan telepon di rumah tetangga baru itu. Maklumlah, berhubungan dengan manusia-manusia yang tak pernah ingin berkoordinasi hulu dan hilir demi kepuasan pelanggan memang cenderung membuat kita ingin sekali menaikkan nada suara. Setelah semuanya selesai saya tidak merasa perlu melaporkannya ke rumah itu, menunggu hingga semuanya benar-benar berjalan baik dan siap berfungsi normal. Saya hanya ingin mereka, eyang-eyang berdua itu, tidak perlu repot berpikir dan hanya menikmati indahnya lingkungan berdekatan dengan saya dan Ari dan Rayi serta Pak Uban. Anak, cucu dan menantu mereka.

Oh ya….jika ada yang bertanya lagi apakah dunia menjadi lebih nikmat untuk ditinggali atau sebaliknya dengan suasana bertetangga seperti saya….sebenarnya semua orang bisa membayangkan jawabannya. Pertanyaan itu, mungkin hanya ingin mengulik kepribadian saya lebih dalam saja.





Lebaran….Lebaran….

6 10 2008

Begitu hari libur sekolah tiba, maka terhitung hari itu juga perjalanan dimulai. Satu jam menjelang bedug buka puasa, rumah sudah terkunci rapat. Membawa serta keponakan dari kakak yang baru ditinggal pergi istrinya. Membawa juga semua bekal yang diperlukan termasuk cemilan, bantal dan selimut, film dan lagu yang akan menemani perjalanan. Bismillah……..dan roda berputar.

Lebaran masih beberapa hari ke depan, maka tidak diperlukan ketergesaan. Singgah di kota di pertengahan Jawa, beristirahat sehari dan mencari sekadar oleh-oleh untuk sanak kadang yang akan ditemui di Timur. Sekadar? Ah…sulit sekali untuk mencari yang disebut sekadar itu. Inginnya, semua menjadi istimewa. Inginnya, semua bisa merasakan.

Ya, Lebaran tahun ini memang menjadi istimewa. Karena keponakan yang kami bawa serta, karena orangtua yang harus dirawat sakitnya, karena kebingungan yang menyertai ketika anak-anak ingin berlibur ke tempat hiburan tapi tak mungkin mengingat kakeknya yang sakit, dan karena Rawon Rampal yang tak kunjung buka hingga waktu kepulangan tiba. Semua terasa asik saja ketika dinikmati. Sholat Ied di lapangan belakang seperti biasa, cium tangan di antara keluarga, dan ketupat opor yang khusus dibuat guna membuat Lebaran terasa benar kehadirannya. Ya, di kampungku tradisi ketupat memang baru akan datang seminggu setelahnya dan kami pasti sudah di rumah lagi.

Banyak ucapan di pesan singkat telepon genggam beredar sebelum takbir terdengar. Cuma siasat untuk lalu lintas komunikasi yang sudah pasti sangat padat. Sekarang….aku sudah duduk lagi disini. Untuk mengucapkan :

SELAMAT IDUL FITRI 1429 H
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
SEMOGA BERTEMU DENGAN LEBARAN TAHUN DEPAN





Keterlaluan !!!!!!

3 11 2007



Ya ya…….semua ini keterlaluan rasanya. Mestinya aku tidak suka kalau sudah keterlaluan. Tapi kali ini,mmmm……..mungkin di bagian-bagian tertentu keterlaluannya sangat tidak apa-apa. Sangat mau untuk diterima. Sebab rasanya terlalu menyenangkan, terlalu indah, terlalu riuh, terlalu heboh dan semuanya gara-gara terlalu kangen. Waaaaah………kalau sudah soal kangen, siapa orangnya yang lalu tidak terkunyung-kunyung (alah, bahasa apa ini?).

