Untuk Bapak Ibu Kami

28 11 2006

Pada saat bicara tentang orangtua, kita akan selalu mengenang kembali masa kecil kita. Setidaknya kalau aku yang bicara tentang bapak ibuku. Di masa itu, ingatan tentang bagaimana nakalnya kami sebagai anak-anak, tentang kerja keras bapak ibu menafkahi dan mendidik kami, menjadi bagian terbesarnya. Kadang mengenang semua masa lalu itu membuat tertawa, menangis haru atau kami lantas berpikir tentang apa yang kita lakukan sekarang pada anak-anak kami. Bisa jadi kami mencoba mencontoh hal baik yang kami terima dari bapak ibu untuk diterapkan pada anak keturunan. Bisa juga kami mencoba menghilangkan apa yang dulu tidak bisa kami terima. Namun di akhir kenangan itu, toh ada sudut hati kami yang mencoba menelisik apakah kemudian kami sudah bisa membalas semua kebaikan dan jasa bapak ibu dengan semampunya . Seberapa banyak yang bisa kami lakukan untuk bapak ibu.

Photobucket - Video and Image Hosting

Melihat bapak ibu di masa sekarang, seharusnya mereka sudah menjalani hidup tenang dan bahagia. Lima putra-putrinya sudah berumahtangga dan memberikan cucu-cucu yang beraneka ragam tingkah polahnya. Banyak kenalan menilai mereka adalah orang yang patut diteladani dan kami bersyukur dengan apa yang terlihat baik oleh banyak orang. Tetapi nyatanya akhir-akhir ini aku mendadak sedih untuk mereka. Di masa tuanya kini, seperti halnya akan selalu dialami setiap manusia, mereka masih harus merasakan adanya hambatan menikmati hidup tenang. Ketika hasil kerja keras mengumpulkan setiap tetes keringat muda mereka tidak dihargai orang bahkan akan dirampas. Ketika mereka harus mulai berpikir untuk menyerah pada kemungkinan adanya orang yang iri dengan apa yang telah mereka capai.

Tidak sulit bagi kami putra-putrinya untuk menerima mereka di rumah kami, yang mana saja mereka sukai untuk tinggal bersama. Tidak ada keberatan sama sekali untuk menolak kebahagiaan bersama lagi dengan bapak ibu dalam satu atap. Datanglah, bapak ibu, kami akan siapkan kamar. Kami akan sangat senang. Tapi jangan lagi bicara tentang rumah bapak ibu, rumah masa kecil kami. Karena kalau terjadi, kami akan menangis mengenang kerja bapak ibu yang akan terampas. Aku sebagai putri satu-satunya, mengerti benar sakitnya hati bapak ibu melihat itu.Tapi mungkin ini saatnya menetapkan hati.

Bagi kami, jika memang segala upaya mempertahankan milik bapak ibu hanya membentur dinding tebal, kami akan mundur. Kami masih memiliki energi untuk berjuang, tapi lebih suka menggunakannya untuk membahagiakan bapak ibu di rumah kami. Tembok itu tidak penting lagi untuk dihancurkan jika akan memperpanjang ketidakpastian dalam masa tua bapak ibu. Mungkin lebih baik jika kita titipkan segala milik kita pada Yang Kuasa untuk menjaganya. Di sini, cucu-cucu bapak ibu akan bisa ditemui setiap hari. Bapak ibu akan bisa melihat segala trik kecil mereka menolak bangun pagi, segala kegiatan mereka sejak pagi hingga petang, dan kapan kami orangtuanya akan harus menghukum mereka untuk ketidakpantasan yang mereka lakukan. Hingga waktu bapak ibu nantinya akan tiba, tidak seujung kukupun apa yang kami lakukan akan mampu menyaingi segala yang bapak ibu perjuangkan untuk anak-anak. Hanya sedikit yang mungkin bisa kami lakukan. Kami ingin membuat bapak ibu hanya memiliki tawa dan senyum, bukan air mata. Jangan teteskan airmata bapak ibu di masa tua ini. Karena disinilah kami, anak dan cucu, akan ada bersama bapak ibu.





Sebuah Pembelajaran

23 11 2006
Ini adalah pertama kalinya aku belajar menulis sebuah cerita. Seorang kawan sudah membantu mengulasnya, dan aku belum lagi memperbaiki cerita ini seperti tantangannya. Tapi seringkali kesalahan tidak perlu ditutupi, jadi inilah apa adanya hasil karya pertamaku.

K A R M A

Dyani masih duduk terpekur di teras rumahnya. Diam tanpa suara meski sekedar bunyi kecil tenggorokan menelan ludah. Matanya kosong tak jelas mana arah yang ditatapnya. Dan tidak satupun gerakan kecil dari jemari tangan atau kakinya mengusir lalat yang kadang hinggap disana. Dyani bahkan tidak pernah tahu berapa lama dia duduk disana atau berapa banyak tetangga menyapanya sembari lewat. Yang dia lihat hanyalah kilasan-kilasan kejadian beberapa jam lalu, yang membuatnya menjadi membatu begitu.

