Cinta pada Sebuah Kantong

27 11 2007
Subuh datang lagi, menyiapkan sarapan pagi. Kopi, susu coklat, sekotak mentega, sekotak meises, beberapa potong sosis, sekantong roti tawar……Mengoleskan mentega pada lembaran-lembaran roti dari kantong yang tadi dan membagikan ke tiap piring yang sudah menunggu. Mata dari tangan yang mengoleskan mentega, sesekali kembali melemparkan tatapannya pada kantong roti. Menghitung lembaran yang tersisa di dalamnya. Pagi ini, mungkin masih akan ditemui dua tiga lembar roti di dalamnya, sebelum sore atau esok hari kantongnya melayang ke tempat sampah di sudut. Tak berguna lagi.
Beranjak siang, membersihkan lemari pendingin dari yang tak perlu. Kotak-kotak penyimpan di dalamnya menyisakan beberapa potong cabai yang masih berbalut plastik kecil tipis. Sebuah kantong lagi yang akan segera tak berguna. Dan dalam pembersihan ini, nasibnya pasti akan berakhir menemani kantong milik roti tadi. Di tempat sampah. Lagi, tak ada yang menangisi terbuangnya kantong-kantong itu. Toh cuma kosong.

Ada sekantong lagi di sudut pendingin ini. Permen-permen coklat yang masih cukup banyak isinya. Jika gegabah yang terjadi dan menyamakan saja nasib kantong itu dengan yang dua tadi, pasti ada yang akan menangis. Menangisi sang permen, bukan kantongnya. Ah……..yakin aku, ….pasti tentang permennya. Kantongnya…….pasti bukan apa-apa. Gantikan saja dengan kotak penyimpan, tak ada masalah yang muncul.

Tiba-tiba aku terbatuk. Teringat sebuah kantong lain. Elastis tapi rapuh juga, tak semua punya kemewahan mendapatkannya. Apakah bisa sama dengan semua yang terbuang tadi……….mestinya tidak. Satu ini sangat istimewa. Dia ajaib. Intan berlian tak sanggup menakar harganya, juga untuk apa yang sanggup ditampung di dalamnya. Sebuah kehidupan.



Gambar diambil dari sini
“Aku punya kantong ini. Dan ada dua berlian kuambil dari sana “.

Mungkin duduk lebih baik. Guncangan rasanya kembali melanda. Bungah. Melonjak. Dan melemparku lagi dalam kebisuan yang memang tak bisa punya kata. Rasa bungah dan lonjakan girang untuk berlian-berlian yang mampu dihadirkan kantong milikku. Tapi kebisuan yang ada ketika perempuan yang sama sepertiku tak tahu untuk berkata. Dia ……melepas tak hendak. Dia kehilangan. Tak mungkin ada berlian di tangannya, di pangkunya, apalagi menyesap air surga darinya.

Aku dan semua perempuan. Kadang kilau nama kami hanya karena kantong kecil ini. Banyak cinta akan diberikan di kehidupan kami. Tapi ketika hitungan waktu berjalan makin tua dan tak sebuah pun berlian muncul dari kantong kecil kami ini, nama kami bisa jadi tak berkilau lagi. Cinta kami bisa pergi jika yang memberi terlalu meminta upah.

Di sudut kota ini, ada satu cerita dari banyak yang pernah tersiar. Perempuan yang belum dihampiri cinta, tapi sudah tak menggendong lagi sang kantong. Bukan dia yang mau. Yang dia tahu, kantong miliknya seolah diperlakukan sama dengan kantong roti, kantong cabai, kantong permen. Mungkin di tempat sampah entah dimana. Tak mungkin ada lagi berlian yang diciptakannya dengan nafas kasih dan bakal menyesap air surganya. Entah cinta, apa masih mau datang padanya tanpa meminta.

