Bukan Milikku Lagi

29 07 2008

Mbak Endang,…. blogspotnya kembali dihidupkan lagi yaaa???

Sapaan Jeng Iko itu mengagetkanku. Satu alasan tepat untuk merasa kaget itu adalah karena cikal bakal blog ini di perkampungan blog sebelah baru saja kututup  untuk pribadi. Dan menggunakan nama yang berbeda pula, demi mempersiapkan sebuah wajah baru. Maka, pastilah Jeng Iko tidak akan mengetahui nama baru dan statusnya yang masih dalam persiapan itu. Dan pastilah yang dia buka lembarannya adalah halaman dengan alamat yang lama : endangcinta . Lalu…..bagaimana jeng Iko bisa menangkap basah kehadirannya kembali?

Dengan rasa yang sangat tidak nyaman karena degupan jantung terlalu berdebar, maka ” kubuka album biru……penuh debu dan usang……..” Sangat berbeda……sangat menusuk kesadaran hingga beberapa waktu menjadi tidak mampu berpikir. Ah ya……sedikit terlalu dramatis penggambarannya. Tapi hal pertama yang muncul di benak ini, adalah apakah halaman biru itu menjadi halaman dewasa ataukah halaman umum? Doaku, “Aduh Tuhan….jangan Kau biarkan halaman itu jadi halaman dewasa…..plis..plis…jangan…..”

Lalu mengapa bisa begitu? Aku harus mengakui bahwa kadang kebodohan masih melingkupiku, meski  aku merasa sudah jauh lebih pandai dibandingkan dulu. Mestinya aku tahu, bahwa tak mungkin keberadaan sebuah alamat di ranah ini tidak kekal. Mestinya aku tak terlalu lugu untuk menganggap penggantian sebuah nama dan alamat akan begitu saja meniadakan yang pernah hadir. Yang terjadi kemudian adalah seperti yang saat ini ada. Kepemilikannya berpindah tangan tanpa sepenuhnya kusadari. Tanpa faktur, tanpa aku membubuhkan tanda tangan, tanpa perjanjian apalagi transfer rekening.

ENDANGCINTA itu bukan lagi milikku. Bukan lagi sesuatu yang bisa kubentuk sekehendak hati. Bahkan pintunya pun tak ada lagi untuk bisa kumasuki dan kubersihkan seperti keinginanku. Aku cuma bisa memandangnya di luar pagar, halaman yang entah siapa penghuninya. Termangu……tak tahu harus berbuat apa. Entah pemiliknya sungguh cinta nama yang bukan miliknya ataukah tidak.

Masih termangu, tepekur………..tak kulakukan sesuatu pun untuk mempersiapkan tempat baru. Aku masih blo’on sekarang…….





Rasa Ibu

23 06 2008

Di sebuah pusat perbelanjaan, ” HUAAAAAA…………aku mau main……mau main……..huaaaaaaaaaaaa……gak mau, gak mau pulang……!!!!!!!!!!!!!! “…..

Bukan pemandangan yang indah untuk dinikmati. Ada banyak emosi tumpang tindih berebut mempermainkan hati yang hanya sepotong. Mungkin ingin marah karena tak sesuai keinginan. Mungkin rasa malu menggelegak memerahkan paras karena menjadi pusat pandangan mata. Atau ketidaktegaan untuk tangisannya, namun juga keinginan untuk mengajarkan disiplin.  Pilih anak atau ibu……menyerah atau teguh……Ibu, nuranimu harus bicara.

Ada bacaan berita, betapa seorang gadis pun sangat memelihara rasa haus akan kuasa dan menaklukkan sesamanya. Tangan ramping dan seharusnya halus, bergerak kencang dan menancapkan bekas merah di pipi mulus yang bukan pipinya. Cerita yang bukan rancangan sinetron. Sangat nyata, dan sangat mengiris hati. Haruskah menutupi dan menganggap tidak ada? Atau mengakui kenyataan ? Mengakui tak harus menjauhkan pelukan dan menutupi tapi tak berdusta……Ibu, nuranimu harus bisa bicara benar.

Dunia yang ada di depan mata saat ini tampak hancur ketika perjalanan hati tak terasakan sejuk. Entah apa yang membuat rumah cinta itu mengeras dan kehilangan sentuhan manis bagi peradaban. Tampaknya kelahiran masa berikutnya mungkin memunculkan monster-monster ganas pemakan hati dan cinta bila tak ditemukan penawarnya. Dengan pemikiran ruang sempitku, aku cuma ingin meraba kuduk sendiri. Dan melihat telapak tangan kecil yang kuasanya begitu besar. Rahim saja adalah sebuah keistimewaan karena dari sana tak cuma bisa lahir satu dan ribuan sosok, tapi juga rasa. Benci, dendam, cinta, tanggungjawab, murka, maaf, kemanjaan dan sejuta rasa dan emosi yang bertebaran. Ibu, apa yang bisa tercipta dari rahim dan rasamu akan tampak pada putramu. Ya… kamu, Ibu……aku sendiri.