Tantri telah pergi dari hadapan Dyani dan kembali ke kamarnya,mungkin untuk meneruskan tangisnya. Namun tadi, anak perawannya itu hadir bersimpuh di kakinya untuk sebuah penjelasan. Anak perawan…..kata-kata ini berputar terus di kepala Dyani sesaat setelah penjelasan Tantri. Kata-kata itu sudah bukan menjadi milik anaknya lagi dan Dyani sudah tidak memiliki anak perawan lagi. Anak perawan , semua orang tahu artinya adalah seorang perempuan muda yang belum menikah dan masih terjaga kehormatan dan kesuciannya. Tidak seorang lelaki pun pernah menyentuh bagian paling pribadi dari perempuan muda yang masih tergolong perawan. Tetapi Tantri, dalam tubuh muda dan langsing itu, tidak memiliki lagi kesucian seorang perawan.. Sudah pernah ada seseorang menyentuhnya secara pribadi sebelum pernikahannya. Dan seseorang itu telah menitipkan pula janin di dalam rongga rahim anaknya.

Untuk pertama kalinya setelah detakan jam yang kesekian, Dyani tampak beringsut. Kepalanya menunduk, membuat sebulir air mata jatuh ke pangkuannya yang kurus tertutup kain tipis rok panjangnya. Buliran itu bertambah banyak dan deras dan sekarang diiringi rintihan kecilnya. Namun dia adalah seorang yang terbiasa dengan banyak kesulitan. Tidak ingin buliran airmata itu terus mengalir, diusapkannya punggung tangannya ke pipi. Pikirannya berputar cepat,” Aku tidak boleh terhanyut, Tantri membutuhkan jawaban atas masalahnya. Kasus begini sudah banyak terjadi pada teman-temanku….” Dyani selalu tahu penyelesaian bagi masalah hamil di luar nikah seperti Tantri harus cepat. Yang tidak diketahuinya hanya satu. Dia akan menghadapi masalah yang bisa membuatnya terlempar jauh ke masa lalu.

*****
Di kamar, Tantri menelungkup di atas bantalnya. Tangisannya sudah tidak terdengar dan dadanya sesak oleh kelelahan. Lelah menangis, lelah menyesali perbuatannya yang hanya terbuai oleh rayuan dan belaian. Dia mengingat wajah lurus ibunya saat pengakuan tentang kehamilannya. Lurus dan pias, rona wajah yang tak tahu harus berkata atau berbuat apa diserang keterkejutan semacam itu. Tamparan keras di pipinya pun melayang tanpa ekspresi, hampa dan hanya sebuah gerakan refleks. Kehampaan yang begitu lama ditunjukkan ibunyalah yang membuat Tantri tak kuasa bertahan di hadapan Dyani. Lebih baik ia berlari ke kamar dan tidak terus melihat luka di wajah ibunya . Semakin ia melihat airmata di wajah ibunya, semakin ingin ia tenggelam ditelan bumi.

Tak mampu dihindarinya, Tantri mengenang malam-malam yang kini menorehkan arang di wajah ibu yang dicintainya. Malam-malam yang melenakannya setiap kali ia bertemu Baskoro di rumah kontrakan dekat kantornya. Baskoro, lelaki yang mengisi hati dan hari-harinya selama ini. Lelaki yang dikenalnya sebagai kepala proyek perumahan yang didirikan kantor kontraktor tempatnya bekerja. Tantri mengenal Baskoro setahun lalu ketika ia ditempatkan sebagai kepala administrasi proyek di lapangan tempat real estat itu didirikan. Dengan berbagai pertemuan yang seringkali diselingi senda gurau dan diskusi pribadi, sosok lelaki itu menjadi istimewa di hatinya. Perhatian, senyuman, gurauan dan tatapan mata yang tak bergeming sedikitpun terhadapnya, membuat Tantri selalu merindukan saat-saat bersama Baskoro. Obrolan di kantor berlanjut dalam perjalanan pulang hingga ke teras rumah kontrakannya, dan semakin lama membuat mereka semakin intim. Kenyataan usia Baskoro yang seharusnya pantas menjadi ayahnya tidak lagi menjadi masalah bagi Tantri. Terlebih dengan tubuh atletis dan gaya bicara yang menyenangkan, membuat Tantri justru merasa aman bersama Baskoro. Meski Tantri tahu lelaki itu adalah seorang duda beranak satu, rasa cintanya telah membuatnya gelap mata. Terlebih jika Baskoro membelainya dengan lembut ketika kepenatan datang, rasa takut akan perbuatan yang dilakukannya mampu terkalahkan oleh kenyamanan dan kenikmatan berada dalam pelukan lelaki itu. Dan kini, semua itu tidak guna lagi disesali. Calon bayi dalam rahimnya membutuhkan kepastian dan kekuatan hatinya, meski itu mengecewakan ibu yang telah mendidiknya menjadi seorang wanita terhormat.

