Ibu Si Nona Mata Bundar

29 12 2007
Kulihat lagi dia, si Nona Mata Bundar. Kini dalam pembaringan dan selang-selang asupan berbagai zat yang memegalkan lengannya. Mata bundarnya tak bercahaya meski tak bisa kukatakan luruh juga. Masih ada harap disana. Harap yang membuatnya tampak tegar berdampingan dengan pasrah. Bundar matanya makin bundar manakala datang sosok-sosok yang menghampirinya dengan senyum , doa dan persahabatan.

Nona yang memang Nona dalam jejak perjalanannya, yang berongga lebar dalam gua gelap tubuhnya. Nona yang membuat rasa asih segera hinggap padanya, bersimpati dengan onak duri yang merajam hari-harinya kini. Mendadak aku menjadi lebih luruh saat mataku menatap tubuh tua di samping si Nona.

Dia adalah Ibu si Nona. Setia menyuapi, menggantikan pakaian dan menunggui dalam baringnya pada sealas tikar tipis di lantai dingin. Bibirnya lantas bercerita tentang apa yang terjadi pada tubuh di pembaringan, tubuh si Nona. Tak ada keinginan mengundang rasa kasihan. Lebih banyak pada keramahan seorang perempuan tua yang penuh rasa terimakasih untuk segala perhatian yang ada. Maka, senyum tipis muncul di bibirnya. Sesaat dia menunduk lagi. Tangannya disibukkannya dengan sendok yang mencari muatan nutrisi, sedikit bergetar.

Kubawakan sebuah cerita pada mereka tentang pemikiran, tentang perasaan, yang saling dibagi dalam aneka surat. Semua tentang kasih pada si Nona. Kusampaikan bait-bait pesan dan salam dari tempat yang jauh. . Mata bundar berbinar untuk semua cerita, pesan dan salam itu. Lalu kulihat, bening airmata mengalir di pipi tua ibunya. Aku berdiri terpaku, mataku perih menahan air yang sama. Aku adalah anak dan aku adalah Ibu , saat ini.

Bersama airmata ibu si Nona, laksana terbawa sebuah legenda. Tentang bayi kecil yang lahir dengan cinta dan hangat air susu. Dan doa-doa serta mimpi yang dihembuskan dalam nafas saat mengecup halus kening di pangkuannya. Tentang bahagia yang dia ingin dapat digenggam sang nona, tapi terpuruk di tengah jalan.

Atau mungkin disana ada perih menatap pria yang hadir mendampingiku. Pria yang belum lagi hadir di samping Nonanya. Dan tentang sebuah rahim yang entah dimana kini. Dan tentang noda berakar di tabung nafas Nona, segala sistem dalam tubuh yang tak berjalan normal lagi. Ada sebersit rasa bersalah menyeruak di kisi hatiku saat harus hadir bersama priaku.

Atau mungkin juga disana ada rasa syukur. Untuk semua cinta tulus yang bersemi mengelus hati sang Nona, cinta para sahabat. Dengan segala belai doa yang dibawa agar Nona bisa tetap tegak menjalani guratan pena Gusti kami.

Yang pasti, bersama airmata itu, ada pinta tak berjawab. Pintanya untuk berada di tempat si Nona, bertukar sakit, duka bahkan nyawa.

Aku adalah anak dan aku adalah Ibu. Airmataku ini untuk rasa terimakasih pada mahadaya cinta Ibu si Nona, Ibuku, dan Ibu siapapun. Kekuatan dan bentangan tanganku, merangkul untuk segala yang mungkin terjadi dan doa untuk buah hatiku.

Tapi mimpiku tadi malam, dihiasi oleh airmata Ibu si Nona Mata Bundar.





Antara Hidup dan Hidangan

27 12 2007


Pisang goreng, Kopi atau Milo panas, dan teman berbincang……sore hari, jika beruntung dihembus angin dingin, hujan rintik….

Dari sudut ini, rasanya hidup menjadi lebih mudah dan tak bermasalah………….
Atau,……setidaknya memandang hidup melalui cara ini, bisa lebih mengasikkan……
Ah……waktu berdetik untuk cerita-cerita yang akan kembali mengalir dari paduan itu….





