SOETHIL, warung online-ku……

25 08 2008

Apa enaknya memiliki teman?

Dulu sekali pernah kuungkapkan. Berbagi suka duka, itu bahasa yang klise. Tapi mana yang akhirnya bisa dijalani secara nyata, membutuhkan waktu yang panjang untuk membuktikannya. Dan butuh banyak kejadian untuk bisa merasakan apakah mereka selalu hadir di sisi kita.

Keberanian….adalah satu hal yang sangat butuh pendorong dari orang-orang terkasih untuk mewujudkannya. Teman, ada di antaranya. Dan keberanianku yang tak kunjung datang untuk mencoba berdiri, saat ini sedang membutuhkan dorongan itu. Syukur, teman-temanku yang terkasih memberikan hal itu. Membangkitkan semangatku. Meyakinkan aku untuk berani melangkah. Untuk apa?

Aku ingin memulai langkah baru, kegiatan baru. Melakukan apa yang aku mampu dan biasa kulakukan sehari-hari sembari menanti kekasih-kekasihku kembali dari kantor atau sekolah. MEMASAK! Dan kutawarkan pada teman-teman yang lain untuk ikut menikmatinya. Dan begitulah teman-temanku mendampingi dan menghidupkan keberanianku.

Akhirnya, mulai hari ini, aku buka Warung Online, yang kunamai “SOETHIL”.

Kata Soethil itu diambil dari bahasa Jawa yang artinya adalah Sodet atau alat untuk menggoreng. Sebuah senjata untuk mengolah masakan, selain penggorengan, panci, talenan dan sebagainya. Dan mengapa kata dalam bahasa Jawa yang kupakai? Karena aku fokus memasak makanan Jawa terutama Jawa Timur, dan ingin selalu dekat dengan akar budayaku sendiri. Ketika aku merasa berada “di rumah”, aku ingin mereka yang menikmati masakanku pun merasakan hal yang sama.

Maka…..jangan ragu untuk menikmati olahan Soethil-ku. Kapan saja anda menginginkan rasa masakan Jawa Timur, hubungi saja aku. Terlebih di saat kesibukan begitu mendera dan tak sempat lagi mengolah masakan sendiri. Angkat telpon, atau PM ….sehari sebelumnya!

Terimakasih untuk pemesanannya…..hehehehhe





Mencari Kata Bersuara

25 08 2008

Ada sesuatu hal yang membuatku menjadi gelisah, gamang, ….menyita pemikiran. Dalam kisaran waktu dua tahunan mencumbui internet, masih saja aku mengaduk-aduk isi kepala dengan berbagai pertanyaan selayaknya orang yang takjub akan kebaruan. Masih membahas dengan diri sendiri tentang apa yang ada disini. Masih sering menggelengkan kepala.

Sesuatu tampaknya menggerogoti diri. Kemauan untuk berlisan, yang semakin hari semakin memudar. Dan keakraban dengan huruf yang makin menjadi. Ketika aku sanggup menerbitkan gagasan cemerlang untuk menimbulkan keriaan dari masa lalu, pangkal tolaknya adalah juga disana. Barisan huruf dan kontak. Permasalahan yang kemudian timbul di dalamnya, terselesaikan juga dengan huruf. Menata hati lebih baik untuk bisa menghasilkan isi ungkapan yang bermakna dan minim emosi. Jika kemudian harus bertemu? Tampaknya masalah lalu hilang dan tidak nyata karena tak satu katapun terucap untuk membuat segalanya lebih baik. Hanya senyum dan mimik muka yang kemudian mengartikan sebuah jawaban,” Lupakan saja…”

Berkutat di dalam dinding-dinding ini seorang diri, menghadapi panas api dan segala peralatan elektronika pengusir jenuh. Kabel telepon tidak lagi menarik minat karena tak mampu kutulis huruf disana. Mungkin satu yang kutakut ketika harus bercakap, aku habis kata sedang wajahku tak bisa terbaca. Akankah kubiarkan hening menjalar di arus itu?

Bukan aku tak mau berkata. Tapi satu hal yang tak bisa kulakukan, aku tak pandai merangkai kata manis. Hanya kepada mereka yang mampu menangkap lugaskulah lidah ini suka menari. Jika dulu aku sedih, kini aku masygul. Ngeri dengan kecenderungan yang makin mengentalkan diam ini.

Apakah memang begini sifat dunia kata ini? Mestinya juga tidak, ketika kita memiliki hal lain yang membuat kaki melangkah keluar sana. Mestinya tidak, ketika kita memiliki kebijaksanaan untuk memilah hal yang mengancam kemanusiaan kita dari hal lain yang menutupinya dengan dunia. Mestinya juga tidak, karena kusaksikan banyak celoteh masih terlontar dengan bebas, dan aku akupun masih senang menemui sesama.