Memang cuma sebuah kantong. Lihat saja begitu. Tapi semua bisa ada karenanya. Cinta, kehidupan, harga diri, harga uang, rasa bangga, nama baik nama buruk, akar penyakit, ….terlalu banyak yang bisa ada. Tapi jika lalu koyak, harus ada airmata yang dihormati untuk melayangkannya entah kemana. Karena kantong ini berbeda. Karena kantong ini…………suci……..





Dari Sudut Sepi Sebuah Rumah

23 11 2007
Menikmati sudut dunia tersendiri dalam satu ruang untuk berlari. Menepi. Menelisik. Sendiri. Menjadi diri sendiri. Sekadar melakukan periksa langkah, periksa pikir, sudah belum atau ingin digapai. Lucu dan aneh.

Teringat cerita Aminah, manakala dia sebagai Aminah kencur pernah membisikkan,” aku ingin jam tangan manis bertali kulit”. Bisikan yang hanya terdengar hati dan Gustinya, tapi terwujud di pergelangannya dalam hitungan hari. Bukan main ! Matanya katanya, memandang ke atas tak bertepi dan merasa begitu dekat dengan Gustinya. Selalu ke atas, karena disanalah pikirnya Gustinya itu berada.

Dimensi waktu tahun-tahun kemudian, ia mulai mengenal cinta. Bukan produser, bukan sutradara, diciptakannya sebuah film mimpi dalam angan. Film tentang ia dan cintanya, menikah dan memulai langkah kecil, dalam satu rumah sangat kecil, sederhana, kosong tanpa perabot. Lampu rumah temaram karena kemampuan yang juga kecil untuk membeli listrik. Langkah awal, rangkakan mungkin, sebelum menjadi yang lebih besar. Perempuan didikan Jawa, didekatkan pada susahnya dunia nyata, film mimpinya tak mungkin dimulai dari Hollywood. Nyatanya, film itu terproduksi sungguhan katanya…….lagi ia tengadah, tapi tertunduk lagi. Mulai mengerti rupanya, Gustinya tak selalu ada di singgasana di atas entah.

Satu kali ia pernah mempersilakan satu kakaknya membawa satu perempuan pengganti permaisuri yang mangkat. Mulutnya jelas pengucapannya, “Silakan….bawa saja jika mau”. Terbuka sangat dengan keinginan kakak. Tatkala kemudian bertemu dengan sang perempuan, ia malah tak mampu tersenyum. Tak punya kata untuk menyapa, bahkan untuk menjelaskan kenapanya. Yang dia tahu, rasanya sirene dalam dadanya meraung sangat kencang memekakkan telinga. Untuk apa, bahaya apa, sungguh tak tahu. Sirene yang membuat dia terdiam dan menjadi terdakwa karena tak mampu membuka kata. Meski Aminah sudah mengerti tak pernah ada singgasana di Atas sana, tapi menengadah selalu lebih mudah. Ia cuma mau bertanya tentang kenapa. Jawabannya dicicil seperti kredit tahunan. Perempuan tadi itu memasok rasa sakit, membuat ayah ibunya selalu menghela nafas panjang, dan kakaknya tertoreh-toreh luka. Aminah cuma membatin, ooh……it works…..sirene hati.

Aku dengar Aminah itu berkata dia pelihara yang dia punya. Yang “it works” tadi. Katanya selalu dijaganya supaya tak berkarat. Dia nyalakan saat ingin tahu sudut mana nyaman untuk ditempati, atau kemana dia seharusnya tak melangkah. Masalahnya, sulit baginya untuk membagi makna raungan itu. Seringkali dia juga jadi habis kosa kata sehingga banyak yang gelengkan kepala untuk penjelasan yang tak jelas abjadnya. Ya sudah, dia memang begitu adanya.

Lalu kenapa dia jadi gelisah sekarang? Aku dipaksanya membantu berpikir. Membantu meraba juga dengan hati. Ah, hati lagi….Katanya, dia jarang bersurat pada Gustinya lagi, tapi ingin bertandang ke tanahNya. Entah kapan. Lalu kalau tak sering bersurat, “Apa aku masih intim dengan Gustiku, ya?” Ia yang sering tengadah mempertanyakan itu, apa yang harus aku jawab. Dalam teoriku, bukan aku yang bisa menjawab kegelisahan dia. Lalu bagaimana?

