Yang Terpaksa Terbiasa

31 08 2021
"Pak...Pak!"
Masih juga tak menyahut. Kebiasaan. Aku tahu, dia mendengar tapi selalu malas menjawab yang tak penting. Apalagi yang sekadar menunjukkan bahwa dia mendengar.

"Lengone entek. Mau nggoreng pisang tho?"
Memang tak ada lagi minyak tersisa. Aku lupa membelinya kemarin untuk persediaan sebelum benar-benar habis.

"Yo wis, aku tak motoran ke toko depan."

"Lho wis, ndak usah. Onlen ini aja lho. Saking aku crito aja sama Bapak, ini."

Dia melirikku, tersenyum tipis.
"Sudah malas ya, Bu, pergi ke luar? Padahal biar ketemu sama tetangga yang punya toko sembako itu, atau tetangga lain yang ketemu belanja."

"Lha, gimana? Takut juga kerumunan. Ketemu satu dua, nyapa ya nggak bisa jauh-jauhan bener. Mau prokes beneran kan ya onlen toh?"

"Dan lama-lama terbiasa. Keenakan duduk tapi barang datang. Jualan ya onlen juga. Kapan silaturahim kayak dulu? Salaman, senyum, sapa?"

"Eehh Bapak! PPKM aja masih diperpanjang terus gini lho. Artine kan sik harus di rumah terus yang bener."

Di akhir kalimatku, kami berpandangan. Tiba-tiba aku paham maksud suamiku. Dalam setahun, banyak hal baru menjadi terbiasa dengan sendirinya, dengan begitu mudahnya. Semua berubah. Tapi kami tak sepenuhnya menyadari apa yang mungkin bisa hilang dari sebuah arti kehidupan.

Kami diam, menekuri halaman sepi yang dulu seringkali dipenuhi sanak kadang tetangga untuk bertukar cerita.

#jurnalagustus
#perlima




Lambung Bayi?

31 08 2021

Aku bukan penyuka pedas. Tapi tak juga bermusuhan. Untuk tingkatan yang masih ramah, katakanlah cabe satu dua untuk rujak uleg tentu tak mengapa. Atau, meningkat sedikit tingkat sedang, masih mampu menyesuaikan diri dengan konsekuensi pagi hari agak mulas dan ada bagian yang terasa panas ketika proses sekresi.

Teringat ibu swargi mengajari untuk tak membuat repot siapa pun yang mengajak atau memberi kita makan, maka itulah sebabnya makin lama makin bisa menenggang rasa pedas yang berada dalam taraf wajar. Tentu saja, cabe NTT yang sekecil tanda baca tanda petik tak termasuk di dalamnya, alias sudah tak wajar bagi lidah dan lambungku. Demikian juga ketika bermaksud mengajari anak-anakku menerima rasa pedas dalam satu makanan.

Perlahan, sesuai usianya, dulu mulai kumasukkan cabe dalam menu makan bersama. Cabe merah besar. Cabe keriting sedikit. Tak akan menjadi wak wajar jika ukurannya adalah lidahku, yang diakui teman-temanku tak pernah pedas menyengat.

Nyatanya, semakin mereka dewasa, mereka tetap saja tak terlatih. Justru di usia dewasa mereka saat ini, semakin sering memesan untuk jangan memakai cabe atau kembali pada level perkenalan di masa kecil dulu. Sama sekali hanya merah tanpa rasa pedas. Itu pun, melalui kecurigaan lebih dulu dan harus diyakinkan bahwa warna merah itu tak mengancam keamanan mereka.

Jika sedikit saja terasa, apa yang terjadi? Tak cukup sekali atau sehari mereka akrab dengan mulas dan buang air. Bisa berhari-hari merasa tak enak pada lambungnya, dan kemudian jadi tak enak makan.

Sekarang, aku jadi lebih bingung harus masak apa. Sebentar-sebentar berbau kecap saja. Dan memang ini komponen memasak yang paling cepat habis di rumah. Rumah orang-orang dengan lambung bayi.

#jurnalagustus

#perlima





Ini Juga Besar untuk Ibu

30 08 2021

Iya, pasti semua pernah bermimpi besar untuk anak-anaknya. Punya harapan dan doa terbaik. Semuanya secara umum. Tetapi ketika kehidupan berjalan, tak juga memiliki perkiraan akan bagaimana.

