Keindahan Ketika Kita Percaya

28 04 2007
Sambil mengamati lalu lalang para tukang hilir mudik pada teriknya siang hari ini, pikiranku mengembara tak beraturan. Mengembara, demi melihat begitu berbedanya sikap dan pemikiran tiap orang meski berasal dari satu rumpun keluarga yang sama. Ada banyak orang bersamaku yang masing-masingnya membawa sifat dan kepribadian sendiri. Dan dalam interaksinya apa yang menjadi pembawaan masing-masing itu menimbulkan aksi – reaksi yang tidak selalu logis untuk dipikirkan. Mengapa demikian? Coba saja pikirkan, ketika seorang yang dulunya seringkali bahkan tidak memandang sebelah mata pada kita untuk sebuah alasan yang hanya dia seorang mengetahui, kemudian sontak datang mendekat untuk alasan permintaan tolong. Secara logika, kita tentu tidak ingin menerima dia begitu saja tanpa pemikiran adanya “udang dibalik batu”. Dan hal logis yang menyertai pemikiran itu, kita tentu juga akan enggan mengulurkan tangan hanya demi sebuah ego dan rasa sakit hati yang sulit tersembuhkan. Tapi toh, demi berbagai pertimbangan, tangan kita akan tetap terulur sedapatnya. Lidah lalu kelu untuk bisa mengeluarkan makian, berganti dengan anggukan kepala.

Atau, ada pula seorang kerabat yang dimasa emasnya dulu selalu membuka pintu rumah dan menyediakan ruangan kosong untuk para kerabat yang membutuhkan naungan untuk waktu lama. Segala daya, tenaga, hati, pikiran hingga materi yang mampu diusahakan juga diberikan. Hingga tiba saatnya orang yang bernaung itu mandiri dan mulai mantap untuk terbang tinggi. Lalu tak ada lagi jalinan komunikasi rutin. Dan di saat orang yang terbang tinggi ini bertugas di dekat rumah induk semangnya dulu, ia bahkan tidak sedikitpun menghubungi apalagi datang untuk melihat kesehatan sang induk semang. Padahal hubungan darah itu jelas ada. Tapi seolah tak diakuinya lagi kenyataan itu, karena ia lebih senang bertandang pada orang lain yang lebih diperlakukannya sebagai keluarga. Apakah yang lalu pantas untuk dirasakan dan dilakukan pada orang yang pernah diberinya naungan?

Untuk kedua cerita itu, bagiku tentu tak bisa dijelaskan secara logika manusia. Karena dalam situasi seperti itu, kemanusiaan kita dengan jiwa yang sudah diberikan oleh Tuhan kitalah yang memproses semuanya. Ketika rasa sakit di hati ini memuncak, mungkin memang tidak seharusnya kita balaskan dengan sukacita dendam membara. Aku lalu mendengar seorang kerabat mengatakan bahwa kepasrahan dirinya pada Tuhan dan penyerahannya yang begitu dalam kepada Yang Kuasa atas apa yang sudah dilakukan dan apa yang sudah dia terimalah yang bisa lebih membuat dia bahagia. Ungkapannya membuatku sungguh tercenung. Kata dia, ketika hatinya yang sakit ini lalu tersembuhkan dengan segala keikhlasan itu, semuanya menjadi terasa sangat indah dan damai. Dan aku ingin mendapatkan segala keindahan seperti yang diceritakannya. Memandang rasa sakit akibat perbuatan orang lain pada kita sebagai sebuah sarana untuk kita membahagiakan diri, bukan hal yang mudah. Tapi pasti bisa dicoba lakukan, karena seperti kata seorang teman, bahwa kebahagiaan kita ada di tangan kita sendiri.

Membersihkan jiwa kita dari segala rasa sakit dan dendam adalah satu kunci untuk mencapai rasa bahagia. Dan biarlah selebihnya kita serahkan pada Yang Maha Adil untuk membantu memberikan solusi pada permasalahan yang tidak bisa kita selesaikan sendiri. Maka ketika kucoba lakukan pada masalah kecil yang pernah kuterima beberapa waktu lalu, kini mungkin waktunya kuterima indahnya. Tanpa perlu kami memutuskan apa yang harus dilakukan, tanganNya sudah menolong kami menjauhkan masalah itu dari pikiran kami. Ini bukan masalah ketidaktegasan, tapi kami selalu berdoa agar lidah kami tak melukai hati orang itu meski dengan untaian kata sehalus sutra. Semoga saja tangan, kaki dan mata kami pun tidak melukainya. Kini, akan selalu kucari teman dan kerabat yang senantiasa menemani hari-hariku yang entah sampai kapan ini, dengan pelajaran tentang keindahan untuk memperkaya hati ini.