Pada akhirnya aku memang tak menjawab, cuma berkalimat,

” Aminah, ……aku cuma menawarkanmu tempat di sudut sepi rumahku ini. Untuk berlari, untuk menepi, merasakan angin yang membawa tiap kabar, dan memeriksa sirenemu itu apakah masih berfungsi dengan baik…….seperti yang aku lakukan malam ini..”

Selamat berakhir pekan dan datang dengan kesegaran…….




Memandangmu, Lelaki…………

20 11 2007
” Dodol…dodol…..mau nggak dodolnya?”
Panas siang yang terik diantara hari-hari yang mulai memberikan deras hujan, dengan suara lelaki tua. Panas yang tak bisa diisi dengan kudapan manis seperti dodol yang dijajakannya. Dan kenyataan itu yang menjadi jawaban bagi tawaran sang bapak tua . Kaki kurus dengan bungkus kulit sangat keriput terus melangkah memasuki halaman rumah ini. Dan dia lalu duduk di sebuah kursi disana, membiarkan semua mata menatap tak tahu mau bicara apa.

“Ya…saya dengar kok. Gak mau dodolnya juga gakpapa…”
Mata-mata di halaman ini menatap makin heran. Tapi hatiku tiba-tiba menjadi pedih sendiri, tak perlu banyak penjelasan. Dan ketika pedih ini ingin menggerakkan seluruh yang ada untuk membawakannya segelas air dingin, kaki tua itu telah melangkah lagi. Keluar. Tanpa pamit atau permisi seperti dia masuk tanpa ijin. Hatiku makin pedih. Siang memang sangat terik dan melelahkan. Dia adalah kaummu, kasihku…….

Benakku lari ke sisi lain kota ini. Bapak tua lain. Keringatnya mengucur mengalir karena larinya menggapai apa yang dia lihat sebagai hak. Mataku memandang haknya sebagai sebuah monumen kasih sayang. Mengabadikan jejak panjang yang mampu digoreskan oleh tulang, otot dan peluh, dan mungkin harus hilang. Sebuah susunan banyak batu yang bicara tentang cinta, kerja keras dan harga diri kelelakian. Bukan harga angka, tapi kelelakian. Kaummu, wahai kasih….

Memalingkan wajah pada sisi lain, tertampak lukisan serupa. Lelaki dengan usia tengah baya, belum sepuh benar. Dia ciptakan juga menara cinta dengan peluhnya. Dengan keteguhan hati dan idealisme yang seringkali harus dilembutkan dengan bijak. Tak ada keluhnya. Batuk kecil kadang menemani malamnya. Hati ini tak kuasa memandang tanpa ingin menapakkan belaian di wajah yang lelah. Itu kamu………….

Kamu dan mereka adalah lelaki-lelaki biasa, dengan semangat luar biasa. Kuselami setiap langkah kaum itu. Kucoba pahami tiap hati yang terasa patah jika tak didapat ladang untuk membuat monumen cinta. Meski bait-bait lembut mulut wanita menerima kekalahan, tapi harganya bukan angka. Kelelakian. Itu yang katanya mau disuarakan. Karena harga itu adalah peninggalan tertua yang terwariskan pada kaummu.

Mungkin bukan yang istimewa dalam dunia ini. Banyak cerita serupa. Bahkan tak sedikit yang sungguh bercela tak mampu terkatakan hingga semua seolah tampak sama berengseknya. Perempuan-perempuan sepertiku bahkan banyak yang melangkah lebih jauh. Pundaknya bahkan memanggul lebih berat. Tapi entah mengapa tak ingin kusuarakan semua itu. Biar itu menjadi rahasia hatiku. Karena tampaknya akan lebih indah begitu dalam pandanganku. Tak perlu juga diminta tandatangan para lelaki untuk mengakui keperkasaan kaum perempuanku. Sebab perempuan lebih cantik bersuara dengan mata dan hatinya.