Begini ceritanya :
Kemarin, tepat hari Jumat di tanggal 2 November 2007 jam 18.00 WIB, bertempat di Restoran Pulau Dua Senayan Jakarta, berkumpul lagi orang-orang yang sudah 18 tahun berpisah. Orang-orang dari satu sekolah negeri di tengah salah satu perkampungan di Kayumanis Jakarta Timur, namanya SMAN 31, khususnya angkatan 1989 . Ini hasil usaha kerja keras dari masing-masing lulusan tahun itu untuk melacak dan saling menjaga kontak personal satu sama lain. Lalu ketika masing-masing kontak itu dipertemukan dalam surat-surat elektronik, suasana riuh pun dimulai. Tolong dicatat, itu baru dalam ranah dunia maya. Bagaimana jika bertemu secara fisik? Ini dia……

Begitu bertemu tatap muka lagi pertama kali, jangan heran ada sapaan-sapaan semacam,” Masih inget gue nggak? ” . Atau,” Elo siapa ya? Sorry ya gue lupa”. Atau,” Gilaaaaa……sukses bener lo sekarang, sampe melebar begitu tuh badan !” Tapi ada juga yang dapat sapaan,” Elo si anu kan…..inget banget gue. Gak berubah sama sekali lo ya?” Percaya deh, yang mendapat sapaan seperti yang terakhir ini hanya segelintir orang saja. Karena setelah waktu pisah selama itu, masing-masing bekerja, menikah dan merasakan kebahagiaan keluarga sendiri, tentu saja sebagian besarnya sudah menjadi LEBIH. Lebih gemuk atau bahkan sangat gemuk, lebih segar, lebih terawat, lebih cantik atau lebih tampan. Hampir semuanya berubah dan membuat pangling. Dan tentu saja menjadi jauuuuuh lebih raaaamai dari apa yang ada di tataran maya saja. Dan acara yang katanya bernama Halal Bi Halal itu tidak tampak selayaknya Halal Bi Halal. Tidak ada kata selamat Idul Fitri apalagi ucapan mohon maaf lahir batin sempat terucap. Murni kekaguman dan takjub saling melihat lagi satu sama lain dan rasanya maaf untuk segala kesalahan itu otomatis ada.

Tempat pertemuan yang dirancang di sebuah rumah makan itu rencananya untuk memfasilitasi orang-orang kelaparan pulang kantor. Makan Malam Bersama. Nyatanya, meski hidangan sudah lama tersaji di meja, dan kursi-kursi tertata rapi untuk ditempati, tak ada yang tampak berminat untuk makan. Lapar hilang. Ayam Lemon, Cumi Goreng Tepung Pulau Dua yang krispi, Kailan Cah Daging Sapi, Udang Goreng Saos Mentega dan Ikan Gurame Asam Manis juga Asinan Dermaga, tak mampu mengalihkan perhatian. Hampir 40 orang yang ada hanya berdiri tak mau duduk dan sibuk bercerita dan terus saja bercerita. Tertawa. Merokok. Bercanda. Memotret. Menelepon mereka-mereka yang tak bisa hadir. Memindahkan satu telepon jaringan internasional ke Singapore tempat jeng Hany dan mas Iwan berada, pada berbagai telinga. Pindah tempat menyapa. Dan seperti anak TK saja akhirnya ada yang sampai harus berteriak mengingatkan untuk segera duduk dan makan. Wartawan ini sendiri, juga sampai tak mampu merasakan lagi apakah makanan-makanan yang dia persiapkan bersama koleganya itu enak yummy atau tidak. Tidak penting lagi soal rasa makanan. Ini bukan wisata kuliner. Sambil makan saja masih terus bercerita. Sesekali berdiri memotret. Tertawa lagi. Kadang meneriakkan sesuatu.

Lokasi pertemuan memang dipilih sebuah lokasi yang sangat nyaman untuk kehingar bingaran yang kita buat. Tempat itu sangat luas, di tengah danau, berangin segar dan memiliki live band. Yang terpenting dari semua itu, tak akan ada pengunjung yang merasa terganggu apalagi sampai keberatan dengan kehebohan yang terjadi dari kumpulan ini. Disana semua pengunjung berhak saling mengganggu dan diganggu dengan suara sebising apapun. Dan live band itu, tentu saja dimanfaatkan. Abdel dan Etykalis, segera bernyanyi di panggung itu. Tapi tak lama setelah mendapat applause meriah dari kumpulannya, mereka berdua cuma menjadi suara nyanyian latar belakang saja. Mungkin tidak ada , setidaknya wartawan ini, yang ingat mereka berdua menyanyikan berapa lagu. Bahkan sampai lupa untuk menagih iuran dari masing-masing peserta HBH untuk keperluan kumpul-kumpul itu. Untung saja partnernya adalah orang yang memang terbiasa mengumpulkan sumbangan dari teman-teman. Maka partnernya itulah yang bergerak mengedarkan sebuah tenggok nasi dari bambu hingga terkumpul sejumlah uang yang cukup banyak. Dan undian door prize berbungkus kado dengan cap logo TPI. Ah, dia memang ibu yang baik.