“Tantri….kamu harus cepat menikah!”, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ibunya. Tantri segera terduduk di tepi ranjangnya. Ia baru menyadari kemungkinan ibunya sudah cukup lama disana jika melihat caranya duduk tertata dengan nyaman untuk sebuah pembicaraan panjang. Tidak satu kata pun meluncur dari bibir Tantri untuk menanggapi ibunya. Dilihatnya sisa air mata masih memberikan alurnya di pipi ibunya. Dalam keadaan seperti itu, tampak sekali kebiasaan ibunya untuk tidak membiarkan dirinya terhanyut berlarut-larut dalam sebuah masalah tanpa penyelesaian. Kenyataan sebagai orangtua tunggal yang harus menghadapi segalanya seorang dirilah yang menempa ibunya untuk bertindak cepat dalam setiap masalah. Jika suatu kali menemui kesulitan, ibunya juga cepat sekali memutuskan untuk meminta bantuan pada pakde-pakdenya. Tegar, namun tidak jumawa.

Tidak ada yang perlu dibantah dari ucapan ibunya. Tantri tahu, ibunya benar. Penyelesaiannya memang hanya satu, menikah. Dan Tantri memang sudah siap untuk itu. Masalahnya, ia bahkan belum memberitahukan kehamilannya ini pada Baskoro. Masalah ini muncul saat Tantri sedang menghabiskan sisa cutinya, sehingga ia belum sempat bertemu lelaki itu. Dan keharusan untuk menemui Baskoro secepat mungkin, kini membuat ia memutuskan untuk segera kembali ke lapangan lebih cepat dari rencana. Tidak mungkin ia bicarakan persoalan ini melalui telepon saja.
“Ya,bu…Tantri besok akan kembali ke kontrakan di lapangan. Tantri akan bicara dengan mas Baskoro”.
“Kamu belum pernah mengenalkan dia pada ibu,Tantri. Sesegera mungkin, dia harus menemui ibu untuk membicarakan masalah ini. Oh ya…tentu juga dengan keluarganya, lebih cepat lebih baik.”
“Mas Baskoro sudah tidak punya orangtua. Dia akan datang sendiri, begitu dulu dia pernah bilang kalau ingin melamar Tantri”
“Baik, kalau begitu. Semoga dia memang orang yang bertanggungjawab…”
Entah kenapa, Dyani tiba-tiba harus menggantung kalimatnya yang terakhir. Ada satu debaran tidak menentu yang tidak enak dia rasakan. Antara nama yang didengarnya, dengan kata tanggungjawab, seolah ada satu mata rantai yang sulit tersambung dengan mulus. Ah, mungkin cuma kekhawatiran akan keadaan Tantri,pikirnya. Atau, mungkin juga ia sekedar tidak menyukai nama itu…
Dyani segera bangkit dan meninggalkan Tantri, tidak ingin memenuhi pikirannya dengan sesuatu yang tidak pasti.Di ujung pintu anaknya itu menghentikan langkahnya,
“Ibu, dimana kubur ayah?”

*****
Tantri diam menunggu. Belum ada reaksi apapun dari Baskoro terhadap berita kehamilannya. Baskoro perlahan meminum teh panas di hadapannya, matanya tertumbuk pada meja di hadapannya. Ia tampak tenang. Tadi, usai Tantri bercerita tentang keadaan dirinya, Baskoro hanya memandangnya dalam-dalam, tak ada suara. Tidak begitu tampak juga keterkejutan di mata Baskoro saat menatapnya. Tapi Tantri mengerti. Laki-laki ini sudah matang cara berpikirnya. Ia tahu apa yang dilakukannya dan resiko yang pasti akan diterimanya. Itu sebabnya, reaksinya tidak berlebihan bahkan jelas sekali Baskoro berpikir hati-hati sebelum akhirnya bersuara.
“ Ya….aku sudah tahu akan seperti ini. Cepat atau lambat, memang pasti terjadi.”
“Lalu?”
“Ibumu benar, aku harus segera menemuinya.”
“Kapan?”
“Besok pagi kita berangkat. Setidaknya ada cukup waktu semalam ini untuk aku mempersiapkan pertemuan itu. Bagaimanapun, ibumu pasti akan sedikit emosi melihat orang yang menghamili anaknya. Tapi aku siap, Tantri…”
Baskoro tidak tahu, apa yang dipersiapkannya tidak akan berguna nantinya.

*****
Dyani tak mampu memicingkan matanya. Sudah 2 hari ia begitu, meski biasanya pun tidurnya juga tidak pernah terlalu lelap. Tantri, kehamilannya, nama lelaki kekasih anaknya, semua berputar terus menerus di benaknya. Dyani resah, bahkan sangat resah. Jendela kamar yang dibuka untuk memberi kesejukan tidak banyak membantunya . Justru angin dingin kota Malang ini sekarang membuatnya menggigil. Sudah lama kotanya itu menjadi semakin panas udaranya. Namun musim penghujan akhir tahun toh masih mampu menghembuskan angin dingin di waktu malam. Ditutupnya lagi jendela, pikirannya kembali pada anak perawannya di Surabaya. Ya, Dyani masih ingin menyebut Tantri sebagai anak perawan. Pikirannya melayang lagi.