Maafkan untuk tiap keluh yang melupakan peluhmu. Ampuni untuk tiap pinta yang sepasti datangnya mentari di ufuk Timur. Dan maklumi jika perempuan melangkahi garis yang katanya tergariskan. Mungkin ada sakit yang ingin dibebaskan dengan langkah kecil. Tapi cobalah pandang dirimu lagi. Dengan sedikit tundukan kepalamu, hati kami bisa menangis. Dengan sedikit pejaman matamu yang lelah, tangan kami akan membelai. Dan kami tak butuh puja puji tak perlu. Kami cuma tak ingin melihatmu tenggelam dalam kesombongan.

Kasih, lembut genggamanmu ini menenangkan hariku………….





Bicara Lewat Hati

15 11 2007
Kadang kala dalam kepala ini bisa sama sekali tidak berisik. Tak ada percakapan-percakapn konyol yang terjadi dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Tak ada angan yang berloncatan disana, mempermainkan masa lalu dan masa nanti. Tidak berimajinasi sama sekali. Aku seringkali kehilangan jika kepala ini tidak menerbitkan barisan kata dan gambar aneh yang bermunculan entah darimana. Tapi sebaliknya, hatiku menjadi terlalu vokal. Ya sudah, biarlah demikian.

Kupandangi jalan di muka teras rumahku. Segelas kopi tak menemani. Tak ada selera. Apakah aku berduka, rasanya tidak. Senang malah mengingat kenyataan berminggu-minggu ada cengkerama dengan masa lalu. Bahkan mungkin akan terus ada. Tapi dunia terus berputar dan selalu membawa kabar baru. Entah mengapa, kebanyakan tentang pertengkaran. Miris…..

Lalu ada perjumpaan dengan seorang kawan. Hanya perjumpaan kata-kata. Tapi kami menemukan irama yang sama dalam berlagu. Maka kata-katanya menjadi panjang dan sulit berhenti. Seolah ada kesepakatan, kami selalu menyelipkan kata ‘takut’ di sela-selanya. Mungkin lucu jadinya dan kami bisa terkikik sendiri. Sedangkan yang dibicarakan sama sekali tak mungkin ditertawakan. Kami takut tak ada lagi tata krama dalam perbendaharaan pola interaksi antar manusia. Kami takut manusia seperti kami ini menjadi terlalu pandai, lalu tak punya hati dan pertengkaran semakin menjamur. Bahkan kami takut tak pernah cukup waktu untuk menitipkan pesan-pesan pada anak-anak kami, tentang segala yang tak lagi menjadi trend di udara kini. Pesan-pesan kuno. Karena kebebasan kini terlalu menjadi dewa di dunia, dalam pandangan mata kecil ini. Ya dan tidak, semua ada alasannya.

Sebenarnya segala rasa takut itu tak perlu. Pasti banyak mulut yang akan mengucap itu. Entahlah, mungkin itu hanya bahasa kami yang mengartikan sebuah keprihatinan pada banyak hal dalam satu kata. Atau dalam nada tertentu, seusia kami bisa menjadi terlalu naif jika keidealan masih didambakan. Tidak..tidak juga….kami mengerti bahwa ideal itu sangat mewah. Kami hanya sedang mimpi tentang keindahan yang tak sekedar hasil pengabadian lensa.

Tak ada yang baru di depan mata. Hanya saja kesadaran kadang tertutup sehingga melupakan yang pernah ada. Atau yang dulu berlalu dibiarkan saja berlalu tanpa sedikitpun dimaknai, dan menjadi tertegun ketika melihat semuanya melintas kembali. Mungkin juga emosi telah memainkan simpul-simpul pemaknaan menjadi begitu berbeda. Semua alasan bisa diterima. Bahkan alasan kematangan usia. Tapi memang harus menemukan orang yang tepat untuk bisa diajak duduk dan memetakan semua persoalan secara gamblang.