Waktu makin malam, tak ada yang tampak ingin pulang. Foto bersama dengan banyak jepretan, banyak kamera. Bicara lagi. Tertawa lagi. Tak pernah sadar bahwa kali itu tempat berdiri saja sudah berpindah sangat di tengah, di muka panggung, dimana semua mata dengan mudahnya tertuju kesana. Harus ada yang memulai untuk mengakhiri keriuhan. Harus ada yang berani pamit. Atau restoran akan dengan senang hati mengusir kumpulan ini. Aaaaaarrggghhhh…………sulit untuk berhenti bicara! Sulit untuk berhenti mengungkapkan senangnya, hebohnya, dan…duh, keterlaluan ! Pokoknya keterlaluan. Sampai wartawan ini juga tak mampu menghasilkan foto yang berkualitas baik dan tak tahu lagi angle mana yang harus diabadikan. Keterlaluan !!!!

update : saking senengnya, hurufnya tercetak tebal dan besar semua dan menghasilkan komentar protes dari Amerika sana….(cepatnya dikau nak komen protes, Nek….)





Nafas, Rindu dan Pelitaku

25 10 2007

Nafas. Milik manusia, yang rasanya semakin lama semakin memendek. Dalam pandangan keilmuan, memendeknya bisa karena banyak alasan. Namun yang mencuat dalam benak ini hanyalah sudut pandang penumpukan masa hidup seseorang. Menua dan mulai memutih rambut. Persoalan yang mampu ditangkap mata, hati dan nalar perempuan kecil tak lagi mungil ini. Kesimpulan yang dibulatkannya dalam-dalam adalah bagaimanapun bersemangatnya seorang cucu adam hawa menghadapi bumi dan isinya, betapa beratnya pun aktifitas ke-hero-an untuk menyehatkan badan, tak bisa mengalahkan sifat alamiahnya. Bahwa yang menua itu akan melemah.

Alam pegunungan dingin di ujung Timur pulau ini dan kontur tanahnya yang pasti sangat kontras naik dan turun, menjadi bukti tak terbantahkan. Ketika belasan tahun lalu sebuah perjalanan tak sengaja dilakukan untuk menapaki ratusan anak tangga menuju puncak, perhentian di tengah pendakian itu hanya terjadi sekali. Momen gambar yang dilakukan masih dilengkapi senyum bahkan tawa lebar. Pipi bersemu merah tanda segarnya wajah meski sedikit saja lelah. Namun di hari-hari kini, kata istirahat bisa terdengar sedikitnya tiga acungan jari. Cetak gambarnya, jelas menampakkan senyum tak lebar dan tampak dipaksakan untuk menutupi sengal-sengal tak beraturan. Meski di waktu rutinnya, ada bilah-bilah besi yang dimainkan tangan dan kaki dengan permainan nafas. Tergelitik sekali urat tawa untuk mengembang, menerima hal nyata tak terpungkiri.

Kaum yang lebih lampau, bahkan tak mampu lagi melakukan perjalanan heroik macam itu. Tinggal mata saja masih berbinar menyaksikan anak cucu menikmati masa-masa keemasan memiliki napas panjang. Sebuah kesadaran untuk tidak menyiksa diri dengan hal-hal yang tak mampu lagi dilakukan. Bab hidupnya sudah sangat sampai pada menerima dengan lapang dada bahwa lembaran-lembaran perjalanannya telah cukup banyak ditulisi.

Perempuan kecil tak lagi mungil tadi, merasa hari yang dia lalui disini belumlah terlalu sore. Benar napasnya tak sesegar dan sepanjang belasan tahun lalu. Benar binar wajahnya tak secerah dulu. Tapi dia masih punya matahari yang belum menepi. Dan hatinya selalu ingin menyalakan pelita-pelita kecil dalam benak dan dadanya, sebisa tangannya menggapai. Belum ingin disentuhnya lilin-lilin yang masih disimpan untuk masa nanti. Belum ingin ia menjadi seperti kaum lampau yang hanya mampu memandang saja.Maka lihatlah bagaimana pelita-pelita itu menyala terang tatkala kicau-kicau burung terdengar riuh saat dia panggil pulang. Apa yang tertulis dalam catatannya, adalah kehadiran kawanan di masa lampau.