Satu per satu menapaki langkah. Perlahan, dengan kecemasan di sana sini, tarik ulur pada keadaan, selalu berusaha bertahan dari kesulitan yang tak semua orang tahu. Ketika satu tahap terlalui saja, syukur tak henti. Sampai, itu pikiran yang pertama muncul. Selanjutnya, jalani lagi. Berdoa lagi, berharap lagi.

Dan di titik ini, disuguhi sesuatu yang lebih dari harapan, adalah keajaiban besar. Masih banyak kemungkinan, tapi kita harus selalu berpanjang sabar melaluinya. Selalu itu rumusnya.

Semoga, semoga… Bismillah

Bukan cuma untukmu, ini juga besar untuk ibu. Hal besar, rasa syukur yang besar.

Doaku …

#jurnalagustus

#perlima





Cari Apa?

29 08 2021

Beberapa hari ini ada janji dengan anak mbarep. Untuk bersama-sama menemani dia dalam sebuah urusan terkait masa depannya. Secara naluri, biasanya semua langsung memilih hari Sabtu untuk hal macam ini.

Tiba-tiba, dua hari sebelumnya Pak Uban mengingatkan, tentang jadwal peluncuran bukuku. Entah kenapa, terlupakan waktunya. Padahal di saat bersamaan, aku juga sibuk mengatur kegiatan acara peluncuran buku itu. Sepertinya semua hal sedang tidak saling tersambung di benak ini.

Akhirnya, disepakatilah Minggu sebagai satu-satunya waktu yang mungkin untuk memenuhi janji itu. Hari ini. Yang terbiasa bangun siang, harus bangun lebih pagi. Pun diriku, menyempatkan bangun lebih pagi untuk meluangkan waktu membersihkan rumah lebih dulu.

Setelah urusan mbarep selesai, sudah pasti kita cari makan siang. Dan masing-masing ditanya pendapatnya ingin makan apa. Yang menarik dan membuatku tersenyum-senyum, adalah percakapan ini:

“Kan dekat di sini juga ada, Mas”

“Kemang aja ya dhek. Ibu lagi sumpek di rumah tuh. Pengen jalan-jalan.”

“Oh, ya ayoklah!”

Dipahami model begini, rasanya membahagiakan. Meski mungkin orang lain yang tahu akan kebingungan betapa jauhnya jarak antara rumah di Cisalak dan Kemang. Seperti seorang ibu pemilik kios makanan sehat di seberang resto burger tempat kami membeli makan, yang sempat mengajakku berbincang dan bertanya di mana rumah kami. Dia tampak heran mendengar jawabanku. Dengan tertawa kecil, aku menjawab,

“Jalan-jalan, Bu. Terlalu lama di rumah.”

Dan padahal juga, kami hanya makan di mobil. Burger dan minum. Karena situasi makan di resto kondisi PPKM, ya begitulah…dibatasi jumlah orang dan waktu makannya.

Intinya satu. Cari apa?

#jurnalagustus

#perlima





Telah Terluncur!

28 08 2021

Hari ini, 28 Agustus 2021 jam 13.00 WIB.

Dengan jalan tak mudah, tersebab banyak kendala. Sempat harus mengganti jadwal luncur yang ditetapkan sebelumnya. Semua hal macet. Beruntung, semua penulis cukup sabar dan memahami situasinya.


Aku sendiri, tak pernah berada di pusat kegiatan tempat jantung penerbitan buku ini berada. Tak banyak yang bisa kubantu untuk meringankan beban teman-teman panitia, selain doa dan cuap-cuap ala kadarnya.


Tetapi, mesin komunitas sudah cukup panas setelah bekerja dalam sekian kali perhelatan serupa di masa segala sesuatunya serba terbatas ini. Tinggal lagi penyesuaian untuk hal-hal khusus dan unik.


Pada akhirnya, satu lagi pikiran terlepas dari syaraf, membebaskannya dari tekanan seberapapun besar atau kecil tampaknya. Rasa tanggungjawab tuntas, itu yang utama. Selebihnya, Allah yang akan menuntun.


Nikmati satu langkah lagi,
Satu cerita lagi.

#jurnalagustus
#perlima




Bahasa Tutur dan Gaya

27 08 2021

Masih cerita dari momen pertemuan kemarin.