Kata siapa, ada tempat untuk kebebasan mutlak. Omong Kosong. Mungkin memang lebih indah begini. Selalu ada batasan tanah untuk melangkah, bahkan udara yang boleh dihirup. Sehingga aku, hanya menunjuk aku saja, tak akan mengambil tanah atau udara yang bukan milikku. Dan sekarang aku memiliki kekasih-kekasih kecil yang baru belajar bernafas, baru belajar membuka mata dan bicara. Baiklah,… aku ingin berangan sebentar, ……

Jika kekasih kecilku itu melihatku sebagai sosok yang mudah mengangkat tangan dan menunjukkan jari. Tapi jari itu selalu mengarah pada lingkaran di udara luar, maka itu yang akan dia lakukan. Dia tak mungkin mengerti bagaimana membalikkan jari itu untuk kadang menuju ke dadanya sendiri. Atau mereka mungkin tak pernah mendengar kata sayang di telinganya, maka lidahnya juga tak akan belajar mengeja. Matanya mungkin mampu mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru. Tapi yang aku tahu, dariku dan sang ayahlah dia belajar memandang untuk pertama kali dan setiap kali. Maka kami harus mengerti benar bagaimana cara memandang itu yang sesungguhnya.

Kepala ini tak berangan lagi. Hati berjalan mendahului. Ada keyakinan-keyakinan dalam genggaman. Keyakinan yang kadang berbeda dengan yang ada di genggaman yang lain. Tapi apapun itu, tak selayaknya saling meniadakan. Nafas ini terlalu pendek jika sebagiannya terfungsikan untuk meniadakan yang lain. Tak berguna…..melelahkan…..

Ah teman…….sekarang aku ingin segelas kopi.





Terpengaruh

8 11 2007
Angan-anganku dulu pernah mencapai sebuah titik dimana tak ada kata pengaruh. Angan yang naif dan terlalu bodoh. Terlalu sederhana untuk kepala yang mulai menyemai warna lain di helaian halus mahkotanya. Dan keinginan yang ingin berendam lebih lama dalam indahnya jelajah bening sebuah akal. Nyatanya, kemanusiaanku membuatku tersadar betapa makhluk bertangan kaki kepala ini begitu lengkap sebenarnya. Dalam satu tubuh kecil saja, bisa kupunguti banyak sisi gelap terang bodoh pintar balita dan manula.

Pagi ini tercium wanginya dengan sebuah ingatan akan malam yang dihadiri beliau yang sudah pergi. Melacak jalannya, semua hanya diawali dari sebuah malam yang merindukan kehadirannya seperti malam-malam yang dulu. Mimpi yang tercipta dari kuatnya pengaruh rindu, dan keengganan pada yang dia tinggalkan. Maka kantuk yang tersisa tak mungkin lagi dilenakan kembali.

Berkelana menghibur hati kadang tak selalu memenuhi cungkup gundah yang ditengadahkan. Hati yang lurus tak beriak justru lebih berbahaya untuk menerima segalanya ke dalam cungkupnya. Ada seseorang di belahan lain dunia mengingat selarik bait sesalnya yang mengundangku bersimpati. Menjadi berempati, mencoba merasakan duka lara yang dia cecap seolah manis. Tapi empati ini datang dari daging yang hanya sepotong dan harus mampu menanggung semuanya. Maka pengaruh itu tak bisa dienyahkan lagi.