Selalu ada banyak debu dan bakteri yang bisa menempel di kulit dan tak cuma satu tiang menyangga rumah. Tapi kuduk ini bicara untuk menelisik ke dalam. Ada banyak masa tangan-tangan ini mengukir sejarah hati manusia, dan itu adalah masa emas. Tak mungkin kembali. Mulut boleh berteriak kencang, tapi jangan hitamkan hati. Tangan dan suara cantik jika terasa lembut, tapi jangan lemahkan hati jika jalannya tak baik.

Ibu, keibuanmu……….selalu pantas untuk dipertanyakan artinya bagi peradaban………





Dari Sebuah Perjalanan Kecil

7 05 2008

Kata orang, melihat sesuatu dengan berbekal sebuah stereotip itu tidak bijaksana. Tentu saja maknanya mudah untuk dipahami. Bagaimanapun selalu tersimpan keinginan kita untuk bisa menjadi orang baik dan memaknai segala sesuatu sesuai dengan porsi yang ada. Tidak ada penyamarataan yang berlaku mutlak karena pada dasarnya segala sesuatu yang ada di bumi ini unik, selama kita memandang denga kejelian. Ah ya…..mungkin ini juga pemaknaanku sendiri ketika merenung-renungkan sesuatu.

Dalam satu helaan nafas yang sama dengan kesadaran untuk berlaku bijak, aku sendiri seringkali justru menghadap pada tembok yang mungkin kurang bijaksana. Berstereotip. Nyata sudah, kepala dan dada ini sungguh sempit. Meski degup-degup jantung begitu riuh menggetarkan dan bersuara lantang ,”mengapa harus tembok itu?” …….kadang sulit untuk menghindar. Jika harus mencari sebuah kesahihan proses pemaknaan, maka kusodorkan saja apa yang tertangkap bola mataku.

Ini tentang perjalanan kecil ke bagian Utara sebuah pulau di bagian Barat negara, kota Medan. Sejak masih di loket pendaftaran ulang tiket di kota ini hingga tiba di kota tujuan, apa yang kudapat selalu membuatku menghadap ke tembok sempit pemaknaan. Oh, aku sudah pergi ke beberapa kota seberang di negara ini, tetapi tidak menjumpai yang seperti ini. Itu dulu, entah sekarang…..siapa tahu semua sudah serupa saja. Senggol serobot tergesa dan tak perlu barisan. Aku tertawa kecil dan berpikir, “beginikah dirimu ?”

Troli didorong kencang dalam kesesakan pencarian barang dan tumit yang bisa saja menjadi korban aksi ngebut, mungkin saja sebuah seni dan bagian dirimu juga. Jangan tumitku ya, Bang………….aku masih menikmati keramahan dalam kotamu.

Tak banyak waktuku disana, hanya hingga esok pagi datang dan aku memasukkan diri kembali dalam barisan daftar ulang tiket. Barisan yang ditunjukkan lelaki berseragam, tetapi dibuat kopi paste tak resminya di kanan kiri. Siapa cepat melangkah, siapa tiba di depan lebih dulu. Dan aku setelah lama berdiri di barisan resmi, berdiri mengangsurkan tiket. Yang terjadi kemudian,

” Ibu seharusnya di kiri ! “, ……ini yang bertugas mendaftar ulang .

” Lho ? Lha saya disuruh di barisan ini tadi. Yang kiri kan adanya belakangan….”

” Nggak….Harusnya di kiri sini ! “

” Sudahlah pak….biarkan ibu ini disini, kan sudah sampai di depan. Memang disini tadi”……..ini suara di samping yang mungkin merasa sedikit tidak enak.

” Ini MEDAN !!!!! “………..suara teriakan di bagian belakang. Menyudahi, menyimpulkan dan membuatku tertawa. Sadar diri. Dan semua bisa menjadi benar.

Andai itu terjadi di tempat dimana sebuah stereotip tidak berlaku, tentu aku menjadi sangat jumawa dengan kebenaran. Tetapi ini sebuah keunikan. Khas. Semua bisa benar, tinggal bagaimana memakluminya. Dan ketika tiba waktuku duduk menunggu panggilan terbang, ada suara dalam hatiku. Entah bagaimana, aku tidak ingin mereka berubah. Biarkan lestari karena inilah saudaraku. Negeriku. Aku tidak perlu memandangnya dengan etika, tetapi dengan cinta. Dan dunia ini memang tidak pernah sempurna.