Perempuan itu sangat riangnya hari-hari ini, mengetahui sekawanannya hadir lagi. Merasa memiliki rindu yang sama besarnya. Memori yang bocor sana sini dan berusaha saling menambal sulam. Terus dan terus dipanggilnya pulang kawanan itu. Semakin banyak mulut bersorak girang untuk usahanya meniup terompet, makin penuh dadanya dengan semangat. Makin pijar nyala pelitanya. Dia bertepuk dengan banyak tangan. Makin banyak terompet dibunyikan agar makin riuh suara terdengar.

Perempuan lain sejawat melebarkan kertas kosong. Semua diberi tempat agar tak hanya pandai bersuara, tapi mencatat. Satu keinginan agar memori tak lagi terbang dan abadi untuk ditatap. Tentang dulu, tentang kini dan tentang nanti, bisa dicatat disana. Perempuan kecil, kini mencari tikar. Untuk dia buka dan lebarkan, agar kerinduan memiliki tempat tuangnya. Jabat peluk dan tawa bertemu nyata. Ooooh…..hatinya semakin penuh !!! Tak tidurpun ia mau untuk terus membaui aroma kerinduan yang sedang hadir. Meski pegal mulai terasa, angin leluasa merajai tubuh…..pelukan masa mudanya lebih berkuasa. Perempuan itu terlalu senang dan gembira dan bahagia. Tak habis kata, tak cukup kalimat untuk melukiskan…terus…terus……..

I LOVE YOU ALL, GUYS………




Fun With Clay

2 10 2007


UPDATE : untuk fun with clay ini, ada videonya disini…

Mulanya, cuma ingin mencari pernik rumah yang tak kunjung selesai pembangunannya ini. Maklumlah….sebagai warga yang tidak bertitel konglomerat, pembangunan sebuah rumah tentu harus dilakukan amat perlahan. Kebetulan juga kami adalah orang Jawa, sehingga disini terjadilah apa yang dikatakan ” alon-alon asal kelakon”. Maka, dalam waktu-waktu itu dan ini, kami seringkali menyusuri kota, sejak tengah hingga pinggiran, demi segala yang kami butuhkan dan impikan. Termasuk segala impian tentang pernik dari rumah ini. Maka kesanalah kami menghabiskan akhir pekan lalu.

Nyatanya rumah itu memang begitu sejuk dan sangat indah. Berada di dalamnya serasa ingin menikmati sebuah bulan madu penuh kenangan tak terlupakan. Terlebih bagi orang-orang yang penuh cinta. Seperti aku juga yang selalu jatuh cinta pada karya-karya yang ada disana. Tapi pasti bukan aku seorang yang tiba-tiba disergap rasa romantis. Setidaknya, kulihat kekasih-kekasih kecilku amat tidak menyesali bangun paginya yang terpaksa. Dan terluncur juga sebuah kalimat janggal dari salah satunya,” aku ingin menikah disini….’ Ya, tentu saja janggal jika itu dia yang mengucapkannya.

Bagian terbaik dari semuanya, adalah kesempatan untuk merasakan diri sebagai seorang seniman pembuat keramik. Tak usahlah ditanyakan bagaimana perasaanku untuk kesempatan yang diberikan itu. Karena tak dipungkiri, rasa seni dan berkubang di dalamnya tentu akan menggelitik satu sumbu hatiku. Aku bicara tentang kekasih-kekasihku itu. Mereka begitu gembira melihat terbukanya kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru dan menyenangkan. Terlebih jika hasilnya akan berwujud nyata dan dapat dikagumi sendiri hingga akhir masa.

Kembali pada soal warga kebanyakan bukan komglomerat tadi, lembaran yang mungkin melayang di rumah ini untuk membawa pulang pernak pernik yang disukai bisa relatif membuat dahi ibu rumahtangga berkerut. Setidaknya dari sisi kotak kulit yang terselip di bawah lenganku. Hal ini membuatku berpikir nakal. Kekasih-kekasihku itu kuminta membuat hasil karya yang bentuknya tidak terlalu besar. Dengan demikian dari tanah liat sebesar bola tenis itu, akan bisa dibawa pulang beberapa macam pernik yang jika harus diuangkan, membuat kita mengurungkan niat. Yah….mungkin bisa dimaklum oleh sesama perempuan. Tapi yang terpenting, rasanya daun-daun tanaman disana tidak hanya melambai tertiup angin, namun juga seolah memanggilku kembali dan kembali lagi……asalkan pak Uban bisa selalu berlega hati membuka dompetnya…oouuch !