Aku terpana mendengar berita kabel menodai pagi. Ingatan tentang perempuan di belahan lain dunia ini dan rasa sesalnya, memenuhi dada dan kepala lebih banyak. Yang kudengar ini, pasti tak seujung kuku keadaan yang diterima perempuan itu. Wanita tua yang dulu menggendongku di rahimnya masih mampu berjalan. Entah semangat atau keterpaksaan yang membuatnya tampak gagah memilih jumlah roda yang bisa membawanya ke dinding-dinding berbau alkohol dan obat suntik. Tapi ingatan tentang perempuan yang masih menggendong sesal itu, membuatku tak ingin menunggu. Tak ingin menggendong sesal yang sama. Membuang waktu mungkin jauh lebih baik daripada menangis nanti.

Pengaruh. Masih terlalu menguasaiku. Membawaku tak berakal. Membawaku kadang menjadi labil. Mengingatkanku, bahwa aku makhluk yang utuh. Lagi, dalam satu tubuh kecil saja, bisa kupunguti banyak sisi gelap terang bodoh pintar balita dan manula. Sebenarnya memang indah. Menakjubkan. Membuat yang Mutlak tak mungkin dipungkiri.

Aku tak bersedih hari ini. Tawaku masih berlanjut. Mengumpankan rasa lain yang lebih melankolis dan sensitif. Aku hanya ingin menjewer kuping sendiri agar tak lupa.





Keterlaluan !!!!!!

3 11 2007



Ya ya…….semua ini keterlaluan rasanya. Mestinya aku tidak suka kalau sudah keterlaluan. Tapi kali ini,mmmm……..mungkin di bagian-bagian tertentu keterlaluannya sangat tidak apa-apa. Sangat mau untuk diterima. Sebab rasanya terlalu menyenangkan, terlalu indah, terlalu riuh, terlalu heboh dan semuanya gara-gara terlalu kangen. Waaaaah………kalau sudah soal kangen, siapa orangnya yang lalu tidak terkunyung-kunyung (alah, bahasa apa ini?).

Begini ceritanya :
Kemarin, tepat hari Jumat di tanggal 2 November 2007 jam 18.00 WIB, bertempat di Restoran Pulau Dua Senayan Jakarta, berkumpul lagi orang-orang yang sudah 18 tahun berpisah. Orang-orang dari satu sekolah negeri di tengah salah satu perkampungan di Kayumanis Jakarta Timur, namanya SMAN 31, khususnya angkatan 1989 . Ini hasil usaha kerja keras dari masing-masing lulusan tahun itu untuk melacak dan saling menjaga kontak personal satu sama lain. Lalu ketika masing-masing kontak itu dipertemukan dalam surat-surat elektronik, suasana riuh pun dimulai. Tolong dicatat, itu baru dalam ranah dunia maya. Bagaimana jika bertemu secara fisik? Ini dia……

Begitu bertemu tatap muka lagi pertama kali, jangan heran ada sapaan-sapaan semacam,” Masih inget gue nggak? ” . Atau,” Elo siapa ya? Sorry ya gue lupa”. Atau,” Gilaaaaa……sukses bener lo sekarang, sampe melebar begitu tuh badan !” Tapi ada juga yang dapat sapaan,” Elo si anu kan…..inget banget gue. Gak berubah sama sekali lo ya?” Percaya deh, yang mendapat sapaan seperti yang terakhir ini hanya segelintir orang saja. Karena setelah waktu pisah selama itu, masing-masing bekerja, menikah dan merasakan kebahagiaan keluarga sendiri, tentu saja sebagian besarnya sudah menjadi LEBIH. Lebih gemuk atau bahkan sangat gemuk, lebih segar, lebih terawat, lebih cantik atau lebih tampan. Hampir semuanya berubah dan membuat pangling. Dan tentu saja menjadi jauuuuuh lebih raaaamai dari apa yang ada di tataran maya saja. Dan acara yang katanya bernama Halal Bi Halal itu tidak tampak selayaknya Halal Bi Halal. Tidak ada kata selamat Idul Fitri apalagi ucapan mohon maaf lahir batin sempat terucap. Murni kekaguman dan takjub saling melihat lagi satu sama lain dan rasanya maaf untuk segala kesalahan itu otomatis ada.