Seputar Degupan Jantung

13 03 2008

Mungkin karena terbiasa berada di kalangan mereka-mereka yang berusia jauh di atas usiaku, beginilah yang sering terjadi di pengucapan dan pemikiran kepala kecil ini. Kebanyakan dari apa yang kudengar adalah pembicaraan tentang nilai. Nilai seorang manusia, nilai sebuah kata dan tindakan, dan nilai tentang apa saja yang kita semua hadapi. Dulu, aku selalu mendengar. Asik saja rasanya telinga ini menangkap orang-orang tua bicara  seputar hal-hal pelik itu. Dan sudah pasti kemudiannya tertanam dalam-dalam di kepala dan lubuk hati. Kadang telan begitu saja untuk mendapatkan pemahamannya pada waktu yang tepat. Kadang juga sudah menjadi bahan proses mencerna sejak pembicaraan itu tertangkap radar sadarku.

Menjadi menua sekarang ini, aku tak pernah mencari-cari sparing partner untuk sekedar bicara kesana kemari persoalan yang sebangun dengan yang dulu sering kudengar. Karena memang tak perlu dicari. Satu dua kali pertemuan, entah temu wajah dan kata atau hanya kata saja, alarmku sudah bisa memberikan petunjuk mana-mana saja kaumku yang suka dan tidak suka berpartner bicara hal-hal begitu denganku, atau yang benar-benar  berbeda jalan dan hanya sapaan manis yang diperlukan. Dan dengan mereka yang buatku seperti ‘tumbu ketemu tutup’ itu, kalimat-kalimat yang mengalir bisa secara alami tanpa disetel berlebihan mengarah pada pengupasan makna.

Bicara makna, yang sederhana tapi juga tidak sederhana, biasanya berujung pada sebuah akhir. Tidak heran seringkali tersirat dan tersurat rasa takut disana. Karena siapapun menyadari adanya sebuah akhir, memaklumi, memahami sekaligus ingin menjauhi akhir itu. Bukan apa-apa, sungguh bukan apa-apa jika pembicaraan itu ada. Maksud sebenarnya hanyalah untuk mengingatkan tentang ketidakkekalan dan apa saja yang bisa ada, terjadi dan harus dilakukan selama menjalani ketidakkekalan ini.

Tapi, beberapa hari ini aku menjadi lelah ketika menghadapi dan mendengarkan kalimat-kalimat seputar masa akhir itu dari mulut seseorang yang dekat. Yang degupan dirinya sedang bermasalah. Yang selalu menunjukkan seolah ketidakkekalan yang telah dia jalani lebih banyak dari yang pernah ada di sekitarnya, meski dia tahu tak ada yang tahu berapakah banyak itu. Dan di antara semuanya, selalu diselipkan cerita tentangku.

Kalau tuduhan yang bisa datang padaku adalah ketidaksukaan untuk memberikan rasa kasih yang dibutuhkan, boleh kukatakan dengan suara lantang bahwa kamu tak tahu aku. Kelelahanku, hanya berpangkal pada ketidakrelaan tentang sebuah waktu akhir yang mungkin datang pada darah dagingku, sesuatu yang kupahami benar kepastiannya. Memang, lukisan yang bisa kucoretkan untuk kau lihat hanya semacam keluhan tak suka. Padahal aku hanya tak punya keahlian melukiskan. Semua yang ingin kulukiskan hanyalah apa yang tak bisa kupandangi dengan senyum.

Satu kali aku pernah membutuhkan lima menit terlama dalam hidup untuk mencoba menangkap sebuah gerakan dada yang begitu halus, hanya karena pintu yang terkunci dengan sengaja itu memisahkanku dengan apa yang kupandangi. Sampai akhirnya kutegakan membangunkan sebuah kelelapan untuk lebih memastikan semuanya baik-baik saja, sebelum airmata menjadi deras. Dan disitulah awalnya kelelahan itu.

Aku tak suka menangisi sesuatu yang tak pasti. Maka, memiliki teman yang mengerti benar apa yang kau bicarakan, adalah sebuah kemewahan. Aku katakan bahwa aku memiliki kemewahan itu kemarin, di saat lelahku. Mungkin dia sudah kembali pada kesehariannya kini, tapi sentuhan keberadaannya  tetap terasa kental.