Dyani tahu, jika anaknya itu menikah, ia akan membutuhkan wali nikah. Kakak Dyani yang tertua atau bahkan pak Penghulu pun bisa bertindak menjadi wali nikah, jika memang ayah Tantri sudah meninggal. Tapi ayah Tantri itu dia tahu masih ada. Sakit hatinyalah yang membuat ayah Tantri itu seolah sudah mati. Kenyataan semu itu yang diketahui anaknya. Meski dulu Tantri pernah meragukan pernyataannya tentang ayah Tantri, berkat kepandaiannya menghindar dan seiring berjalannya waktu, anaknya seolah melupakan hal itu. Sampai kemarin didengarnya lagi pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang dijawab dengan perintahnya yang lain,” Selesaikan urusanmu dulu dengan pacarmu. Nanti kita bicara lagi.”

Dyani termangu di ranjangnya. Besok sore, jika anaknya itu datang, suka atau tidak ia akan harus menjelaskan semuanya. Dan berarti Dyani harus mengorek kembali koreng di hatinya yang telah berusia 20 tahun. Ya, selama itulah ia menyimpan rahasia besar dari anaknya tentang siapa ayahnya. Ayah yang menikahi ibunya hanya demi sebuah arti tanggungjawab secara dangkal. Dan kemudian lelaki itu pergi bersama anak istrinya yang telah lebih dulu hadir sebelum Dyani. Memang betul, dirinyalah yang bodoh, terpikat pada rayuan lelaki beristri. Kebodohan yang muncul hanya karena kesepiannya di usia yang semakin dewasa. Namun kebodohan itu tetap menggoreskan perih luka yang teramat dalam. Karena setelah pernikahan sirinya dulu, tidak sekali pun lelaki itu menunjukkan bentuk tanggungjawabnya yang lain. Tidak pernah datang ke rumah, tidak menanyakan apalagi melihat anaknya, juga tidak memberikan sedikitpun nafkah untuk kehidupan mereka berdua, Dyani dan Tantri. Namun Dyani merasa harus tetap hidup, dan biarlah lelaki itu mati dalam sejarah hidup anaknya. Sampai waktunya nanti.

Hingga siang akhirnya menjelang, Dyani masih belum beranjak pergi dari ranjangnya. Semakin waktu datang menjelang kepulangan Tantri bersama kekasihnya, terasa ia semakin malas bangkit dari sana. Bukan sifatnya jika harus bergolek-golek terus seperti itu. Tetap saja, hari itu tidak ada yang mampu menggerakkan kakinya melangkah turun dan aktif sebagaimana biasanya. Dyani mengerahkan seluruh tenaga dan semangatnya yang tersisa supaya akhirnya dirinya berjalan untuk mandi dan bersiap menerima kedatangan mereka. Pergerakannya sangat lambat dibandingkan kesehariannya yang serba cekatan. Sampai akhirnya pintu kamarnya diketuk dan wajah Tantri muncul disana.
“Ibu, mas Baskoro sudah datang. Ibu akan keluar sekarang,kan?”Tak ada jawaban.
“Kata si mbok, ibu seharian di kamar terus. Ibu sakit?”
“Nggak…ibu cuma kurang tidur. Tunggulah di ruang tamu, ibu kesana sebentar lagi”

*****
Tinggal beberapa langkah jarak antara Dyani dan sosok lelaki kekasih Tantri ketika ia menghentikan langkahnya perlahan, ragu. Lelaki itu membelakangi arah kedatangannya, namun Dyani sangat mengenal sosoknya yang tegap dan jelas terlihat meski sedang duduk. Sosok itu yang membuat Dyani lalu ragu untuk melangkah lagi. Tantri lah yang kemudian segera memberitahukan kehadiran ibunya di ruang tamu itu. Pemberitahuan biasa agar kekasihnya itu menyapa ibunya, namun yang terjadi sesudahnya tidak terduga sama sekali. Sebab sejak detik itu, segalanya menjadi luar biasa bagi Dyani, Tantri maupun Baskoro.

*****
Sekian menit dan jam yang berlalu hilang dari catatan Dyani, sampai akhirnya didengarnya Tantri memanggil-manggil namanya entah untuk yang keberapa kali. Sayup dibukanya matanya dan segera ditangkapnya seraut wajah cantik sang permata hatinya. Namun apa yang dilihatnya itulah yang meletuskan sebuah tangis perih dari bibirnya. Tangis yang menjadi jeritan tak kunjung henti karena segera terasakan oleh Dyani luka yang disimpannya di hati menganga semakin lebar . Di sudut ruangan , di kursi tanpa lengan, sang lelaki terduduk lemas. Tangan kekarnya bertumpukan lutut menutupi wajah dan sesekali terdengar erangan dari mulutnya. Pemandangan memilukan itu terus berlangsung tanpa Tantri ketahui penyebabnya . Ia bingung karena semua rencana yang disusunnya berjalan jauh dari khayalannya. Dan semakin menyiksa lagi, karena tak satupun dari kedua orang yang berlaku aneh di hadapannya itu bisa segera menjelaskan apa yang terjadi.

