Persepsi

27 06 2008

Nafasnya panjang tak habis dalam detik pertama. Tak sampai lama jeda berlalu dihembusnya lagi seri nafas panjang yang berikut. Hampir satu tangan terhitung dia lakukan itu berulang, tapi terasakan dadanya tak juga lega. Ah, aku seperti orang terapi asma saja, pikirnya kemudian. Mengeluh. Dan keluhannya itu justru memberinya gejolak lain di sekitar perutnya. Ulu hati, tak nyaman, dan sesekali seperti orang ingin berhajat. Mulas, tak terlukiskan. Ini gelisah namanya. Dida berjalan.

Namanya Dida. Dida tak tahu arti namanya. Jika ada yang bertanya, dia menjawab mungkin dulu ibunya ingin bernyanyi tapi tak bisa hingga hanya senandung didadadiddidadada itu yang terdengar. Dan sesederhana itu saja namanya muncul, tanpa ingin menganalisa lagi perlukah dimaknai. Terserahlah, batinnya. Yang penting orang lain bisa memanggil dirinya dengan baik. Dida ini adalah Dida yang sama sedang tak menentu perasaannya. Yang punya gelisah tadi. Berdiri di tepian balkon, menatap jauh dekat kemana saja matanya mau. Tidak jelas juga tujuan tatapannya. Lelah berdiri dan menumpukan tangan pada pagar besi , dia melangkah ke bangku sudut dan diam disitu. Tak nyaman, Dida malah melorot ke lantai dan memeluk lututnya erat, kepala ditumpangkan asal di lutut. Dan beginilah dia bertahan lama menenteramkan hati.

*****

” Kemana Dida? “, suara seorang lelaki, ayah Dida.

” Di balkon……ngelamun aja…..jangan ganggu, Yah…biar aja ! ” , itu Kief, adiknya. Laki-laki, SMA, yang tak jelas juga arti namanya selain ibunya waktu itu sedang jatuh cinta pada bintang film bernama itu.

” Ah….siapa yang mau nganggu, wong Ayah cuma tanya dia dimana…..hehehe”

” Yeeeeee……….ngocol nih, Ayah ! ”

Pak Hari senyum samar sambil membuka harian paginya. Hatinya menebak-nebak apa yang terjadi pada putri sulungnya. Andai Santi istrinya masih ada, dia tidak akan terlalu sering menebak-nebak begini tentang apa yang terjadi pada anak-anaknya. Tak dibiarkannya hatinya merindui bayangan istrinya yang sudah dua tahun ini pergi selamanya, matanya menelusuri berita-berita di halaman harian pagi. Teori pengalihan perhatian untuk menipu perasaan.

” Ayaaaaah…….Kief pergi dulu ya…..ke rumah teman, pulang siang. Tertib kok, bos ! ”

Sambil mencium tangan Ayahnya, Kief tersenyum dan mengedipkan mata. Pak Hari mengerti, karena begitulah cara Kief meminta ongkos.

*****

Dia masih seperti tadi, seperti setengah jam yang lalu. Telinganya mendengar segala pembicaraan Kief dan Pak Hari. Mendengar gemerisik daun yang tua, mati dan jatuh. Mendengar derum kendaraan yang lewat, suara burung gereja di sekitar halaman, suara bantingan pintu Kief……..semua dia dengar. Tanpa membuka mata sedikit pun. Semuanya dia hirup seperti nafasnya, memenuhi kepala dan rongga dada, menjadi penghiburan tersendiri. Itu musik juga baginya. Memberinya rasa tenang jika dia serap tanpa pandangan mata, hingga dia betah berlama-lama begitu.

” Didaa……….ngapain lama-lama begitu. Kayak orang waras aja kamu…….ayo makan sama Ayah ! ”

Kaget, Dida membuka mata. Dilihatnya pak Hari berdiri di ambang pintu. Terganggu, tapi Dida tak ingin marah pada Ayahnya. Dia tahu, harus ada orang yang membangunkannya dari keterlenaan sesaat supaya dia sadar, bola bumi ini masih menggelinding untuk dia dan semua orang.

” Tante Retno masak apa? ”

Ya, mereka memang tinggal bersama tante, adik ayahnya, yang hidup sendiri tanpa suami, dengan dua sepupunya. Semenjak Ayah Dida juga menduda, mereka memilih berbagi kehidupan di rumah besar itu. Saling menopang dalam susah dan senang, begitu filosofinya.