Kalau ini adalah sebuah catatan harian terbuka, ……..entahlah. Matahari memang bersinar dan segalanya menjadi lebih baik. Tapi apa yang sudah terjadi tak bisa terhapuskan. Karena aku takut pada sebuah akhir, aku selalu mencari asa bersamaan matahari yang mulai bersinar. Selayaknya, menjadi lebih cerah dan kelelahan perlahan memudar dengan memejamkan mata beberapa saat lalu.

Aku ingin, hujan masih akan lama lagi datang…………………KAU dengarkan aku, kan?





Ceracau Pagi Untuk Membuat Kantuk Mau Pergi

28 02 2008

Lama sekali sudah duduk disini. Diam, tak mematung, hanya tak tahu mesti berpikir apa. Tak mematung karena sesekali masih menggerakkan tangan, mengusir nyamuk berdenging, memukul jika menggigit, atau menggaruk kalau sudah terlalu gatal. Artinya, diam ini tidak membuat hilang rasa dan kesadaran. Kopi, sudah lama habis selagi hangatnya masih ada. Jangan ditanya lagi tentang itu. Sekali waktu beranjak manakala perut bergolak tiba saatnya untuk dikosongkan. Dan duduk lagi disini.

Mungkin menunggu matahari. Memang tak bisa dipastikan munculnya akhir-akhir ini, meski tidak terlalu sering lagi menghilang. Kalau coba-coba pekerjaan tak waras, aku menebak saja perasaan matahari. Mungkin, dia sedang malas. Mungkin, dia sedang bosan dengan apa yang sudah ribuan masa dia jalani. Melanggar takdir sebenarnya, tapi apakah tak boleh merasa begitu. Dan, mungkin juga sedang menikmati sebuah kesenangan baru. Makin jauh menebak-nebak, aku jadi geli sendiri. Memang tak waras. Semuanya jadi kedengaran seperti aku. Bukan matahari. Ini bukti saja tentang kediaman yang tak bermakna tadi.

Lalu, hal yang pasti terjadi  ketika diam seperti ini terlalu berlarut adalah saat semuanya menjadi rumit. Terbang pada masa hijau dulu, dimana banyak nilai berusaha dicekokkan dalam kepala. Nilai tentang kehidupan manusia Jawa, nilai tentang keberadaan diri dengan prinsip. Belum lagi nilai tentang sebuah kehormatan, sebagai pribadi, sebagai perempuan, sebagai peran apapun yang diinginkan untuk diwujudkan. Teguh yang lentur, kuat yang luwes. Mengertikah ?

Menerima apa yang ada disini hari ini, menelisik awal mula dan perjalanannya untuk menjadi begini,  aku tak tahu apakah banyak kepala yang senang melakukannya. Tidak mungkin tidak ada. Tapi seberapa sering, itu yang membuatnya berbeda. Dalam waktu-waktu menelisik begini, satu dua helaan nafas terbit juga ide tentang reinkarnasi. Dan seperti khayalan seorang penulis fiksi, ide itu bisa begitu jauh berbeda dengan yang ada sebagai kenyataan. Terbentuklah sebuah pertanyaan, adakah itu ide seorang manusia, atau manusia yang penulis, yang seniman, atau semua manusia adalah seniman. Terlalu jauh kelananya dari yang ada hari ini. Lalu apa? Oh ya……mestinya diingat juga apa dan siapa saja berperan dalam sebuah proses hingga jadi kekinian.

Kopi tadi mungkin meracuni hingga semuanya makin rumit. Gelas kedua ini isinya cuma madu dan kayumanis, hangat dan  membangkitkan semangat. Dan kelana yang lahir dari sana adalah pertanyaan-pertanyaan. Berapa kali aku ingin dilahirkan, dimana, masa yang mana, rupa seperti apa. Yang terakhir adalah pertanyaan, apakah itu melanggar takdir sendiri dengan banyak bertanya yang tidak mungkin terjadi ?

Tegukan besar madu dan kayumanis. Apa bedanya dengan kopi tadi jika kelana yang ada jadi menyesatkan. Setidaknya, bisa jadi menyesatkan buat yang lain. Buatku sendiri aku sungguh merasa ada dalam rumah batin dan akal pengembaraan yang mengasikkan. Enak dan nikmat seperti ramuanku tentang kopi lalu madu dan kayumanis.

Ada kalanya aku tak mengerti apa yang diucapkan teman cakapku. Apa yang kulakukan hanyalah menikmati setiap katanya. Memasukkannya dalam kepala dan  menyimpannya dalam relung hati. Pasti disana akan ada satu mesin yang membuat  bisa memahami. Pada akhirnya. Pada waktu yang tepat. Pada saat bagian dalam diri menyatakan mau memahami, sekecil apapun kemauan itu. Dan yang dibutuhkan hanya ketenangan.





