Gadis, Nyonya, Eyang Putri

18 01 2008
Dia perempuan. Wujudnya demikian, secara ilmu anatomi tubuh yang ada, memang sempurna demikian. Secara tidak demikian anatomi, yang bisa diartikan sebagai batin dan segala jeroan dalam dada, juga perempuan. Jadi lengkap dan sempurnalah keperempuanannya, tidak diragukan lagi. Tinggal lagi kalau orang lain mau memandang kata sempurna itu sebagai apa, ini yang bisa berbeda. Maksudku adalah, perempuan itu akan digolongkan sebagai anak-anak, gadis, ibu-ibu, atau eyang putri. Nah, perempuan ini……bisa punya semua level itu, bukan cuma melewati masanya, tapi punya di segala masanya.

Dia menjadi anak-anak, kala satu saat kebutuhan batinnya untuk berlega-lega begitu mendesak. Mungkin dia sedang merasa perih, mungkin dia jenuh, atau apa saja yang kau bayangkan. Bertransfigurasi sejenak menjadi anak-anak adalah kebutuhannya saat itu. Yang sebenarnya, dia sudah bersisian dengan lelaki. Sudah disentuh kedewasaan perempuannya. Alamiahnya yang seharusnya adalah dia lalu akan menjelma menjadi seorang ibu. Nyatanya dia masih gadis, sepanjang definisi itu terbatas dari ada tidaknya janin yang mewujud sebagai bayi dari rahimnya. Sebagian orang memandang sisi ini sebagai tidak sempurnanya penyebutan kata Perempuan tadi. Kenyataannya, ibu bisa ada dalam bentuknya yang tidak kasat mata. Dalam bentuk rasa, pengertian, dan konsep tentang anak. Ini ada pada diri perempuan ini. Lebih lengkap lagi saat kemudian dia seolah seperti ibu tua alias eyang putri ketika dia bicara tentang hidup. Bukan dalam arti sok tahu, tapi ini soal pemahaman.

Kenyataan kemudian membawa langkahnya jauh seperti ditiup angin. Melanglang ke tempat yang tak pernah kujumpai dan tak pernah terbayang bisa kulakukan. Lelakinya selalu di sisinya, tapi jika mesti kesendirian yang bisa ada, maka konsep itu mereka terima apa adanya.

Aku membayangkan sebuah sudut kecil dunia ini, meski dunia tak pernah bersudut. Postcard yang kupunyai dalam kepala memperlihatkan gambar yang dingin. Dingin karena putihnya salju tebal di semua ruas jalan. Dengan pohon tak berdaun yang mempertegas rasa dingin. Dan dingin karena sebuah kesendirian.

Jujur, tak kumengerti adakah postcard-ku itu menyerupai aslinya. Tapi kopi hangat di tanganku, bersandar pada tiang rumah,….ah, seolah itu nyata. Kopi ini tak mungkin dia sesap karena tak mungkin. Tapi lihatlah…..hatinya berjalan kemana dia suka. Bukan tak tentu arah, hanya ingin memperkaya jiwa.

“Kadang aku terisolir, mbak………”, begitu kira-kira ujarmu.

Tidak….kata itu tidak selalu buruk. Hanya saja, jika itu bicara tentang jendela dunia yang harus selalu bisa dibuka tiap waktu, kebutuhannya memang mutlak. Dan saat jendela itu tak selalu bisa dia buka, itu hampir berarti sebuah kesia-siaan untuk impiannya atau langkahnya.

” Beruntung lelakiku adalah lelaki pilihan dari surga. Dia berikan kesendirianku dengan cinta, hingga tak mungkin aku tak kembali…..”

” Lalu apa yang kau cari di sana………apa yang kau lakukan, sulit untuk menjadi gagasan besarku. Aku mengikat sendiri kakiku pada akar, entahlah……mungkin terlalu kecil hatiku. Atau merasa dunia terlalu luas sehingga bisa melelahkanku “

Tiba-tiba kusadari sesuatu. Sesuatu yang sudah kuucapkan seolah menyorongkan wajah ini pada sebuah halaman yang sangat jelas terbaca. Hati. Hatiku dan hati perempuan itu…………miliknya jauh lebih besar daripadaku. Lebih luas, meski kadang dia kurang menyadarinya hingga kebijakan pemahamannya belum sampai pada terminalnya. Yang pasti, dia bernyali dan aku lebih suka membungkus milikku di balik alasan adat.

Jari-jari ini menjadi lebih lentur mengingat gadis ini. Nyonya ini, atau mungkin eyang putri ini. Cermin yang dia berikan padaku melemaskan jari-jariku. Aku bisa bersolek, aku bisa menggoreng, aku bisa meninju, dengan menatap cermin itu. Cermin dunia. Jari-jari yang menulis.

Hai Gadis, Nyonya, Eyang Putri,……hai adik kecil……………belum terlambat aku menatapmu hari ini.