Menit-menit yang berlalu kemudian semakin terasa menyiksa bagi Tantri. Kebingungannya tentang peristiwa di hadapannya yang tak juga mendapatkan penjelasan, kini semakin menghantamnya ketika tiba-tiba ibunya berteriak,
“Gugurkan bayi itu, Tantri….!”
Tantri terhenyak dan mual seketika. Ibunya seperti hilang akal, merintih dan terus menjerit agar ia menggugurkan kandungannya.Dipalingkannya pandangan pada Baskoro mencari kepastian akan apa yang didengarnya. Tetapi rintihan yang berulang tidak memerlukan lagi telinga lain untuk memastikan pendengarannya. Justru sikap Baskoro yang semakin menenggelamkan wajah dalam dekapan tangannya, diselingi sisiran tak beraturan jari-jari ke arah rambut tebalnya, menerbitkan tanya yang lain di hati Tantri. Hati kecilnya mengatakan Baskorolah penyebab pingsannya ibu. Dan Baskoro pasti juga tahu mengapa ibunya sekarang ingin ia menggugurkan kandungannya.

Tak sabar, segera ditariknya tangan Baskoro dari wajahnya yang sudah basah.
“Jelaskan padaku mas, ada apa semua ini?”
Napasnya memburu dan merasa tak ada waktu lagi untuk menunggu.
“Kamu pasti tahu dan harus mengatakannya sekarang!”
“Tantri,…kau dengar ibumu. Kita gugurkan bayi itu…..”
“Tidak mungkin!”
“Bayi ini milikku, aku yang berhak memutuskan. Lalu kenapa semua minta aku menggugurkannya?”
“Ada apa, mas…..? Ibu…kenapa?”
Suaranya mulai bergetar, ada takut disana.
Tantri beringsut mendekati ibunya. Tangan ibunya lembut menelusuri kepalanya. Isak tangis kini menjadi miliknya juga.

*****
Lorong itu terasa begitu panjang. Anginnya begitu dingin mengiris kulit.
“Dia ayahmu, Tantri…Baskoro ayahmu…”
Keheningan panjang yang begitu dalam. Tantri hanya ingin mencoba mengerti arti kalimat itu. Tetapi semua begitu lugas baginya. Dan tak didengarnya lagi kalimat terakhir ibunya,
“Maafkan ibu, anakku….”





Mempelajari Teman Hidup

17 11 2006

Photobucket - Video and Image Hosting

Dalam beberapa hari ini aku dan pak Uban punya kesibukan baru jika sedang nongkrong saja di rumah. Menonton film. Ah, biasanya juga ini sering kita lakukan karena koleksi kita memang banyak. Tapi yang kami tonton sekarang ini film seri yang dulu sempat diputar di SCTV, 24 ! Dulu SCTV menayangkan film itu hampir tengah malam, jadi mata ini sudah tidak berdaya bertahan sampai akhir film. Penasaran karena kami tahu film ini bagus, dan termasuk genre yang kami minati, pak Uban mencari dvd-nya komplit. Maka, sebagaimana dulu jaman banyak film silat cina berseri era SIEN THIAU HIAP LU (tulisane bener ora yo?), untuk film inipun kami bisa lembur seharian. Nah…..emosiku terbawa-bawa sudah…jengkel sekali kalau terganggu sedikit.

Aku tidak pernah menggandrungi bintang utamanya, Kiefer Sutherland. Biasa saja. Tapi kali ini, penampilannya berbeda dengan yang biasa aku lihat. Tiba-tiba saja aku jadi ‘jatuh cinta’ padanya! Tunggu, jangan salah tafsir. Disana, dia bermain bagus dan pas karakternya sebagai JACK BAUER. Pas dalam arti seleraku tentu maksudku. Dia seorang yang sederhana dan tidak suka bersolek (mana sempat, tembak-tembakan terus….). Lalu, keras dan tangguh menghadapi kesulitan dan ini pasti lebih karena terbawa pekerjaannya sebagai agen pemerintah. Tapi dia juga lembut dan sayang pada keluarganya, tidak romantis berlebihan. Berusaha hidup lurus, tapi juga tidak terlalu ‘bersih’. Tapi kenapa sampai begitu mengesankannya buatku? Tentu, karena selalu mengingatkan aku pada sosok pak Uban.

Kebetulan antara pak Uban dan Jack Bauer ada sedikit kesamaan. Sama-sama orang pemerintah. Pekerjaannya sama-sama bisa beresiko bagi keluarga, tapi pekerjaan Jack lebih berbahaya. Jadi, tidak banyak yang bakal pak uban bagi tentang pekerjaannya padaku, demi melindungi aku dan anak-anak. Karakter selebihnya, juga plus minus sama. Aku terbiasa dengan karakter itu, jadi tidak heran kalau sekarang kepincut Jack Bauer. Tapi lebih dari itu, ada pelajaran lebih yang aku dapatkan dari film itu sendiri.