Memandangmu, Lelaki…………

20 11 2007
” Dodol…dodol…..mau nggak dodolnya?”
Panas siang yang terik diantara hari-hari yang mulai memberikan deras hujan, dengan suara lelaki tua. Panas yang tak bisa diisi dengan kudapan manis seperti dodol yang dijajakannya. Dan kenyataan itu yang menjadi jawaban bagi tawaran sang bapak tua . Kaki kurus dengan bungkus kulit sangat keriput terus melangkah memasuki halaman rumah ini. Dan dia lalu duduk di sebuah kursi disana, membiarkan semua mata menatap tak tahu mau bicara apa.

“Ya…saya dengar kok. Gak mau dodolnya juga gakpapa…”
Mata-mata di halaman ini menatap makin heran. Tapi hatiku tiba-tiba menjadi pedih sendiri, tak perlu banyak penjelasan. Dan ketika pedih ini ingin menggerakkan seluruh yang ada untuk membawakannya segelas air dingin, kaki tua itu telah melangkah lagi. Keluar. Tanpa pamit atau permisi seperti dia masuk tanpa ijin. Hatiku makin pedih. Siang memang sangat terik dan melelahkan. Dia adalah kaummu, kasihku…….

Benakku lari ke sisi lain kota ini. Bapak tua lain. Keringatnya mengucur mengalir karena larinya menggapai apa yang dia lihat sebagai hak. Mataku memandang haknya sebagai sebuah monumen kasih sayang. Mengabadikan jejak panjang yang mampu digoreskan oleh tulang, otot dan peluh, dan mungkin harus hilang. Sebuah susunan banyak batu yang bicara tentang cinta, kerja keras dan harga diri kelelakian. Bukan harga angka, tapi kelelakian. Kaummu, wahai kasih….

Memalingkan wajah pada sisi lain, tertampak lukisan serupa. Lelaki dengan usia tengah baya, belum sepuh benar. Dia ciptakan juga menara cinta dengan peluhnya. Dengan keteguhan hati dan idealisme yang seringkali harus dilembutkan dengan bijak. Tak ada keluhnya. Batuk kecil kadang menemani malamnya. Hati ini tak kuasa memandang tanpa ingin menapakkan belaian di wajah yang lelah. Itu kamu………….

Kamu dan mereka adalah lelaki-lelaki biasa, dengan semangat luar biasa. Kuselami setiap langkah kaum itu. Kucoba pahami tiap hati yang terasa patah jika tak didapat ladang untuk membuat monumen cinta. Meski bait-bait lembut mulut wanita menerima kekalahan, tapi harganya bukan angka. Kelelakian. Itu yang katanya mau disuarakan. Karena harga itu adalah peninggalan tertua yang terwariskan pada kaummu.

Mungkin bukan yang istimewa dalam dunia ini. Banyak cerita serupa. Bahkan tak sedikit yang sungguh bercela tak mampu terkatakan hingga semua seolah tampak sama berengseknya. Perempuan-perempuan sepertiku bahkan banyak yang melangkah lebih jauh. Pundaknya bahkan memanggul lebih berat. Tapi entah mengapa tak ingin kusuarakan semua itu. Biar itu menjadi rahasia hatiku. Karena tampaknya akan lebih indah begitu dalam pandanganku. Tak perlu juga diminta tandatangan para lelaki untuk mengakui keperkasaan kaum perempuanku. Sebab perempuan lebih cantik bersuara dengan mata dan hatinya.

Maafkan untuk tiap keluh yang melupakan peluhmu. Ampuni untuk tiap pinta yang sepasti datangnya mentari di ufuk Timur. Dan maklumi jika perempuan melangkahi garis yang katanya tergariskan. Mungkin ada sakit yang ingin dibebaskan dengan langkah kecil. Tapi cobalah pandang dirimu lagi. Dengan sedikit tundukan kepalamu, hati kami bisa menangis. Dengan sedikit pejaman matamu yang lelah, tangan kami akan membelai. Dan kami tak butuh puja puji tak perlu. Kami cuma tak ingin melihatmu tenggelam dalam kesombongan.

Kasih, lembut genggamanmu ini menenangkan hariku………….





Terpengaruh

8 11 2007
Angan-anganku dulu pernah mencapai sebuah titik dimana tak ada kata pengaruh. Angan yang naif dan terlalu bodoh. Terlalu sederhana untuk kepala yang mulai menyemai warna lain di helaian halus mahkotanya. Dan keinginan yang ingin berendam lebih lama dalam indahnya jelajah bening sebuah akal. Nyatanya, kemanusiaanku membuatku tersadar betapa makhluk bertangan kaki kepala ini begitu lengkap sebenarnya. Dalam satu tubuh kecil saja, bisa kupunguti banyak sisi gelap terang bodoh pintar balita dan manula.

