Atau, ada pula seorang kerabat yang dimasa emasnya dulu selalu membuka pintu rumah dan menyediakan ruangan kosong untuk para kerabat yang membutuhkan naungan untuk waktu lama. Segala daya, tenaga, hati, pikiran hingga materi yang mampu diusahakan juga diberikan. Hingga tiba saatnya orang yang bernaung itu mandiri dan mulai mantap untuk terbang tinggi. Lalu tak ada lagi jalinan komunikasi rutin. Dan di saat orang yang terbang tinggi ini bertugas di dekat rumah induk semangnya dulu, ia bahkan tidak sedikitpun menghubungi apalagi datang untuk melihat kesehatan sang induk semang. Padahal hubungan darah itu jelas ada. Tapi seolah tak diakuinya lagi kenyataan itu, karena ia lebih senang bertandang pada orang lain yang lebih diperlakukannya sebagai keluarga. Apakah yang lalu pantas untuk dirasakan dan dilakukan pada orang yang pernah diberinya naungan?
Untuk kedua cerita itu, bagiku tentu tak bisa dijelaskan secara logika manusia. Karena dalam situasi seperti itu, kemanusiaan kita dengan jiwa yang sudah diberikan oleh Tuhan kitalah yang memproses semuanya. Ketika rasa sakit di hati ini memuncak, mungkin memang tidak seharusnya kita balaskan dengan sukacita dendam membara. Aku lalu mendengar seorang kerabat mengatakan bahwa kepasrahan dirinya pada Tuhan dan penyerahannya yang begitu dalam kepada Yang Kuasa atas apa yang sudah dilakukan dan apa yang sudah dia terimalah yang bisa lebih membuat dia bahagia. Ungkapannya membuatku sungguh tercenung. Kata dia, ketika hatinya yang sakit ini lalu tersembuhkan dengan segala keikhlasan itu, semuanya menjadi terasa sangat indah dan damai. Dan aku ingin mendapatkan segala keindahan seperti yang diceritakannya. Memandang rasa sakit akibat perbuatan orang lain pada kita sebagai sebuah sarana untuk kita membahagiakan diri, bukan hal yang mudah. Tapi pasti bisa dicoba lakukan, karena seperti kata seorang teman, bahwa kebahagiaan kita ada di tangan kita sendiri.
Membersihkan jiwa kita dari segala rasa sakit dan dendam adalah satu kunci untuk mencapai rasa bahagia. Dan biarlah selebihnya kita serahkan pada Yang Maha Adil untuk membantu memberikan solusi pada permasalahan yang tidak bisa kita selesaikan sendiri. Maka ketika kucoba lakukan pada masalah kecil yang pernah kuterima beberapa waktu lalu, kini mungkin waktunya kuterima indahnya. Tanpa perlu kami memutuskan apa yang harus dilakukan, tanganNya sudah menolong kami menjauhkan masalah itu dari pikiran kami. Ini bukan masalah ketidaktegasan, tapi kami selalu berdoa agar lidah kami tak melukai hati orang itu meski dengan untaian kata sehalus sutra. Semoga saja tangan, kaki dan mata kami pun tidak melukainya. Kini, akan selalu kucari teman dan kerabat yang senantiasa menemani hari-hariku yang entah sampai kapan ini, dengan pelajaran tentang keindahan untuk memperkaya hati ini.
Komentar Terbaru