Selama Semen dan Las Besi Ada

22 04 2007
Apa yang mengelilingiku selama beberapa waktu ini? Semen, besi-besi, suara bising las besi, debu, dan…..keluarga yang datang dari Malang. Kebetulan ada libur sekolah karena terpakai keperluan ujian akhir SD / SMP, maka kami berkumpul. Jadi…lengkap sudah alasan untuk jarang mengunjungi teman-temanku. Komputer selalu online, tapi pemegangnya sudah berbeda dan aku datang hanya untuk mencari informasi lain yang dibutuhkan dalam proses perombakan ini. Kesempatan siang ini kala semua asyik menikmati kue brownies buatanku, aku lari hanya untuk memuat foto-foto ini. Tapi tahukah teman…..meski sangat ramai dan cukup repot, semua ini tetap terasa indah bagiku. Semua adalah rejeki bagiku yang sangat patut untuk dinikmati.




Bakal Sering Mbolos !

17 04 2007

Setelah diusahakan semampunya untuk tetap hadir dan berkeliaran di rumah-rumah para tetangga sesama blogger, akhirnya aku pilih menyerah. Untuk beberapa lama, keaktifanku akan jauh berkurang di halaman ini. Semuanya karena posisiku yang mendadak menjadi ” kontraktor” gadungan, seiring dengan keperluan pondok kami ini untuk sedikit dipercantik penampilan dan dilengkapi kebutuhannya.

Aku akan rindu kehangatan di ruang-ruang ini, maka akan kusempatkan mengintip sedikit jendela rumah teman-temanku jika mungkin. Bahkan siapa tahu ada beberapa menit untuk kuhidangkan suguhan bagi siapa saja yang bersedia menjengukku disini. Tapi jika tidak pun, kuingin semua kerabat paham dimana aku. Aku ada disini dengan kepala berat dan pinggang yang ikut menderita, karena tak sempat berolahraga malah harus menjadi penyedia logistik bagi para pekerja. Maafkan juga andai ada sapaan tak berbalas karena keadaanku ini. Tapi akan kudesak para pekerja itu agar semuanya kembali normal dalam waktu cepat.

Temanku, maafkan aku jika para administrator ini akhirnya absen semua. Percayalah, akan kusempatkan melihat jika ada laba-laba membangun sarangnya di rumah kita, meski tak mungkin untuk menengoknya sesering biasanya.

Oh……semen-semen ini menutupi udara bersihku …….





Surat Untuk Hany, Pokoknya Bukan Kopi Darat….

15 04 2007
Photo Sharing and Video Hosting at PhotobucketPhoto Sharing and Video Hosting at PhotobucketPhoto Sharing and Video Hosting at PhotobucketPhoto Sharing and Video Hosting at PhotobucketPhoto Sharing and Video Hosting at PhotobucketPhoto Sharing and Video Hosting at Photobucket
Memang Sabtu kemarin terjadi sebuah pertemuan antara dua orang ibu yang salah satu pekerjaannya saat ini adalah blogging. Tapi aku memaksa untuk tidak menyebutnya sebagai kopi darat. Selain masih merasa kurang akrab dengan istilah ini, alasan lain yang lebih kuat adalah dua orang ini sebenarnya teman lama. Teman dari SMA Negeri yang sama di Kayumanis sana, meski salah satunya dulu kurang mengenali teman satunya, padahal dia sendiri dikenal oleh teman kencannya itu. Beruntung ada banyak sarana untuk mempertemukan mereka kembali, sehingga rasa rindu pada sekolah itu terobati.

Seperti berbagai hubungan yang sudah lama terpisah, ketika akan terjadi pertemuan tentu di dalamnya mengandung missing link yang bisa membuat hubungan itu seolah dibangun dari awal lagi. Tapi, hal itu bukan masalah besar yang perlu dikhawatirkan. Jadi untuk temanku Hany, ” aku dan Yuli sama sekali tidak memikirkan apa yang akan diobrolkan. Nyatanya Han….kami berdua seru sekali bicara. Bahkan sampai sedikit lupa dengan anak-anak yang menyertai dan kami biarkan bermain sendiri. Sayang memang kamu tinggal begitu jauh di seberang. Andaikan ada, mungkin hasil foto-foto ini akan jauh lebih baik hasilnya.”

