Sangat tak mungkin bagi saya mengelak jika kebanyakan orang yang mengenal saya lalu menilai sebagai sosok yang sangat dekat dengan sifat tradisional. Bagaimanapun saya tampil dengan segala atribut kemodernan yang mampu saya jangkau, sifat tradisional itu akan tetap tampak. Terlebih dengan separuh lebih usia saya habiskan dalam lingkungan tari, kesan itu akan semakin kuat terasa. Segala yang saya dapat dari dunia tari nyata benar sangat mempengaruhi apa yang saya pikirkan, ungkapkan……
Saya lalu teringat ketika masih baru belajar menari. Ada satu tarian dengan ragam gerak membatik. Memegang kain, canting, mengambil malam, meniupnya agar malam dapat menetes dan dilukiskan pada pola kain, dan mulai membatik. Gerakan itu melekat erat di benak saya, dan sejak saat itu pula selalu tersimpan angan untuk melakukannya secara nyata. Bukan cuma menari. Sampai saya beranjak tua, saya tidak punya kesempatan untuk mewujudkannya. Saya pikir, itu adalah kemewahan yang dimiliki orang-orang tertentu dan orang seperti saya sulit untuk mendapatkannya, dengan segala keterbatasan yang ada.
Sampai di hari Minggu lalu, impian itu terwujud. Duduk dalam kelas pengenalan membatik ibu Indra Tjahjani, saya membayangkan lagi gerakannya, meniup canting……dan …..teman saya tertawa. Katanya, dalam pengalamannya mengikuti kelas membatik tidak pernah terjadi dia harus meniup canting untuk mengeluarkan malam. Cukup mencelupkan lagi canting pada wajan kecil tempat memanaskan malam, maka lilin dingin yang mulai membeku dan menutup lubang canting akan dengan sendirinya mencair. Siap untuk digunakan lagi. Logika sederhana tetapi tidak pernah saya cari sampai saya melakukannya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, saya membatik kaos agar bisa saya pakai.
Dan segala bayangan itu masih melatari gerak awal saya membatik . Kesabaran ala meditasi gerak bedhaya, pengaruh baju batik yang saya kenakan, semua melingkupi saya hari itu. Hingga akhirnya keluhan, tawa teman seperjuangan dan tetesan lilin panas di tanganlah yang menjatuhkan saya pada dunia nyata. Dan meditasi saya buyar, menjelma kembali menjadi keseharian seorang perempuan yang tak feminin sama sekali. Tapi setidaknya, saya sangat bahagia hari itu. Saya membatik ! Saya membatik! Layaknya mantra, saya ulangi terus kalimat itu dalam hati. Apapun hasil akhirnya, saya akhirnya membatik !
Sedikit saja yang saya sesalkan dari catatan tentang hari itu. Yaitu ketika ada satu mbak pendamping yang memberitahukan bahwa saya harus tebal-tebal melukiskan malam pada bahan kaos saya itu. Saya lalu menurutinya hingga membuat mas dan mbak yang melakukan pewarnaan kesulitan sendiri melorot malamnya. Dan satu lagi mbak pendamping lain begitu saja mengoleskan parafin pada lengan kaos saya.
Saya tidak begitu mengerti awalnya, bagaimana olesan parafin itu akan mewujud pada kaos saya. Mbak tersebut bersikap seolah pengolesan parafin itu adalah sebuah keharusan dalam proses membatik. Tanpa bertanya, beliau langsung saja mengoleskannya pada lengan kaos saya. Ketika saya dapati hasl akhirnya kemudian setelah pewarnaan, membuat bibir saya terbuka lebar menganga. Dan tanpa saya perintahkan, otak saya seperti melihat Maradona memakai batik. Atau, mungkin begitulah kurang lebih bentuknya jika suatu saat para penghuni keraton ingin membuat kaos seragam sepak bola.
Tapi ‘luka kecil parafin’ itu tetap tidak menutupi kebahagiaan saya. Pengalaman mewujudkan apa yang selama ini saya angankan lebih berarti dari segalanya.
Andai saja saya bisa membatik setiap hari dengan diiringi suara gamelan, angin semilir, singkong rebus dan segelas kopi…………….
Komentar Terbaru