Ibu-Ibu Rumpi

8 09 2007

Petuah orangtua mengatakan, jangan suka iseng jadi orang. Mmmm…..entahlah, mungkin maksudnya pasti baik. Tapi buatku, jika iseng membuat kita awet muda dan bisa merasa hidup lebih hidup, ya itu bagus. Maaf, bu….iya, harus dengan dosis tepat ya. Mirip dengan minum obat memang. Sudahlah, yang penting selamat, menurut apa kata orangtua. Lalu, apa hubungan iseng dengan wajah-wajah di atas?Begini…

Setiap kali kunjungan ke tiap blog, memberi komentar, apalagi yang sifatnya mendukung dan menghibur, biasanya akhir komentar itu ada passwordnya sebelum titik terakhir. ” Kita ngopi-ngopi aja yuuuk…” Kadang aku berpikir, pemberi komentar ini seorang ibu ataukah satpam, peronda malam atau sejenisnya? Mungkin gabungan dari semuanya. Istimewanya, mereka bisa nggembol bayi di perutnya. Hanya itu. Nah, kalimat yang terucap itu ternyata bukan lagi sekedar iseng. Ini bisa jadi bakteri yang membuat mereka-mereka tega melarikan diri dari rumah, dari anak…menghalalkan segala cara supaya keinginan terwujud. Persis suami-suaminya, yang seolah ada rapat penting dan harus hadir. Bahaya? Tolong, jangan bocorkan ini pada ibuku. Informasi ini akan membuatku kembali ke puluhan tahun (lho, tua sekali?) silam. Duduk diam mendengar radio siaran nasehat.

Mungkin yang paling bandel memang mereka berempat…oh, aku di dalamnya juga ya? Karena dari beberapa yang kabarnya akan turut serta, rontok satu persatu oleh seleksi alam. Maksudku, karena sakit, atau ada keperluan lain yang tak tertangani lagi. Tidak lama pertemuan ini berlangsung, karena untungnya akal sehat masih mereka bawa serta. Batas jam main bagi ibu-ibu. Meski begitu, tetap saja ramai. Bukan, bukan model ibu-ibu arisan. Sedikit nakal saja dari kodratnya.

Kepentingan berbeda, butuh tempat berbeda. Ada yang memang nalurinya minum kopi, maka duduklah di warung kopi. Ada yang nalurinya mengisi perut, maka setelah kopi habis duduk pun berpindah ke tempat makan. Ada yang bisa membuat dugaan, mana penggemar kopi dan mana yang penggemar makan? Hati-hati tertipu dengan penampilan, itu saja saranku. Karena memang tak selamanya tampak luar menggambarkan isi dalamnya. Tapi juga tak selamanya salah.

Oh ya….satu lagilah pesanku. Hati-hati dengan komentar anda di tulisan teman. Bisa jadi pemicu huru hara !





Bola Bergulir

27 08 2007
Mendapat pesan singkat salah alamat seringkali membuat kita tersenyum dan tertawa sendiri. Kebanyakan alasan utamanya adalah karena kita sedikit mengetahui rahasia seseorang. Ini adalah naluri tukang gosip, yang aku percaya sekali semua manusia memilikinya dengan kadar berbeda. Begitu juga denganku. Rasanya seolah mendapat ide baru penyegaran diri dengan bahan ledekan bagi si pengirim pesan singkat itu. Terlebih jika terdapat kemungkinan terjadinya dukung mendukung dalam soal meledek ketika keluarga besar kembali berkumpul, metamorfosis diri menjadi seorang pembunuh karakter berdarah dingin tak disadari lagi. Sang korban, hanya bisa senyum kecut. Atau jika mentalnya kuat, terjadi juga balasan meski terkesan terlalu crispy bagi yang mendengar. Ini yang terjadi di akhir pekan lalu.