Hanya Ekspresi …..

14 12 2007

Tak hendak banyak berkalimat, hanya berputar dalam waktu……..

SELAMAT IDUL ADHA
SELAMAT TAHUN BARU 2008
sampai bertemu lagi……





Untuk Semua Ceritamu……..

7 12 2007
Besar dalam suasana yang segalanya serba mudah meski tak sangat berlebih, tak terkatakan lagi kenikmatannya. Mungkin itu satu saja cerminan dari ungkapan bahwa semua indah pada waktunya. Waktu yang tak menyisakan lagi sebuah pertunjukan pergulatan akar-darah untuk menjangkau sebuah kemudahan . Tinggal kujilati kematangannya. Tentang pergulatan itu sendiri, dalam masa yang berulang selalu dibisikkan, diteriakkan, dijejalkan, ke telinga mudaku. Di penghujung tiap bisikan itu, selalu ada lagi pesan, bahwa tak ada teori untuk hidup mudah tapi sepanjang masa akan banyak dalil untuk tetap waras dalam susah.

Besar dengan cukup mudah. Yang di dalam ini yang tak terlihat. Kemauan dan kemampuan untuk tegak dalam susah. Bisikan-bisikan tadi meninggalkan doktrinnya disana. Menjadi sebuah alas untuk menerima setiap kejutan, yang disuka atau tidak.

Dan memang merangkak pernah terlewati. Entah sangat entah tidak, pasti tak jelas meter ukurnya, tapi merangkak. Saat satu balita layaknya tersentuh tangan ahli sedangkan lembaran sungguh hanya segelintir. Bulan masih panjang untuk lembaran-lembaran uang itu bertambah. Mulut ini tak pernah ingin menagih welas satu darah atau siapapun. Tertampak tanah sepetak di luar menyembulkan pucuk-pucuk hijau yang bisa menyelamatkan kantong lambung ini. Maka pucuk hijau itu menguatkan niat untuk hadirnya sentuhan tangan ahli di atas tubuh balitaku.

Berkilo kue kecil pernah tercetak, bersetel-setel sandang dalam kemasan, pernah menjadi pegangan. Kiloan dan setelan yang dihamparkan di atas meja berbayar sewa pameran, menanti orang menariknya dalam rengkuhan mereka dan jadi imbalan. Rangkakan itu menjadi lebih cepat dan kadang berjalan pelan. Belahan jiwaku, dia dengan segala kewajibannya di tempatnya. Bahu kami bersisian. Tak menampik welas, tapi mulut tak pernah menagih.

Semua indah dengan yang sudah terberi. Keringat, keluh, airmata, yang ada dalam waktu merangkak dan berjalan tertatih itu, sudah terberi. Begitu yang terpahami. Tak pernah ada kesalahan disana karena begitulah coretan kisah yang harus tergariskan.

Hari-hari ini, cuaca sangat tidak bersahabat. Auranya juga tak cerah. Tiap pagi selalu saja disini terhampiri kabar mendung. Semua sudah sejalan dengan cerita yang sudah tergariskan. Jadi setiap kedipan mata, mengingatkanku tentang sebuah cerita, sebuah episode. Kadang semua datang begitu bertubi hingga tak mengerti lagi bagaimana citarasanya.

Mungkin aku punya tangan kecil disini, untuk kamu sentuh. Mungkin memang tak terlalu lebar, tapi semoga bisa sedikit menegakkan punggungmu. Terserah bagaimana kau merasakan dan mengartikannya. Buatku, lembaran-lembaran kertas yang beredar tak berarti banyak selain kesenangan sesaat. Datang dan pergi dengan cara apa saja. Kamu tahu itu. Tapi tangan yang kupunya ini akan selalu ada. Aku bersama banyak orang yang mau membagi kehangatan dalam telapak tangan ini. Jangan pernah lupa tangan-tangan kami, ketika punggungmu ingin sedikit ditegakkan……..

*Untuk semua cerita yang datang dan membuatku ingin segelas besar kopi…….