” Nasi Uduk……komplit deh ! “, kata Ayahnya mendahului berjalan.

” Oke……gosok gigi dulu ya, kan belum mandi “, Dida nyengir dan terburu-buru pergi sebelum kupingnya disambar ayahnya.

*****

Sore itu, Dida dan Pak Hari sudah berada di mall favorit mereka. Tante dan para sepupunya tak ikut. Biasalah hari Minggu, hari keluarga tantenya beribadah. Sejak pagi mereka pergi dan mungkin ingin merancang acara mereka sendiri. Keluarga Dida dan keluarga adik ayahnya itu memang berbeda agama. Kehadiran Ibu Dida di samping Pak Hari-lah yang membuat perbedaan itu.

Ada film baru yang ingin Dida dan Ayahnya tonton. Tentu saja jawaban Kief bisa ditebak untuk ikut bergabung bersama mereka berdua, ketika Dida menelpon ke telpon genggam Kief. Tapi itu nanti, masih satu jam lagi dia menyudahi kumpul-kumpulnya. Sekarang, Dida jalan-jalan dan makan-makan berdua dengan Pak Hari.

” Emangnya ada apa, Da? “, pak Hari membuka obrolan serius ketika sudah duduk di dalam Warung Pojok itu.

” Heh ? Apaan ? ”

” Ya itu…..kamu itu kan kalo punya pikiran biasanya malah tidur. Lha hari ini kan beda tho ? ”

” Beda gimana, wong Dida juga tadi tidur di jam nanggung gitu kok…..”

” Ya tapi kan setelah sempat jadi tontonan burung di balkon, Neng ! Nggak usah ngeles gitu laaah….”

Dida nyengir, minum teh pocinya, goyang-goyang kaki. Pak Hari tidak mau kalah, terus menatap dan menjawil terus tangan anak gadisnya yang mahasiswa semestar 4 jurusan filsafat ini.

” Udah ah, nggak usah colak-colek aja……iya, bentar Dida tarik nafas dulu”.

” Singkatnya begini…..Dida nulis apa, yang baca ngartiin beda…….Dida ngomong A, yang dengar ngirain maksudnya C…Dida diem aja, lha kok salah juga……”

” Trus…….”

” Ya Dida kesal ! Putus asa. Mending kalo cuma salah interpretasi, Yah. Ini sampai bikin orang-orang tuh merasa tau Dida itu orangnya ABC dan seterusnya. Seolah Dida itu identik dengan karakter ABC dan seterusnya. Sempat ngerasa mending gak usah  bergaul aja. Sakit hati, Yah ! ”

Nafas Dida tidak karuan, dadanya naik turun cepat. Nyata sekali dia sangat emosi dan andaikan manusia itu bukan ciptaan Tuhan, mungkin dia sudah menjadi kepingan kecil karena ledakan emosi tak tertahankan. Bibirnya yang mendadak lebih panjang sedikit dibandingkan biasa, adalah sebuah penanda lain. Dan Pak Hari, masih terdiam dan memandang Dida dalam-dalam. Tak ingin segera bicara.

Setelah menyesap lagi kopi panasnya, barulah Pak Hari bicara perlahan,

” Kamu kan bukan tidak tahu, bahwa kesalahan termasuk salah mengartikan itu selalu bisa terjadi….”

” Iya sih……bukan hal baru…”

” Sekarang tinggal kamu mengatur emosi aja mungkin ”

” Maksudnya ?  Dida baru uring-uringan itu setelah semuanya bertumpuk, Ayah…..”

Pak Hari tersenyum. Tangannya membantu pelayan yang datang mengantarkan pesanan mereka, Nasi Bogana dan Iga Kambing Bakar. Menempatkan Iga pesanan Dida di depan putrinya, dan menyeruput lagi kopinya yang tinggal sedikit.