Karena sebuah cerita, tentu segi dramatisasi harus ada. Dari sinilah aku bisa belajar untuk mengetahui lebih banyak tentang pemikiran laki-laki (baca : suami) terhadap pekerjaan dan keluarga. Terutama untuk jenis pekerjaan semacam resiko tinggi begitu. Aku jadi lebih paham mengapa ketika aku menelpon pak Uban seringkali tidak bisa dikatakannya sedang berada dimana atau apa yang sedang dilakukannya selain yang rutin. Atau kadang bahkan langsung dimatikan begitu saja tanpa bicara. Juga keinginannya banyak berkumpul dan bercengkerama dengan keluarga, namun pekerjaan membatasi. Karena itu sedikit tatapan mata yang begitu dalam, bisa berbicara banyak diantara aku dan pak Uban. Itu juga dilakukan Jack Bauer pada istrinya. Yang lainnya, masih banyak sebenarnya, tapi sulit aku lukiskan disini.

Dari yang sedikit itu, aku jadi belajar apa yang dibutuhkan oleh orang-orang semacam pak Uban. Apa yang bisa membuat dia nyaman. Apa yang bisa membuat dia bahagia dan betah di rumah. Dan apa yang akan dia perjuangkan dalam hidupnya. Ah, pendeknya aku senang sekali kalau mendapatkan tontonan atau bacaan atau apa saja yang bisa membuat kami selalu lebih dekat dan lebih dekat lagi. Dulu, pak Uban tidak pernah bisa menjawab jika ditanya mengapa dia memilih aku, sedangkan usia kami terpaut sangat jauh. Dan aku penasaran terus dibuatnya. Seiring berjalannya waktu, aku mendapatkan jawabannya sendiri. Kadang dari selintas pendengaranku ketika dia bicara dengan orang lain,” Itulah kenapa aku menjadikan dia istriku…”. Tapi kadang juga, sekali lagi, dari tatapan matanya. Dia bisa tiba-tiba memandang langsung mataku tanpa bicara dengan sebuah arti, dan aku jadi bergetar karenanya. Hah…..tiba-tiba saja, aku jadi berkhayal, apa rasanya dipandangi begitu oleh Jack Bauer? Hayyah…..bangun,bangun….!!!

Gambar diambil dari sini





Terbawa Emosi ? Repot Deh !

16 11 2006

Hidup ini indah. Sederhana saja, dan memang begitu kenyataannya. Terutama karena aku ditakdirkan untuk hidup sebagai seorang manusia. Bukan hewan, tumbuhan, atau sekedar pemandangan alam dan benda mati lain. Salah satu alasan kenapa hidup ini indah karena sebagai manusia, kita mempunyai perasaan. Hewan rasanya juga berperasaan, tapi sepanjang pengamatanku, tidak serumit manusia. Entahlah. Lalu, ada juga emosi yang membuat segala perasaan itu menjadi begitu jelas wujudnya dan orang lain mengetahui apa yang kita rasakan.

Bicara tentang emosi, ada banyak jenis orang yang kadar emosinya tidak terlalu tinggi. Namun, ada juga yang sebaliknya. Jujur, rasanya aku termasuk jenis yang terakhir. Rasa senang, sedih, marah, cinta, kangen, untuk orang seperti aku ini bisa bercokol lama di dalam dada ini. Dan sulit sekali menutupi dari orang lain jika aku sedang merasakan sesuatu. Ini seringkali membuat orang menjadi salah paham apalagi jika itu menyangkut rasa kesal atau marah. Mungkin di atas kepala seperti tumbuh tanduk, dan orang yang sedang berhadapan denganku mengira tanduk itu untuk dirinya. Atau kala sedang begitu kangen, bisa jadi orang yang sedang bicara denganku membesar kepalanya. Kenapa? Mungkin mata ini tiba-tiba bertenaga ratusan volt sehingga begitu terang sinarnya dan yang tersorot adalah yang sedang berdiri di depanku. Ah, mungkin ini omong kosong saja. Jangan begitu serius menanggapi.

Kenyataannya, aku memang sering begitu kerepotan menyembunyikan apa yang sedang kurasakan karena emosi yang kutunjukkan. Saat anakku mencari dokumen sekolahnya yang terselip entah dimana, aku mendadak bisa belingsatan tidak karuan. Bayangkan saja, jika dokumen itu adalah sebuah raport bayangan yang aku simpan rapi di laci yang cukup aman, namun ternyata tidak ditemukan saat dibutuhkan. Lalu, raport itu harus dikembalikan ke sekolah esok harinya. Jika tidak, anakku tidak diijinkan mengikuti ulangan umum. Aku bisa menjadi panik bukan kepalang dan yang muncul adalah wajah tegang tak bisa ditanyai sesuatu yang tidak perlu serta suara yang seperti TOA. Seolah saat itu akulah si anak sekolah yang bakal mendapat hukuman.

Kali lain, ketika ada seorang teman bercerita tentang khilafnya seorang ayah kepada anaknya. Begitu marahnya sang ayah, sampai saat memberi hukuman seperti orang kesetanan. Dan akhirnya, yang didapat adalah sebuah penyesalan tak berakhir karena anaknya menjadi cacat seumur hidup. Mendengar cerita seperti ini, hati ini seperti diiris tipis-tipis. Aku bisa begitu sedih dan berhari-hari terus memikirkan cerita itu sampai sulit tidur. Susah payah aku mencari pusat perhatian lain agar pikiran itu bisa hilang. Makanya aku lantas menolak diajak si bungsu membesuk teman sekelasnya yang sakit pendarahan otak hanya gara-gara terjatuh dari tempat tidur. Wah, akan ada berapa malam lagi aku terjaga memikirkan nasib anak itu dan perasaan ibunya.