Pagi ini tercium wanginya dengan sebuah ingatan akan malam yang dihadiri beliau yang sudah pergi. Melacak jalannya, semua hanya diawali dari sebuah malam yang merindukan kehadirannya seperti malam-malam yang dulu. Mimpi yang tercipta dari kuatnya pengaruh rindu, dan keengganan pada yang dia tinggalkan. Maka kantuk yang tersisa tak mungkin lagi dilenakan kembali.

Berkelana menghibur hati kadang tak selalu memenuhi cungkup gundah yang ditengadahkan. Hati yang lurus tak beriak justru lebih berbahaya untuk menerima segalanya ke dalam cungkupnya. Ada seseorang di belahan lain dunia mengingat selarik bait sesalnya yang mengundangku bersimpati. Menjadi berempati, mencoba merasakan duka lara yang dia cecap seolah manis. Tapi empati ini datang dari daging yang hanya sepotong dan harus mampu menanggung semuanya. Maka pengaruh itu tak bisa dienyahkan lagi.

Aku terpana mendengar berita kabel menodai pagi. Ingatan tentang perempuan di belahan lain dunia ini dan rasa sesalnya, memenuhi dada dan kepala lebih banyak. Yang kudengar ini, pasti tak seujung kuku keadaan yang diterima perempuan itu. Wanita tua yang dulu menggendongku di rahimnya masih mampu berjalan. Entah semangat atau keterpaksaan yang membuatnya tampak gagah memilih jumlah roda yang bisa membawanya ke dinding-dinding berbau alkohol dan obat suntik. Tapi ingatan tentang perempuan yang masih menggendong sesal itu, membuatku tak ingin menunggu. Tak ingin menggendong sesal yang sama. Membuang waktu mungkin jauh lebih baik daripada menangis nanti.

Pengaruh. Masih terlalu menguasaiku. Membawaku tak berakal. Membawaku kadang menjadi labil. Mengingatkanku, bahwa aku makhluk yang utuh. Lagi, dalam satu tubuh kecil saja, bisa kupunguti banyak sisi gelap terang bodoh pintar balita dan manula. Sebenarnya memang indah. Menakjubkan. Membuat yang Mutlak tak mungkin dipungkiri.

Aku tak bersedih hari ini. Tawaku masih berlanjut. Mengumpankan rasa lain yang lebih melankolis dan sensitif. Aku hanya ingin menjewer kuping sendiri agar tak lupa.





Kok Dia Bisa Gitu Ya?

10 09 2007
Jelas-jelas aku tidak akan pernah berani berkata pada dunia, bahwa kualitasku sebagai manusia adalah baik. Apalagi yang tergolong jempolan dan menjadi salah satu orang-orang langka dan terpilih. Menjadi orang yang cukup mengerti batas kapan orang lain akan menjadi sakit hati karena lidahku saja, itu sudah harta bagiku. Padahal, siapa yang tahu jika ternyata aliran ungkapan yang mengalir dari mulut ini bisa mengiris perasaan sesamaku. Tapi ternyata, aku masih bisa selalu dibuat terperangah oleh orang-orang yang justru memiliki niat kuat untuk mengeluarkan kata sambil menebarkan sembilu-sembilu tajam. Dan dia merasa hebat karenanya. Kok bisa ya?

Belum lagi siaran-siaran warta berita made-in orang tipe ini yang menuntut kita menjadi pendengar yang sangat cerdas. Cerdas memutuskan untuk mendengar atau tidak. Cerdas untuk berani mempercayai isi berita atau tidak. Cerdas untuk menolak dijerumuskan dalam sebuah konflik karena warta berita itu atau tidak. Dan hal-hal yang semacam itu. Kecerdasan-kecerdasan ini menuntut stamina kita dalam kondisi yang juga prima. Bisa terbayangkan, jika kita sedang dalam keadaan lelah, pusing oleh suatu masalah, dan emosi yang sedang tidak baik. Pasti kecerdasan itu akan dirampas oleh tangan-tangan setan yang sangat-sangat usil.