” Teman Ayah dikantor, orang baik, semua yang kenal dia juga tahu. Minggu lalu dia ditangkap, katanya terlibat korupsi. Beritanya keluar dimana-mana, jaman sekarang berita begitu ditunggu orang. Semua bilang, memang begitulah orang seperti dia, seperti Ayah. Pekerjaan yang dipandang buruk. Tapi kenyataan sebenarnya…..ada banyak hal yang berada di luar keinginan kita. ”

” Kenapa gak bikin penjelasan? membantah? ”

” Pada saat orang mempercayai kesimpulan dia dari apa yang dilihat, cenderung untuk tidak mempercayai omongan selanjutnya. Capek jadinya”

” Terus…pasrah terima nasib dipandang jelek gitu? ”

Pak Hari tersenyum lagi. Kali ini, lebih kepada keadaannya yang sedang berusaha menelan suapan-suapan terakhir.  Dida sendiri sibuk memutar-mutar Iga yang dipegangnya, untuk mencari bagian daging yang masih bisa digigit.

” Kamu tidak suka berdandan sebagai anak gadis…..kata orang kan gadis harus cantik, harus dandan “, pak Hari akhirnya menuntaskan santapannya. Tatapannya kembali pada Dida. Mau atau tidak, ucapannya sendiri baru saja memukul perasaannya sendiri. Berderap cepat membawa gulungan badai yang meniupkan nama Santi. Orang yang tepat yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kehidupan seorang gadis pada Dida

Dida melotot. Barisan jawaban siap meluncur untuk menjawab pertanyaan itu, kalimat-kalimat yang dihafalnya karena pertanyaan itu terlalu sering menghajar telinga. Tapi mendadak dia ingin sedikit kreatif,

” Ayah nggak takut dikira yang tidak-tidak ya……tidak mencari pengganti Ibu, di rumah ada tante Retno yang tidak semua orang tahu itu adik Ayah? ”

Dida menangkap kedipan mata Ayahnya. Jawaban semuanya itu sudah ada di genggamannya, tepat di waktu Kief yang berpotensi menghancurkan perbincangan, menyusul ke Warung Pojok itu.

” Waaah…….pasti habis omong-omong orangtua nih ! Ikut aaaaah….”

” Iya, omongan orangtua……tentang kapan yang namanya Kief bisa bener tingkahnya ”

” Aaaaah, curang……gak jadi ikutan deh. Yok, langsung aja Mbak, nonton. Gue udah kenyang ! “





Rasa Ibu

23 06 2008

Di sebuah pusat perbelanjaan, ” HUAAAAAA…………aku mau main……mau main……..huaaaaaaaaaaaa……gak mau, gak mau pulang……!!!!!!!!!!!!!! “…..

Bukan pemandangan yang indah untuk dinikmati. Ada banyak emosi tumpang tindih berebut mempermainkan hati yang hanya sepotong. Mungkin ingin marah karena tak sesuai keinginan. Mungkin rasa malu menggelegak memerahkan paras karena menjadi pusat pandangan mata. Atau ketidaktegaan untuk tangisannya, namun juga keinginan untuk mengajarkan disiplin.  Pilih anak atau ibu……menyerah atau teguh……Ibu, nuranimu harus bicara.

Ada bacaan berita, betapa seorang gadis pun sangat memelihara rasa haus akan kuasa dan menaklukkan sesamanya. Tangan ramping dan seharusnya halus, bergerak kencang dan menancapkan bekas merah di pipi mulus yang bukan pipinya. Cerita yang bukan rancangan sinetron. Sangat nyata, dan sangat mengiris hati. Haruskah menutupi dan menganggap tidak ada? Atau mengakui kenyataan ? Mengakui tak harus menjauhkan pelukan dan menutupi tapi tak berdusta……Ibu, nuranimu harus bisa bicara benar.

Dunia yang ada di depan mata saat ini tampak hancur ketika perjalanan hati tak terasakan sejuk. Entah apa yang membuat rumah cinta itu mengeras dan kehilangan sentuhan manis bagi peradaban. Tampaknya kelahiran masa berikutnya mungkin memunculkan monster-monster ganas pemakan hati dan cinta bila tak ditemukan penawarnya. Dengan pemikiran ruang sempitku, aku cuma ingin meraba kuduk sendiri. Dan melihat telapak tangan kecil yang kuasanya begitu besar. Rahim saja adalah sebuah keistimewaan karena dari sana tak cuma bisa lahir satu dan ribuan sosok, tapi juga rasa. Benci, dendam, cinta, tanggungjawab, murka, maaf, kemanjaan dan sejuta rasa dan emosi yang bertebaran. Ibu, apa yang bisa tercipta dari rahim dan rasamu akan tampak pada putramu. Ya… kamu, Ibu……aku sendiri.