Temanku bertanya tentang asal usul daerahku. Kupikir soal biasa. Aku sendiri paham teman-temanku kemarin juga berasal dari daerah yang serupa, Jawa Timur.

Yang tidak kuduga adalah keheranan mereka terkait bahasa tuturku, yang masih sangat kental pengucapan dengan lidah Jawa khususnya Surabaya. Entah mengapa mereka cukup takjub. Terlebih mengingat ceritaku kemudian bahwa aku tumbuh besar di kota Jakarta. Tetapi kan soal ini justru baru diketahui belakangan. Alasan sebenarnya dari keheranan mereka, agak terlewat dari perhatian karena percakapan yang bersahutan fi antara kami.

Aku sempat bercerita juga, bahwa orangtuaku bercakap-cakap denganku menggunakan bahasa Indonesia. Begitu pula antara aku dan suami, meski kami berasal dari daerah yang tak jauh beda, dan sama-sama penutur bahasa Jawa. Rasanya justru lebih intim saja dengan berbahasa Indonesia.

Berbeda denganku, kepada kakak-kakakku justru bapak dan ibu tetap berbahasa Surabaya. Dan itulah yang kudengar setiap hari di masa kecil. Atau antara kakak-kakakku dan teman-temannya. Atau dengan om tante dan saudara lainnya. Nah ini yang kemudian baru menjadi pikiranku saat ini. Benarkah dengan mendengar saja, sudah mampu membuat bahasa tutur dan logatku sama dengan mereka?

Di tempatku menari, aku bergaul dengan para penutur bahasa Jawa Tengah, yang bukan menjadi kebiasaan di keluarga besarku. Pada sebagian besar teman, aku bicara dalam bahasa Indonesia. Pada sebagian lainnya, aku ikut berbahasa Jawa Tengah. Dari mana aku bisa? Apakah dengan terbiasa mendengar mereka bertutur juga?

Aku jadi teringat teman bimbingan belajar saat dulu SMA. Dia mengatakan, bahwa melihat tampilanku seperti bule. Tetapi jangan dengarkan aku bicara, karena bisa kaget dengan logat lidahku yang sangat lokal. Dalam hal ini, aku mendapat kesan bahwa aku: ndeso.

Tetapi, aku juga ingat. Betapa seorang teman juga bertanya apakah aku mengerti tentang jajanan tradisional. Karena baginya, aku tampak metropolis. Dan aku terbelalak, ngakak, sambil bingung. Karena dalam kepalaku, bangunan wong ndeso tadi jadi porak poranda. Metropolis dari mananya?

Jadi, ah…hal apa dariku yang tampak menipumu, kawan?

#jurnalagustus

#perlima





Apa Kabar Udara Luar?

26 08 2021

Ya, apa kabar? Sekian lama berkurung dalam benteng tembok rumah, sebagai tempat teraman di masa pandemi, dunia di luar dinding hanyalah kabar maya. Terdengar, tapi tak sungguh tahu yang sesungguhnya.

Kerinduan pada semua yang hanya tampak maya itu, bertumpuk. Tetapi keberanian mewujudkannya, adalah persoalan berbeda. Gamang lagi. Rasa takut menodai lagi. Hingga aku mempertanyakan kestabilan jiwaku sendiri.

Lima menit sebelumnya aku bergirang hati pada ajakan jumpa, berikutnya kugantungkan lagi kepastian kehadiranku. Jujur mengakui keraguan itu. Lalu dua hari berikutnya dihabiskan ya dan tidak. Dan bertanya pada seisi rumah, meminta izin, sesuatu yang berlebihan untuk terjadi di masa normal pada kasus sekadar jumpa teman.

Dan akhirnya, terjadi juga. Kupikir, sebelum aku sungguh-sungguh berubah menjadi paranoia.

Lalu kami berbincang. Memberi asupan pada otak, karena tak ada pembicaraan receh yang terjadi. Dan segera pulang pada batas waktu yang kutentukan sendiri. Seperti dulu di masa sekolah. Disiplin, tak ada lewat waktu.

Terima kasih yang berlipat-lipat pada temanku. Masih ada yang mau menarikku keluar dari cangkang, menghadapi dunia.

Semoga semua baik-baik saja.

#jurnalagustus

#perlima





Apa yang Kau Lihat dari Matanya?