Atau, jika aku sedang menonton film yang begitu bagus dan rinci jalan ceritanya. Tambah lagi si tokoh utamanya memainkan perannya dengan begitu sempurna. Rasanya aku akan terus bicara tentang film itu dan merekomendasikannya kepada siapa saja kenalanku untuk juga menontonnya. Itu belum seberapa. Kalau kemudian tokoh utama disana adalah seorang laki-laki yang karakternya begitu pas dengan selera dan kepribadianku, nah ini dia! Aku bisa seperti seorang gadis yang kasmaran, jatuh cinta setengah mati dan setiap melangkah terbayang-bayang sang tokoh tadi. Padahal sudah jelas, itu adalah fiksi dan tidak pernah nyata adanya.
Jangankan yang melihat atau mengetahui soal ini. Aku saja bisa geleng kepala geli sendiri melihat tingkahku itu.

Memikirkan masalah terbawa emosi seperti itu, sepertinya hidup dengan cara begitu repot sekali. Repot karena setiap kali harus menghalau sekuat tenaga segala perasaan dan emosi itu agar lebih tenang. Repot karena hidup ini toh sudah memberikan begitu banyak persoalan untuk dipikirkan dan diselesaikan. Selayaknya tidak ditambah lagi dengan segala sesuatu yang tidak perlu ada. Benar-benar repot memang. Tapi aku, melihatnya secara berbeda. Karena dengan semua perasaan itulah hidupku menjadi lebih berwarna. Aku selalu merasa lengkap dan tidak lekas bosan. Dan itulah kenapa aku katakan hidup ini indah sebagai seorang manusia.





Perjalanan Masih Berlanjut….

10 11 2006

Ketika liburan di kampung halaman harus diakhiri dan kembali lagi ke Jakarta, pikiran yang melintas hanyalah kembali kepada rutinitas yang ada. Dan untuk mempersiapkannya, kami membutuhkan waktu 1-2 hari untuk sekedar melepas lelah. Namun ternyata semuanya hanya bayangan. Masih di dalam perjalanan, kami menerima telepon dari seorang saudara. Telpon itu datang di tengah malam, saat akupun tertidur di samping pak Sopir. Dan kabar yang dibawa adalah sebuah pemberitahuan, permintaan tolong dan sekaligus undangan. Semuanya tentang pernikahan seorang sepupu pak Uban dan karena aku sedikit-sedikit bisa merias, maka aku pun diminta membantu untuk merias pengantin, sedangkan Pak Uban bertindak sebagai saksi nikah. Hari H undangannya adalah….. di akhir minggu itu! Jadi, jika dihitung dari keberadaan kami kembali ke rumah, kami memiliki waktu hanya sekitar 4 hari. Dan waktu itu harus kami pergunakan untuk sejenak beristirahat dari lelahnya perjalanan jauh, mulai mendaftar ulang kehadiran di tempat kerja sekaligus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kami bawa ke Semarang, kota tempat sepupu itu berada.

Walaaaahhh…..kok ya ngundang mendadak sekali. Kenapa tidak sekalian ketika kami masih dalam perjalanan luar kota kemarin sehingga lelahnya badan ini bisa sekaligus kami rasakan saat itu saja. Tapi, itu tentu saja hanya ada dalam pikiran kami. Kerepotan orang, meneketehe……!!! Usut punya usut, ternyata sebenarnya rencana itu sudah cukup lama, hanya saja konfirmasi tentang segala sesuatunya baru bisa diperoleh saat menjelang lebaran. Sehingga, bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka. Apapun, kami harus siap memenuhi undangan itu, terlebih ada bantuan kami yang mereka butuhkan disana. Dan…..selanjutnya lebih baik aku bercerita melalui sedikit gambar saja sebagai bukti. Terutama untuk seorang teman yang mengajakku untuk ikut kopi darat minggu lalu di sebuah tempat di Jakarta Selatan, tapi tak sanggup kupenuhi ajakannya. Maafkan daku ya mbak….perjalanannya memang masih berlanjut!

Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting





Akhir Lebaran Yang Aneh

1 11 2006


My creation
Originally uploaded by endangchantique.

Keberadaanku di rumah mertua di Malang tidak lama, hanya 3 hari. Keharusan untuk memenuhi jadwal kegiatan rutin yang sudah mendekat membuat kami memang tidak bisa berlama-lama liburan. Biasanya dalam hitungan waktu yang sekian hari itu kegiatan kami hanya makan makanan khas Malang apapun bentuknya, ziarah dan sibuk mengukur gula darah bapak mertua. Soal gula darah beliau ini setiap lebaran memang pasti meningkat. Perasaan senang berkumpul dengan putra putri dan cucu-cucu membuat beliau lupa dengan dietnya. Tidak ada yang berani terang-terangan melarang beliau makan apa saja tanpa kontrol. Paling-paling kami cuma berusaha sekeras mungkin menyembunyikan makanan dan minuman yang enak dan manis-manis itu dari hadapan beliau. Tetapi toh sering kali kami kecolongan juga dan cuma bisa bergosip dan tertawa-tawa melihat kepintaran beliau menemukan harta terpendam yang sudah kami singkirkan jauh-jauh. Kami sendiri sulit menahan napsu membeli aneka makanan yang jarang kami temui di Jakarta, karena kesempatannya cuma setahun sekali. Untuk menutupi rasa bersalah, yang terbaik bisa kami lakukan hanya mengingatkan beliau untuk tidak lupa minum obat kencing manisnya, dan kami melanjutkan petualangan kami di dunia kuliner.