Tempat pertemuan yang dirancang di sebuah rumah makan itu rencananya untuk memfasilitasi orang-orang kelaparan pulang kantor. Makan Malam Bersama. Nyatanya, meski hidangan sudah lama tersaji di meja, dan kursi-kursi tertata rapi untuk ditempati, tak ada yang tampak berminat untuk makan. Lapar hilang. Ayam Lemon, Cumi Goreng Tepung Pulau Dua yang krispi, Kailan Cah Daging Sapi, Udang Goreng Saos Mentega dan Ikan Gurame Asam Manis juga Asinan Dermaga, tak mampu mengalihkan perhatian. Hampir 40 orang yang ada hanya berdiri tak mau duduk dan sibuk bercerita dan terus saja bercerita. Tertawa. Merokok. Bercanda. Memotret. Menelepon mereka-mereka yang tak bisa hadir. Memindahkan satu telepon jaringan internasional ke Singapore tempat jeng Hany dan mas Iwan berada, pada berbagai telinga. Pindah tempat menyapa. Dan seperti anak TK saja akhirnya ada yang sampai harus berteriak mengingatkan untuk segera duduk dan makan. Wartawan ini sendiri, juga sampai tak mampu merasakan lagi apakah makanan-makanan yang dia persiapkan bersama koleganya itu enak yummy atau tidak. Tidak penting lagi soal rasa makanan. Ini bukan wisata kuliner. Sambil makan saja masih terus bercerita. Sesekali berdiri memotret. Tertawa lagi. Kadang meneriakkan sesuatu.

Lokasi pertemuan memang dipilih sebuah lokasi yang sangat nyaman untuk kehingar bingaran yang kita buat. Tempat itu sangat luas, di tengah danau, berangin segar dan memiliki live band. Yang terpenting dari semua itu, tak akan ada pengunjung yang merasa terganggu apalagi sampai keberatan dengan kehebohan yang terjadi dari kumpulan ini. Disana semua pengunjung berhak saling mengganggu dan diganggu dengan suara sebising apapun. Dan live band itu, tentu saja dimanfaatkan. Abdel dan Etykalis, segera bernyanyi di panggung itu. Tapi tak lama setelah mendapat applause meriah dari kumpulannya, mereka berdua cuma menjadi suara nyanyian latar belakang saja. Mungkin tidak ada , setidaknya wartawan ini, yang ingat mereka berdua menyanyikan berapa lagu. Bahkan sampai lupa untuk menagih iuran dari masing-masing peserta HBH untuk keperluan kumpul-kumpul itu. Untung saja partnernya adalah orang yang memang terbiasa mengumpulkan sumbangan dari teman-teman. Maka partnernya itulah yang bergerak mengedarkan sebuah tenggok nasi dari bambu hingga terkumpul sejumlah uang yang cukup banyak. Dan undian door prize berbungkus kado dengan cap logo TPI. Ah, dia memang ibu yang baik.

Waktu makin malam, tak ada yang tampak ingin pulang. Foto bersama dengan banyak jepretan, banyak kamera. Bicara lagi. Tertawa lagi. Tak pernah sadar bahwa kali itu tempat berdiri saja sudah berpindah sangat di tengah, di muka panggung, dimana semua mata dengan mudahnya tertuju kesana. Harus ada yang memulai untuk mengakhiri keriuhan. Harus ada yang berani pamit. Atau restoran akan dengan senang hati mengusir kumpulan ini. Aaaaaarrggghhhh…………sulit untuk berhenti bicara! Sulit untuk berhenti mengungkapkan senangnya, hebohnya, dan…duh, keterlaluan ! Pokoknya keterlaluan. Sampai wartawan ini juga tak mampu menghasilkan foto yang berkualitas baik dan tak tahu lagi angle mana yang harus diabadikan. Keterlaluan !!!!

update : saking senengnya, hurufnya tercetak tebal dan besar semua dan menghasilkan komentar protes dari Amerika sana….(cepatnya dikau nak komen protes, Nek….)