Selalu ada banyak debu dan bakteri yang bisa menempel di kulit dan tak cuma satu tiang menyangga rumah. Tapi kuduk ini bicara untuk menelisik ke dalam. Ada banyak masa tangan-tangan ini mengukir sejarah hati manusia, dan itu adalah masa emas. Tak mungkin kembali. Mulut boleh berteriak kencang, tapi jangan hitamkan hati. Tangan dan suara cantik jika terasa lembut, tapi jangan lemahkan hati jika jalannya tak baik.

Ibu, keibuanmu……….selalu pantas untuk dipertanyakan artinya bagi peradaban………





Kamu Yang Tercinta

16 06 2008

Our Beloved

Aku tak mengerti

Ketika Tuhan menciptamu, mungkin hatinya sangat penuh cinta

karena dirimu sangat sempurna indahnya……

Matahari mungkin tak pernah terbit sendiri tanpa ditemani sapamu

dan aku terbangun dengan sentuh dan senyummu

Mungkin kau pernah berteriak untuk segala yang memenuhi jiwamu

tapi seperti janji sang matahari untuk menghapus kabut,

jejaknya bahkan tak kulihat lagi

Dan aku pasti cinta kamu………mereka juga cinta kamu……….

Aku masih disini, kami masih disini

menatap tiap sudut yang merekam hadirmu dulu

menatap rumput hijau di atas makam yang memisahkan ragamu dari kami

membaui wangi yang punyamu, mengenangmu……..

Kulitmu tak bisa kusentuh lagi, matamu pun tak bisa kutatap

Tapi hatimu dan segalamu tak pernah pergi

Dari sudut hati, dari nadi, dari nafas ini…………..

ditulis untuk menyertai buku Yassin , mengenang 40 hari kepergianmu………





Juru Masak

10 06 2008

” Cinta itu datangnya dari perut….”

” Orang-orang tua dulu itu, memilih calon menantu untuk anak laki-lakinya dari melihat gadis-gadis yang sibuk di dapur waktu ada hajatan….”

” Kamu masak apa ? “, ” Kamu pinter masak ya? “,……….

Banyak sekali komentar seputar dapur yang bisa terdengar. Mungkin sekarang justru bisa terdengar begini,

” Sudah, sini aku masakkan buat kalian …”

Ini persoalan perempuan. Sangat perempuan. Bisa dilakukan lelaki dengan lebih piawai jika berminat, tetapi hanya menjadi masalah besar bagi perempuan , bukan lelaki.  Lelaki tak memasak,  siapa peduli. Perempuan tak bisa memasak jadi: ” Oh ya? Ya sudah nggak apa-apa, nanti lama-lama pasti bisa “. Atau begini :”Maafkan saya tidak bisa memasak ” diucapkan seorang perempuan dan belum terdengar lelaki minta maaf untuk itu.

Yang pasti, tak pernah terbayang di benaknya akan menjadi seperti apa ketika tumbuh dewasa.  Baunya masih sangat bau kencur muda dan lebih senang berlarian kesana kemari dengan sebaya, tetapi suara keras ibu akan memanggil ketika beliau sibuk di dapur. Tak peduli banyak teman menunggu di luar dan terheran-heran, yang penting anak gadis semata wayangnya perlu mengikuti kursus gratis memasak  dengan terkontrol ketat. Sampai tanpa disadari, teringatlah ketika di satu waktu pikiran aneh mencuat begitu saja dan dia hadapi dengan rasa geli. Pikiran semacam ” jika anakku ulangtahun, maka semua hidangan ini harus bisa hadir dari tanganku. bisa nggak yaaaaaaa…..”

Bukan…….gadis kecil itu sekarang bukannya mewujud menjadi seorang pakar masakan. Bagaimana mungkin menjadi pakar jika resep-resep yang dia lihat setiap hari di milis hanya dilewati begitu saja untuk disetujui hanya agar anggotanya bisa membaca. Ya mungkin saja satu saat nanti membutuhkan aneka resep itu, maka pelariannya adalah pada arsip pesan yang sudah bertumpuk.