Beranjak sore, aku tak lagi senang dengan pesan singkat salah alamat tadi. Bukan lelucon lagi tampaknya. Tatkala dua manusia mencoba memadu hati dan terjadi sedikit ketegangan di antaranya, memang terbuka kemungkinan bagi lingkungannya untuk menjadikannya bahan gurauan agar keduanya justru kembali hangat. Tetapi ketika ketegangan itu tampaknya tak segera mencair, tiba-tiba hati ini menjadi sangat tua, khas orang tua. Begitu kerasnyakah hati sang perjaka? Mengapa dewiku menjadi lemah untuk hal yang tak seharusnya? Bagaimana hubungan itu mungkin berlanjut nanti jika tiba waktunya disatukan? Tapi mengapa aku harus khawatir…..aku mungkin mewakili dua rambut memutih pemilik sang dewi.

Sudut lain rumah bapakku, memaku dua hati lagi yang baru dilingkari bahagia. Mereka memulai jalan hubungan yang sesungguhnya dan tidak akan selalu manis. Mereka akan mulai memasuki perjudian halal. Ya, karena menikah adalah sama dengan berjudi, menurut kamusku. Tak akan pernah tahu apa yang mungkin terjadi. Tapi kami yang mulai menua ini turut menyemai harapan besar di ladang cinta mereka, agar tak ada kemarau yang akan menghancurkan ladang itu. Selalu akan mucul asa dalam sebuah kesadaran, begitulah dulu kami memulai kehidupan yang tak mau mengerti hati tua yang mengawasi langkah kami. Karena hidup mereka bukan lagi milik kami. Mereka mulai dewasa dan mengikuti jejak yang kami tinggalkan.

Tapi selalu lebih menyenangkan melihat kehidupan baru. Karena tangisnya pastilah manis. Tak seperti ketika datang titik, penanda akhir kalimat. Maka kumpul-kumpul kemarin menjadi segar. Banyak tawa dan gurau. Dan kami mulai lagi menggelindingkan bola-bola, saling bersaing menjatuhkan pin-pin putih dalam satu guliran. Tangan teracung untuk menang, bertepuk tangan, atau berteriak girang di tengah kekalahan yang lain. Masalah selalu ada, tapi biarlah berlalu dengan waktu. Kita bermain saja selagi bisa………





Doa dalam Sepiring Jenang Sengkolo

20 08 2007

Gambar dari sini

Hari-hari terus berjalan. Kembali pada iramanya. Melanjutkan yang sudah ada. Kadang juga membuat bentuk baru dalam bidang lukis yang sama. Mengisi jika ada lubang-lubang kosong yang terbentuk oleh waktu. Dalam perputaran napas selalu seperti itu karena rodanya juga masih berputar.

Begitulah niatan terbentuknya ruang luas di rumah ini, arena kongkow dimana jam dinding lebih hanya sebagai petunjuk waktu dan tak terlalu nyata berfungsi untuk pembatas gerak dan perpindahannya. Dan akhirnya tanpa disadari, banyak waktu disana kami lalui untuk selalu membuat lukisan dunia dengan sapuan tawa. Jika kini tawa itu kadang terasa getir, itu hanya sebuah usaha mentertawakan diri dan mencoba sudut pandang lain sebuah kehilangan. Satu sama lain saling mengusap luka dan mencoba bijak menyikapi permainan sang dalang.

Mata hati kami lalu mencari apa yang tidak kami tahu. Jika lalu banyak kisah pilu dimainkan sang dalang atas kami, naluri terdalam mereka-reka mencoba untuk menghentikannya dengan menelisik asalnya. Entah benar entah tidak. Dan ada upacara kecil, tradisi, yang selalu dilakukan di kampung kami. Jenang sengkolo bubur merah bubur putih segera dibuat. Disuap dengan iringan doa panjang. Jujur aku tak tahu salah benarnya atau syirik tidaknya. Tak terlalu kuhayati benar jalannya tradisi selain keinginan menjaga adat. Bagiku doa selalu utama dalam kesempatan apapun. Dan jika dilakukan diluar sajadah panjang yang terbentang di ruang kecil, selalunya baik saja dilanjutkan untuk selalu mengingat sang Khalik. Maka ruang pendopo ini mencatat fungsi lain keberadaannya.

