Nona yang memang Nona dalam jejak perjalanannya, yang berongga lebar dalam gua gelap tubuhnya. Nona yang membuat rasa asih segera hinggap padanya, bersimpati dengan onak duri yang merajam hari-harinya kini. Mendadak aku menjadi lebih luruh saat mataku menatap tubuh tua di samping si Nona.
Dia adalah Ibu si Nona. Setia menyuapi, menggantikan pakaian dan menunggui dalam baringnya pada sealas tikar tipis di lantai dingin. Bibirnya lantas bercerita tentang apa yang terjadi pada tubuh di pembaringan, tubuh si Nona. Tak ada keinginan mengundang rasa kasihan. Lebih banyak pada keramahan seorang perempuan tua yang penuh rasa terimakasih untuk segala perhatian yang ada. Maka, senyum tipis muncul di bibirnya. Sesaat dia menunduk lagi. Tangannya disibukkannya dengan sendok yang mencari muatan nutrisi, sedikit bergetar.
Kubawakan sebuah cerita pada mereka tentang pemikiran, tentang perasaan, yang saling dibagi dalam aneka surat. Semua tentang kasih pada si Nona. Kusampaikan bait-bait pesan dan salam dari tempat yang jauh. . Mata bundar berbinar untuk semua cerita, pesan dan salam itu. Lalu kulihat, bening airmata mengalir di pipi tua ibunya. Aku berdiri terpaku, mataku perih menahan air yang sama. Aku adalah anak dan aku adalah Ibu , saat ini.
Bersama airmata ibu si Nona, laksana terbawa sebuah legenda. Tentang bayi kecil yang lahir dengan cinta dan hangat air susu. Dan doa-doa serta mimpi yang dihembuskan dalam nafas saat mengecup halus kening di pangkuannya. Tentang bahagia yang dia ingin dapat digenggam sang nona, tapi terpuruk di tengah jalan.
Atau mungkin disana ada perih menatap pria yang hadir mendampingiku. Pria yang belum lagi hadir di samping Nonanya. Dan tentang sebuah rahim yang entah dimana kini. Dan tentang noda berakar di tabung nafas Nona, segala sistem dalam tubuh yang tak berjalan normal lagi. Ada sebersit rasa bersalah menyeruak di kisi hatiku saat harus hadir bersama priaku.
Atau mungkin juga disana ada rasa syukur. Untuk semua cinta tulus yang bersemi mengelus hati sang Nona, cinta para sahabat. Dengan segala belai doa yang dibawa agar Nona bisa tetap tegak menjalani guratan pena Gusti kami.
Yang pasti, bersama airmata itu, ada pinta tak berjawab. Pintanya untuk berada di tempat si Nona, bertukar sakit, duka bahkan nyawa.
Aku adalah anak dan aku adalah Ibu. Airmataku ini untuk rasa terimakasih pada mahadaya cinta Ibu si Nona, Ibuku, dan Ibu siapapun. Kekuatan dan bentangan tanganku, merangkul untuk segala yang mungkin terjadi dan doa untuk buah hatiku.
Tapi mimpiku tadi malam, dihiasi oleh airmata Ibu si Nona Mata Bundar.
Komentar Terbaru