Tetapi yang mengherankan adalah ketika sebuah kata meluncur begitu saja,” Sudah, sini aku masakkan buat kalian …” Begitu percaya diri, dan begitu saja terbentuk niat untuk melakukannya. Dan tiba-tiba saja dalam waktu satu bulan itu sudah tertulis jadwal berapa kali dia harus belanja dan memasak dalam jumlah besar hingga berbilang ratus, meski bukan ratusan orang. Apakah jiwa ibunya sudah merasuk, ataukah hanya menampakkan garis keturunan? Dia sendiri bingung. Dia hanya tahu bahwa hatinya sangat senang suka ria bahagia ketika banyak orang menikmati dan menyukai racikan tangannya. Dia suka ketika tangannya menghasilkan sesuatu yang rapi dan tidak kacau, meski dia sendiri ragu apakah yang dikerjakan tangannya itu sama persis dengan kursus gratis yang diterima puluhan tahun lalu. Karenanya dia membuat kalimat penghiburan bahwa memasak tidak perlu undang-undang karena yang penting adalah penerimaan lidah.

Lihatlah…….dia, perempuan itu sedang menghitung. Menghitung kegiatan yang harus dia jalani dan membaginya dengan teliti kapan waktu yang tepat untuk mulai mempersiapkan peralatan perangnya dan mengatur strategi. Dia tak ingin ada kesalahan, tak ingin tertinggal dunia luar yang berputar, tak ingin kecewa.

Apakah ini awal sebuah jalan hidup baru…………pikirannya sedang mempertanyakan.





Mengurai

9 06 2008

Perasaan yang tidak terlalu terkejut dan seolah sebuah letupan kecil yang ditunggu untuk muncul manakala sebuah tanya datang. ” Hidupmu kok berada di sekitar rumah sakit? ”

Melemparkan ingatan dalam perjalanan setahun terakhir, bau rumah sakit memang menjadi cukup akrab di cuping hidung ini. Keberadaan gedung yang di masa kini sudah sangat diramahkan penampakannya dengan menyerupai hotel kelas atas tetap tidak membuat perasaan menjadi lebih nyaman. Tak ada yang mampu menipu sebentuk rasa untuk mengatakan nikmat, ketika dunia yang berputar di dalamnya berdekatan dengan bentuk rasa pedih perih sakit yang lebih suka ditolak daripada diterima. Apalagi di penghujung hari berikutnya, kekalahanlah yang mesti tergenggam erat.

Jangankan harus berbilang-bilang,…. Satu saja pun, sebuah kekalahan menggenggam nyawa bukan rasa yang mudah diterima. Dan pasti tak kan pernah hilang. Dan di sini aku berdiri menggenggam dua. Melayang, karena memang harus lepas. Ikhlas ? Mungkin, begitulah iman yang terberi. Terima ? Sebuah keharusan. Sakit ? Pastikanlah itu ada dan tak bisa kutemukan cairan pembersih hebat yang mampu menghilangkan nodanya dalam dada.

Sebentuk tawa bisa ditemukan dalam hari-hari yang berjalan kemudian. Tidak usahlah dihitung bahwa waktu baru saja bangkit. Belum jauh berjalan dari tanah merah, dan kini bisa tertawa. Mengapa ada tawa, karena kembangan bibir yang membentuknya memang harus ada untuk sebuah selingan. Karena ketika bibir mengatup kembali biasanya membawa bening air di sudut mata. Maka senyum dan tawa harus terhadirkan sebagai dessert di akhir santapan yang begitu saja terhidang. Dimasak begitu sempurna oleh juru masak kehidupan yang tak tertandingi dan harus disantap dengan kelahapan yang biasa agar pertumbuhan batin semakin matang.

Detik waktu masih terus berlalu ketika kakiku sejenak berhenti berlari untuk menatap jalan yang harus ditapaki. Mencoba menatap jalan kehidupan itu dengan mata yang bukan milik diri. Maka pertanyaan seperti tadi sangat wajar ada. Mungkin bahkan ada pertanyaan yang lebih terang,” Banyak sekali masalahmu? ” Entahlah, batin ini justru tak merasakan segala yang berputar sebagai masalah. Hanya keharusan untuk menghadapi saja dengan kebaikan.

Pikiran memang sedikit membeku. Biar saja, aku menikmati. Tak ingin memaksanya bekerja selain mencerna dengan perlahan. Melepaskan diri dari lelah yang terlalu, tidak tahu kapan akhirnya. Memakan semua emosi hingga habis dan tak menyisakan kemampuan untuk mencecap rangsangan yang dulu selalu mampu menghadirkan barisan kata. Emosi kini hanya satu yang hadir dengan nada monoton. Mrongkol.

Aku ingin menguraikan semuanya…………