Aku bukan orang yang selalu ingin bermanis-manis pada orang lain jika hasilnya justru tidak bisa manis. Tapi memberi kenyamanan pada orang lain agar bisa duduk tenang, rasanya sebuah keharusan. Kecuali sangat terpaksa, itupun tetap dalam koridor untuk tidak keterlaluan. Tapi ternyata ada juga yang memilih untuk tidak memberi rasa tenang dan nyaman pada sesamanya, entah berwajah manis ataupun tidak. Jika boleh mengklasifikasikan jenis manusia, aku sendiri tidak tahu harus mengklasifikasikan jenis ini pada kelompok yang mana. Lebih lagi karena ini menjadi semacam hobi baginya, mengapa ada hobi yang begitu aneh seperti ini. Bagaimana cara dia mengisi formulir yang harus mencantumkan data diri? Haruskah tertulis :
Hobi, menyakiti orang lain. Opo tumon ?

Banyak sekali di sekitar kusaksikan orang-orang yang tidak beruntung untuk bisa disebut pintar. Mungkin karena memang dia tak memiliki kesempatan bersahabat dengan sekolah. Biasanya mereka sangat bersedih untuk ini. Sebagian lain yang agak lebih pandai secara emosional, maka sedikitnya mereka akan beelajar bagaimana hidup bermasyarakat dengan tata aturan yang pantas. Hingga akhirnya kembali pada naluri hidup berkelompok, orang lain akan mampu menerimanya sebagai teman tanpa ingat jenjang belajarnya. Lalu, apa yang terjadi pada jenis orang yang aneh? Kebodohan ini justru bisa menjadi sebuah senjata. Digunakan untuk melawan orang lain dan sekaligus menguji sudut pandang orang agar menerima dia sebagai yang teraniaya. Setelah itu, dia bisa bebas menganiaya hati orang. Kok bisa? Bagaimana mungkin menjadi bodoh lalu bangga, lalu meneror orang, lalu meletakkan kesalahan pada orang lain?

Aku kehilangan kata untuk menyebut jenis ini. Tapi temanku menyebutnya tarantula, entah darimana ide itu muncul. Kusetujui saja tanpa pikir panjang. Menerima jenis ini dalam kehidupan, adalah hal yang harus dihadapi sebagai warna saja. Menentukan sikap seperti yang dilakukan temanku itu, bisa jadi pilihan. Pergi, adalah pilihan terakhir. Tapi jika orang ini ada dalam garis yang tidak bisa kita tinggal pergi, pilihannya mungkin hanya bengong atau banyak berzikir. Kenapa zikir? Karena meski bukan kaum langka dan terpilih, aku juga tidak mau tiba-tiba sakit jantung karenanya atau malah menjadi orang jenis ini. Cukup dengan mengeluh “kok dia bisa gitu ya?”. Cukup dengan bengong saja mungkin, Fit. Asal dia jangan membangunkan raksasaku saja……….karena aku bisa sama sekali tidak cerdas !

*tertuang karena sebuah obrolan cukup panjang dan membuat kami heran sendiri, mungkin berguna untuk periksa diri menjelang puasa*





Bola Bergulir

27 08 2007
Mendapat pesan singkat salah alamat seringkali membuat kita tersenyum dan tertawa sendiri. Kebanyakan alasan utamanya adalah karena kita sedikit mengetahui rahasia seseorang. Ini adalah naluri tukang gosip, yang aku percaya sekali semua manusia memilikinya dengan kadar berbeda. Begitu juga denganku. Rasanya seolah mendapat ide baru penyegaran diri dengan bahan ledekan bagi si pengirim pesan singkat itu. Terlebih jika terdapat kemungkinan terjadinya dukung mendukung dalam soal meledek ketika keluarga besar kembali berkumpul, metamorfosis diri menjadi seorang pembunuh karakter berdarah dingin tak disadari lagi. Sang korban, hanya bisa senyum kecut. Atau jika mentalnya kuat, terjadi juga balasan meski terkesan terlalu crispy bagi yang mendengar. Ini yang terjadi di akhir pekan lalu.

Beranjak sore, aku tak lagi senang dengan pesan singkat salah alamat tadi. Bukan lelucon lagi tampaknya. Tatkala dua manusia mencoba memadu hati dan terjadi sedikit ketegangan di antaranya, memang terbuka kemungkinan bagi lingkungannya untuk menjadikannya bahan gurauan agar keduanya justru kembali hangat. Tetapi ketika ketegangan itu tampaknya tak segera mencair, tiba-tiba hati ini menjadi sangat tua, khas orang tua. Begitu kerasnyakah hati sang perjaka? Mengapa dewiku menjadi lemah untuk hal yang tak seharusnya? Bagaimana hubungan itu mungkin berlanjut nanti jika tiba waktunya disatukan? Tapi mengapa aku harus khawatir…..aku mungkin mewakili dua rambut memutih pemilik sang dewi.