Tapi apa yang kurasakan menggerogoti dan membuatku sedikit menjauh ini mungkin sebuah pertanda. Ketika aku  menyadari  harus menciptakan lagi hal lain. Memikirkan lagi kegiatan lain yang tidak membuatku terlalu intim dengan huruf saja. Mungkin ini saatnya kakiku melangkah lagi di pintu yang lain, yang mampu mengusir kegundahanku akan kesendirian. Dan membuatku berkata-kata dalam suara lagi, bukan hanya bersembunyi di belantara huruf.





Hari-Hari Ini…..

8 08 2008

Hari-hari ini…..

tak ada konsentrasi untuk menterjemahkan pikiran dalam huruf,

tak ada keinginan untuk duduk disini lama-lama,

tak ada waktu untuk mengunjungi aneka tulisan menarik………

aku pasti rindu kalian…….dan ingin mengenal lebih dekat teman baru yang mengulurkan tangannya tanpa sempat tersambut………maafkan saya…….





Lidah dan Kata-katanya

2 08 2008

Duduk dengan segelas besar kopi di balkon, setelah sekian lama………mencoba melihat alam dengan segala perangainya. Aku masih bisa menatap sore yang perlahan datang merangkak dan menjauhkan mentari dari tahtanya di muka sana. Aku percaya, dia akan berganti dengan merahnya rembulan. Aku percaya, sang rembulan akan datang dengan ditemani para bintang. Atau, jika dia ingin menjadi soliter maka tak diajaknya serta mereka para bintang itu. Aku menatap.

Alam, masih bisa kupercaya. Segala rutinitasnya tak sulit untuk diramalkan kapan pagi dan malam akan menjumpaiku. Alam masih bisa kupercaya, meski kini kadang dia juga sering ingkar untuk janjinya membawa hujan atau matahari. Dan ketika ingkarnya ada, aku harus bertanya adakah dia berdosa sendiri, salah sendiri ? Tidakkah aku pernah mencederai hadirnya dia dengan segala kesenanganku sendiri dan mengabaikan alamku ? Aku harus banyak bertanya lagi pada diri.

Maka kini, aku juga cuma berdiam ketika berhadapan dengan makhluk. Alam yang tak berindra pun mampu menunjukkan dendam yang memaksa dia berkhianat, kenapa tidak dengan makhluk. Dia bermulut, bertangan kaki telinga dan juga berkekuasaan untuk menjangkau kemana pun. Apa yang kutulis, bisa ditulis ulang. Apa yang tersebutkan mulutku, bisa terucap kembali oleh mulut lain. Mulut lain dengan lidah lain, kosa katanya berbeda dengan kosa kataku. Mungkin barisan katanya lebih kaya dan lebih panjang. Dan telinga lain, juga memiliki bulu halus berbeda yang kuasa cengkeram suaranya tak sama.

Ketika apa yang kupendam sempat kusuarakan, maka dia tak pernah lagi menjadi pendaman. Tak ada lagi urusan pribadi. Tinggal aku harus menghitung waktu kapan suratkabar mungkin menerakannya di halaman muka. Salahkah mereka? Dalam nilaiku, mungkin itu dosa besar. Dalam keyakinan mereka yang mengabarkan pada dunia, semuanya adalah harta dunia gemerlap dan menarik hati. Jika demikian, bisa apa? Tak ada. Aku cuma memiliki sesal, pelajaran dan pemakluman. Lebih baik menyematkan salah itu pada dada sendiri ketimbang harus menempuh onak duri perlawanan yang tak ada guna. Menempatkan pendaman yang terburai itu sebagai sumbangsih kata saja pada dunia, tak kurang tak lebih. Amal jariah istilah sepelenya. Dan harus kuhadapi jalan terjal di muka sebagai bayarannya.

Kopi ini masih tersisa. Aku masih memandang sore yang berganti malam. Mengingat barisan kata yang semestinya tetap menjadi pendaman, namun kini terburai. Oleh lidahku sendiri. Kalau alam mampu berkhianat di masa kini, maka lidah sudah lebih berpengalaman melakukannya. Dan aku dengan kopiku, mempersiapkan itu sekarang. Tanpa perlu penyesalan kecuali mengerti naluriahnya. Aku mampu melakukannya. Aku tahu, banyak orang juga harus mampu melakukannya. Juga KAMU………kita yakini saja kepercayaan itu sebuah kemewahan tiada tara.