Masa Nanti Dalam Pintaku

3 12 2007

Memandang pada kelelapan mata-mata kecil yang nyenyak di hamparan. Tenang….tanpa merasakan beban menggantung. Mereka hanya melemaskan segala otot lelah dan memuaskan kantuk yang menggelayut. Mungkin sekali saat memejamkan mata , tak dipikirkan benar bila waktunya mereka harus menyudahi kelelapan itu dan kembali pada mesin waktu yang terus berputar minta diisi dengan makna.Mereka kekasih-kekasih kecil, yang seringkali tak sadar dengan makna yang diminta sang waktu. Tapi mungkin juga begitu yang ada pada sifat hampir semua kanak-kanak di bumi.

Ibunya, dengan keibuan yang terbatas, hanya duduk memandang. Sesekali mengusap, entah lembut atau tidak. Yang pasti maksudnya pasti membelai penuh kasih, karena lalu dahi-dahi mereka menerima kecup hangat dari rindu yang tak pernah akan hilang. Semuanya diiringi sebuah memori tentang bagaimana dulu kekasih-kekasih kecil itu pertama terdekap dalam pangkuan. Menggali ingatan tentang rasa sakit yang konon pernah ada saat melahirkan mereka ke dunia…..sudah tak mampu lagi diingat bagaimana rasanya. Dan tentang malam-malam yang harus terjaga untuk sekedar mengganti lampin basah atau mencari tahu rasa haus dalam tidur bibir mungil.

“ Gusti, masa nanti seperti apa yang Engkau janjikan bagi para kekasih kecil itu, hanyalah milikMu. Tapi jika boleh ku meminta, janjikanlah pada mereka kehidupan yang cukup baik bagi iman dan harta mereka “

Ibu itu tak pernah mengerti doa yang benar dan sempurna seperti apa yang harusnya ia panjatkan. Karena ia punya banyak angan tentang masa nanti dan kesulitan untuk merangkainya dalam kalimat sederhana. Karena ia takut menjadi terlalu bawel pada Gustinya, sedangkan banyak ibu lain yang juga meminta. Karena ia juga yakin, Gustinya lebih tahu apa yang tersimpan dalam kepala dan hatinya.

Ibu para kekasih kecil yang sangat terbatas keibuannya. Ia tahu lidah sang buah hati ingin masakan yang lebih nikmat dari yang diterimanya dalam paket menu sekolah. Tapi dibiarkannya dengan jawaban, “ yang penting makanan itu bersih dan sehat, dan belajarlah menerima kekurangan”. Kadang kaki-kaki kecil itu sudah berlari mengikuti derap langkah sang kawan, diserukan lagi oleh ibunya nama mereka. Hanya oleh sebab handuk-handuk yang tergeletak tak bertuan di atas pembaringan. “ Apa yang harus dilakukan pada handuk-handuk itu ? “ Ia ingin seperti ibu lain yang begitu memuliakan dan melayani sang kekasih, tapi terlintas dalam benaknya apa yang dia pertaruhkan untuk masa nanti mereka.

Tak sekalipun hatinya merasa sangat benar untuk yang selalu dilakukan pada kekasih-kekasih kecil itu. Untuk hati mereka yang mungkin mengeluh diam-diam. Untuk cibiran orang yang menyebutnya tak berkeibuan. Ia memang terbatas keibuannya. Tapi ia juga selalu bertanya sendiri, adakah ia salah dengan segala rencananya? Dalam ketaksempurnaan lakunya sebagai ibu, ia tengah mendekap. Membelai pucuk kepala. Mengecup dahi. Bercerita tentang sebuah dunia yang tak selalu ramah. Bercerita tentang laku yang seharusnya sebagai seorang manusia. Tentang rasa hormat pada yang lain. Tentang proses menerima yang tak dimaui. Tentang segala yang sempat dia piker harus dikatakan. Dan ia masih memangku sayang meski yang berada dalam pangkuan telah panjang kakinya. Dan mereka tak juga ingin beranjak pergi.

Telah ada satu dua helai warna putih di puncak kepalanya. Mungkin perjalanannya masih jauh separuh hari lagi. Mungkin juga sudah dekat, tak tahu pasti. Juga tak tahu tentang tanah lapang masa nanti kekasih-kekasih kecilnya. Tapi riak harap tak akan mati untuk mereka.