Urusan ini tentunya berlanjut sampai saat kami mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta. Mobil dipenuhi berbagai oleh-oleh untuk handai taulan dan tetangga di Jakarta, juga untuk kami sendiri di rumah. Ada apel, kue semprit tepung larut, keripik tempe, kacang koro untuk dibuat sayur sambel goreng pete, bahkan juga onde-onde dan kue perut ayam dari depot HTS yang terkenal itu. Pokoknya, meski kaki sampai kurang mendapat keleluasaan bergerak pun akan kami jalani demi kepuasan. Yang penting, beberapa hari ke depan kami masih bisa merasakan indahnya kampunghalaman di rumah kami sendiri. Rumah…oh ya…ada sesuatu yang mengganjal perasaan jika mengingat rumah di Jakarta. Masih ingat kan sebelum pergi mudik, kami menitipkan kunci pada kakakku di Jakarta ? Disinilah kesalahan kami yang berbuntut kekonyolan.

Pada saat peristiwa serah terima kunci waktu itu, perasaan ini sebenarnya sudah terasa kurang enak. Pasalnya kami lupa membawa kunci cadangan sepert biasa, sedangkan dia berencana pergi ke Bandung. Namun ketika dikatakannya tidak akan lama berada di sana, kegundahan ini agak terhibur sedikit meski tetap saja merasa waswas. Nyatanya, manusia toh sumbernya khilaf, alpa, lemah dan sebagainya. Rencana A yang disusun bisa terjadi kenyataan B yang dialami. Sang kakak ini lantas berubah pikiran tanpa sepengetahuanku. Mungkin karena nyamannya suasana liburan di Bandung atau jenuhnya dengan situasi Jakarta, diperpanjanglah masa liburannya itu. Kami sendiri tidak menelpon lebih dulu saat akan kembali dan hanya mengandalkan perjanjian lisan sebelum berpisah.

Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta, kami tidak sedikitpun memikirkan bagaimana atau apa yang akan kami hadapi nantinya. Kami betul-betul menikmati perjalanan dengan santai, bahkan anak-anak masih menyempatkan berenang di hotel tempat kami transit menginap di Semarang. Sampai ketika kami sudah sampai di jalan tol Cikampek saat tengah malam, kami teringat untuk mengabarkan kepada kakak bahwa kami akan mampir ke rumahnya untuk mengambil titipan . Namun apa yang kami dengar betul-betul membuat kami terhenyak. Dia baru akan kembali ke Jakarta keesokan paginya. Dan itu berarti kami akan melongo saja di depan rumah nanti. Padahal, bersama kami saat itu, ikut juga keponakan yang baru berumur 1 tahun. Walah! Toh, panik tidak akan menyelesaikan masalah. Maka perjalanan tetap dilanjutkan, bahkan Pak Uban masih sempat tidur saat aku menggantikannya pegang kemudi.

Sampai di rumah, kami semua turun dan lesehan di jalanan depan pagar rumah mencari akal. Pak Uban dan adiknya lalu segera lompat pagar dan berusaha membongkar segala peralatan pertukangan yang memang banyak kami miliki. Melihat sang Bapak lompat pagar, sepertinya itu pengalaman yang asyik sehingga anak-anak pun meniru. Dan akhirnya diikuti juga oleh 3 ibu-ibu yang tidak ingin ditinggal sendiri di luar. Setidaknya dengan begitu, kami bisa klekaran di dalam pendopo kami sendiri meski tetap belum bisa pergi ke kamar mandi. Untung kami memiliki pendopo itu yang terbuka tanpa dinding. Tapi, lebih beruntung lagi aku punya suami seperti pak Uban ini. Mungkin dia pernah kursus sebagai mac gyver atau mengamati cara kerja maling, yang jelas memang saat itu seperti sedang menjadi maling di rumah kami sendiri. Namun apapun itu, entah bagaimanapun caranya, kami harus segera masuk rumah sebelum malu kepergok satpam kompleks. Dan untungnya hal itu tidak perlu terjadi. Akhirnya segala jerih payah dua lelaki ‘perkasa’ itu ..BERHASIL!!!!

Jika mengingat kembali semua itu disaat ini, aku jadi geli sendiri. Lebaran tahun ini heboh sekali . Diawali mandi dan dandan menggebu ditengah malam gara-gara salah pasang alarm, lalu diakhiri dengan cara yang aneh, juga tengah malam. What a fabulous Idul Fitri !!!!