Tangis itu hanya sejenak saja. Karena kami sudah mampu tertawa lagi. Pedihnya tak hilang tetap tersimpan dalam dada. Tapi tawa tetap harus hadir. Karena hidup ini memang sangat lucu, jika kita mampu menterjemahkannya begitu. Seperti saat kami melihat lagi gundukan tanah itu di hari ketujuh. Tanah kosong di sekitarnya masih dimanfaatkan warga kampung sekitar untuk bermain bola. Kami tertawa melihatnya, karena yang kami tahu almarhum sedang merokok melihat permainan bola di pinggir lapangan. Mungkin bahkan bercanda dengan paman yang sudah lama menanti teman bergurau di dunianya sana.

Jenang sengkolo masih ada satu mangkuk hari ini. Nanti akan kusuap lagi waktu sarapan. Dan berbincang dengan ayah ibu mertua tentang apa saja. Dan suapan-suapan jenang sengkolo itu akan tertelan dengan pengharapan besar untuk berhentinya ujian-ujian besar yang akhir-akhir ini selalu datang berurutan. Hanya itu, tak ada niat ingin menduakan sang Gusti . Semoga Gustiku mendengar dan memahami tradisi kami.





Dari Gelas Kopi dan Raket Nyamuk

1 08 2007

Duduk bercengkrama di tengah ruang pendopo ditemani angin dan nyamuk, banyak hal yang melintas dalam canda tawa dan diskusi aneka persoalan. Gelas kopi besar menemani masing-masing dari kami, sebagai penanda nyamannya hati dalam aliran kata yang ada. Sesekali raket nyamuk beraksi memberi sentuhan wangi dan suara bak rangkaian irama orkestra sebagai ilustrasi. Makin dalam saja kami menempatkan diri pada bangku dan bale-bale empuk. Lalu apa yang membuat kalimat-kalimat kami mampu mencetuskan tawa?

Sesungguhnya, tanpa kami inginkan, segala kalimat itu bermuara pada kenyataan tentang dua jenis manusia. Berlawanan, tapi sesungguhnya berpasangan dan saling tarik menarik. Utara-Selatan, kanan-kiri, dan laki-perempuan. Tak bisa dunia ini indah jika hanya diciptakan satu saja dari masing-masingnya. Banyak masalah memang, muncul dalam keseharian kehidupan ini dalam hubungan diantaranya. Karena itulah maka menjelma menjadi indah meski kadang juga perang. Hanya jika masing-masing dari kita menyadari bahwa seharusnya semua itu diterima apa adanya, maka lidah ini mampu menyebutnya keajaiban. Dan bila kita sanggup menempatkan diri dengan bijak, maka indah itu memang ada.

Bagaimana seorang perempuan berkeras menyimpan dalam-dalam sebuah pundi keluarga tanpa mau menyentuh, mungkin menjadi keheranan bagi sang lelaki. Tapi jika tidak demikian, maka sia-sialah keringat para lelaki itu membanjir. Bagaimana kemudian lelaki kecil diajarkan berbenah oleh sang bunda, pasti sanggup membuat taring lelaki terasah tajam. Namun jika ditabukan, apa yang bisa ditemui ketika lelaki kecil itu seorang diri di tempat yang jauh dari sang bunda, hanyalah sebuah kotak berdinding yang penuh debu dan bau meracuni otak. Masing-masing punya alasan untuk menjawab dan berdalih.

Lalu menjadi makin riuh canda tawa itu, ketika harus mengurai darah siapa yang memberikan aliran baik pada keturunannya. Masing-masing kutub bersaing ingin menyatakan diri sebagai pihak yang memberikan andilnya. Padahal ketika dirinya diminta menyuarakan potensi pribadi, seringkali hanya senyum malu yang ditampilkan di wajah seolah itu barang langka. Maka pewaris selalu mampu mengubah peta berolah pikir tiap makhluk. Begitu lucu menyadari betapa anehnya manusia dan kemanusiaannya. Tak ada kecuali. Lalu mengapa ketika tak satupun sempurna, harus berujung pada perang memperebutkan nama dan segala atribut semu. Semakin lucu dan aneh untuk kita telan.

Gelas kopi besar ini makin tandas isinya. Raket nyamuk sudah menjadi senjata pembunuh tak berampun dan banyak menjatuhkan korban. Tapi kalimat demi kalimat tak kunjung habis disuarakan. Mungkin ini kelucuan lain yang harus sering-sering kita amini. Karena memang jika suara itu tentang makhluk yang bernama manusia, mata airnya tak akan pernah kering.