25 08 2021

Kadang, keisengan menghampiriku. Ini sebagai konsekuensi dari kebiasaan berpikir yang mungkin berlebih. Atau, entahlah…sekadar romantis saja, mungkin?

Hari-hari kami seringkali ada waktu-waktu dimana kami berbicara tanpa kata. Menggunakan mata, atau sentuhan saja. Dan kebanyakan kejutan, candaan, yang mungkin dipahami sebagai aneh saja. Terlebih di usia saat ini yang tak mungkin dibilang muda, dengan usia pernikahan sudah melewati perak.

Perlukah? Entah, bisa jadi relatif. Bagiku, akhirnya terasa bagus. Karena tidak mematikan rasa romansa yang pernah ada untuk dianggap rutin.

Seperti tadi, iseng aku bertanya mengapa kami bertemu. Atau mengapa kami bisa bersatu. Agak aneh, mungkin. Itu diakui, bahkan di satu sisi jadi ketakutan seolah ada sesuatu yang kurang baik terjadi. Padahal yang terjadi sebaliknya. Dengan memandang matanya, rasa takjub itu masih muncul. Semacam, “Kok bisa ya?” Anugerah yang tak putus dalam segala kekurangannya.

Masya Allah.

Oh, ini bukan dalam rangka anniversary. Rasa dan pikiran acak saja. Tak harus kan yang seperti ini hanya dilakukan di seputar tanggal bersejarah?

Cukup dari melihat perjalanan ini melalui matanya.

Setujukah kamu?

#jurnalagustus

#perlima





Diam, Jangan Protes

24 08 2021

Jangan bilang, kita adalah orang yang selalu mau mendengar pendapat orang lain. Atau merasa sebagai orang yang selalu berpikiran terbuka, jika masih punya syarat untuk semua hal itu. Jika pendapat tak mengganggu, jika masuk akal, jika, jika, jika …

Akal kita, berbeda dengan orang lain. Dasar logikanya bahkan bisa berlawanan seratus delapan puluh derajat, hingga membuat berkerut kening. Yang tak masuk akal kita, mungkin justru sangat masuk akal bagi orang lain. Atau, malah bisa hanya berdasarkan selera pribadi yang tak mungkin dijelaskan.

Sebagai contoh, sendok plastik ini. Seseorang gemar sekali menggunakan sendok plastik begini untuk mengaduk minuman panasnya. Tentu saja ketahanannya untuk tetap pada bentuknya tak dapat dipertahankan. Dalam sekejap, sendok ini pasti berubah bentuk. Meleyot.

Jika ditanyakan alasannya, jaawaban yang diberikan adalah karena penampangnya lebar atau besar. Saya kemudian memberikan bantahan, bahwa ada sendok stainless yang besar penampangnya sama dan tentu tak akan berubah bentuk karena panas. Tetapi tetap saja tidak mau. Alasan terakhir yqng kemudian membuat diam adalah ketika jawaban akhirnya adalah, “Saya suka saja.”

Selesai sudah!

Tak perlu ada bantahan lagi. Hormati saja kesukaannya. Dan tinggal ditunggu saja berapa lama lagi sendok ini bertahan. Karena ini pun bukan yang pertama. Seniornya sudah ada beberapa. Tetapi, yang penting adalah dunia damai. Dunia sekitarku.

#jurnalagustus

#perlima





Serasa Ratu

23 08 2021

Jadi, kemarin siang ketika film WCTH di Netflix berhenti di akhir season 6, saya WA ke mbarep di kamarnya di lantai atas. Minta dicarikan, unduhkan, season lanjutannya.
Biasanya, urusan itu lebih enak melalui PC ketimbang laptop. Sedangkan PC ada di ruang komputer yang lebih banyak digunakan adiknya.

Maka, dia berjalanlah ke ruang komputer. Di lantai atas juga, di atas ruang TV. Tanpa suara keras, saya tahu dia minta adiknya yang lakukan itu.

Malamnya, sambil akan makan malam, saya lihat mbarep bicara. dengan lirih pada adiknya. Jawaban yang saya dengar,
“Iya mas, belum dapat.”
“Ya sudah, carikan.”

Hhmmm…mereka tahu persis segelisah apa ibunya jika penasaran. 
Dan, mereka sangat memperhatikan.
Sekecil apa pun berusaha diberikan. Bahkan terasa cukup memanjakan.

#jurnalagustus

#perlima