Sudut lain rumah bapakku, memaku dua hati lagi yang baru dilingkari bahagia. Mereka memulai jalan hubungan yang sesungguhnya dan tidak akan selalu manis. Mereka akan mulai memasuki perjudian halal. Ya, karena menikah adalah sama dengan berjudi, menurut kamusku. Tak akan pernah tahu apa yang mungkin terjadi. Tapi kami yang mulai menua ini turut menyemai harapan besar di ladang cinta mereka, agar tak ada kemarau yang akan menghancurkan ladang itu. Selalu akan mucul asa dalam sebuah kesadaran, begitulah dulu kami memulai kehidupan yang tak mau mengerti hati tua yang mengawasi langkah kami. Karena hidup mereka bukan lagi milik kami. Mereka mulai dewasa dan mengikuti jejak yang kami tinggalkan.

Tapi selalu lebih menyenangkan melihat kehidupan baru. Karena tangisnya pastilah manis. Tak seperti ketika datang titik, penanda akhir kalimat. Maka kumpul-kumpul kemarin menjadi segar. Banyak tawa dan gurau. Dan kami mulai lagi menggelindingkan bola-bola, saling bersaing menjatuhkan pin-pin putih dalam satu guliran. Tangan teracung untuk menang, bertepuk tangan, atau berteriak girang di tengah kekalahan yang lain. Masalah selalu ada, tapi biarlah berlalu dengan waktu. Kita bermain saja selagi bisa………





Dari Gelas Kopi dan Raket Nyamuk

1 08 2007

Duduk bercengkrama di tengah ruang pendopo ditemani angin dan nyamuk, banyak hal yang melintas dalam canda tawa dan diskusi aneka persoalan. Gelas kopi besar menemani masing-masing dari kami, sebagai penanda nyamannya hati dalam aliran kata yang ada. Sesekali raket nyamuk beraksi memberi sentuhan wangi dan suara bak rangkaian irama orkestra sebagai ilustrasi. Makin dalam saja kami menempatkan diri pada bangku dan bale-bale empuk. Lalu apa yang membuat kalimat-kalimat kami mampu mencetuskan tawa?

Sesungguhnya, tanpa kami inginkan, segala kalimat itu bermuara pada kenyataan tentang dua jenis manusia. Berlawanan, tapi sesungguhnya berpasangan dan saling tarik menarik. Utara-Selatan, kanan-kiri, dan laki-perempuan. Tak bisa dunia ini indah jika hanya diciptakan satu saja dari masing-masingnya. Banyak masalah memang, muncul dalam keseharian kehidupan ini dalam hubungan diantaranya. Karena itulah maka menjelma menjadi indah meski kadang juga perang. Hanya jika masing-masing dari kita menyadari bahwa seharusnya semua itu diterima apa adanya, maka lidah ini mampu menyebutnya keajaiban. Dan bila kita sanggup menempatkan diri dengan bijak, maka indah itu memang ada.

Bagaimana seorang perempuan berkeras menyimpan dalam-dalam sebuah pundi keluarga tanpa mau menyentuh, mungkin menjadi keheranan bagi sang lelaki. Tapi jika tidak demikian, maka sia-sialah keringat para lelaki itu membanjir. Bagaimana kemudian lelaki kecil diajarkan berbenah oleh sang bunda, pasti sanggup membuat taring lelaki terasah tajam. Namun jika ditabukan, apa yang bisa ditemui ketika lelaki kecil itu seorang diri di tempat yang jauh dari sang bunda, hanyalah sebuah kotak berdinding yang penuh debu dan bau meracuni otak. Masing-masing punya alasan untuk menjawab dan berdalih.

Lalu menjadi makin riuh canda tawa itu, ketika harus mengurai darah siapa yang memberikan aliran baik pada keturunannya. Masing-masing kutub bersaing ingin menyatakan diri sebagai pihak yang memberikan andilnya. Padahal ketika dirinya diminta menyuarakan potensi pribadi, seringkali hanya senyum malu yang ditampilkan di wajah seolah itu barang langka. Maka pewaris selalu mampu mengubah peta berolah pikir tiap makhluk. Begitu lucu menyadari betapa anehnya manusia dan kemanusiaannya. Tak ada kecuali. Lalu mengapa ketika tak satupun sempurna, harus berujung pada perang memperebutkan nama dan segala atribut semu. Semakin lucu dan aneh untuk kita telan.

Gelas kopi besar ini makin tandas isinya. Raket nyamuk sudah menjadi senjata pembunuh tak berampun dan banyak menjatuhkan korban. Tapi kalimat demi kalimat tak kunjung habis disuarakan. Mungkin ini kelucuan lain yang harus sering-sering kita amini. Karena memang jika suara itu tentang makhluk yang bernama manusia, mata airnya tak akan pernah kering.