Ada satu keistimewaan Yuli ini. Dia memang pandai sekal membuat kue-kue cantik, cake ataupun cup cake, bahkan sudah banyak menerima pesanan. ” Dan lagi-lagi Han….seperti YM on sms yang kukirimkan sewaktu Yuli harus mengurusi Ezra sejenak….dia benar-benar menghadiahi aku dengan hasil karya yang cantik dan….enak ! Oke, mungkin kita sarankan saja supaya dia berkreasi lagi dengan cupcake rasa gurih supaya kamu bisa memiliki pilihan selain rasa manis. “

Dan untuk Ezra si kecil, dia memang pecinta kaktus sejati. Sementara teman ibunya ini menikmati kue buatan ibunya hingga tak sadar menempel pula sisanya di gigi, Ezra sibuk berfoto dengan gaya kaktus itu. Lucu ! Ari dan Rayi sampai kagum dengan minat dia itu dan mendoakan agar Ezra bisa menjadi ahli kaktus nantinya.
Oh ya Han….memang aku dan Yuli ingin bebas bicara. Tak perlu ada gangguan dari lelaki-lelaki dewasa yang begitu mencintai kami. Jadi untuk beberapa jam itu, para suami itu kami sibukkan dengan kegiatan lain saja di rumah. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ayah Ezra. Tapi Uban…..kubiarkan dia di atas genteng !





Pikiranku Melayang

10 04 2007
Aneh…..ketika akhir-akhir ini pikiranku melayang jauh pada satu masa.
Nanti. Jauh nanti. Atau mungkin juga dekat. Yang kita semua tidak
pernah tahu kapan. Andai masa itu datang…..

Mungkin aku belumlah siap. Terlalu banyak warna hitam di kuku jari ini,
yang selalu lupa kuusap, bahkan kutambah lagi hitamnya. Lalu ayat-ayat
suci sesekali kulantunkan…apakah cukup? Karena saat malam akan
kututup mata ini dan kurebahkan diri, tak henti kutanyakan apakah akan
kulihat mentari lagi. Dan hatiku semakin kecil manakala kumerasa, bekal
ini belum lagi cukup. Lalu kapan akan merasa siap…aku harus rajin
melihat diri ini. Tangan, kaki,…karena merekalah yang akan bicara
nanti…..





Bekal Untuk Mereka

10 04 2007
Caraku mendidik anak-anakku mungkin tergolong tidak terlalu baik. Untuk mereka-mereka yang berperangai halus dan memiliki gambaran tentang sosok ibu yang katanya lemah lembut, aku pastilah tidak akan terhitung di dalamnya. Tanya saja kepada kedua kekasih kecilku itu betapa sebalnya aku jika melihat mereka menangis untuk sesuatu yang menurutku tidak perlu ada airmata. Bahkan untuk Rayi yang seringkali menjadikan tangisan sebagai senjata peluluh hati orangtuanya, akan kukatakan bahwa tidak akan ada harapan baginya untuk aku mengabulkan permintaannya dengan cara menangis, kecuali dia mau bicara dan berdiskusi denganku. Oh ya, mungkin itu karena mereka laki-laki semua. Tapi sebenarnya, hal itu juga kuterapkan kepada anak perempuan. Keponakan-keponakanku yang perempuan, akan mendapat sikap yang sama dariku jika mereka menangis untuk sesuatu yang tak perlu ditangisi. Akhirnya mereka belajar untuk tidak berlaku cengeng di hadapanku kecuali sangat terpaksa.

Untuk bacaan dan tontonan, aku hampir tidak menghalangi mereka kecuali untuk kategori sangat dewasa. Jika yang kami saksikan di tivi adalah adegan-adegan tak pantas dari sebuah sinetron yang makin tak bermutu, tempelengan atau intrik-intrik untuk menjatuhkan kawan, maka kami akan mendiskusikannya sambil sesekali tertawa. Jika si sulung meminta ijin untuk ikut membaca novel kami yang menurutnya ditulis secara baik, kami juga akan mengijinkan. Di dalam novel itu, kami tahu ditulis juga adegan percintaan yang belum bisa menjadi konsumsi anak seusia dia. Kami ingin tahu saja, apa reaksi dia. Dan ketika kami tanya tentang bab yang menuliskan adegan percintaan itu, dia akan dengan santainya menjawab, ” aku kan tidak harus membaca yang tidak perlu, jadi bagian itu bisa aku lewati…” Selebihnya, dia kini bahkan mulai menikmati buku atau novel berbau politik. Apakah semua ini berdampak buruk nantinya, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah betapa dunia ini berkembang cepat dan semakin keras dibandingkan masa kanak-kanakku. Dan aku ingin mempersiapkan mereka dalam menghadapi hidup yang tidak mudah ini lebih awal, karena saat ini apapun bisa terjadi pada kaum mereka. Tapi di balik kata-kata kerasku kutitipkan juga sebuah belaian untuk mereka, agar mereka tidak kehilangan hatinya dalam menghadapi kerasnya dunia ini.

Maka, aku menjadi sangat tertegun mendengar berita media yang menyebutkan adanya anak yang meninggal di dalam sekolahnya sendiri. Bukan…bukan kekerasan macam itu yang dibutuhkan oleh mereka. Anak-anak ini harus tangguh, tapi tidak menjadi kejam. Mereka harus siap dalam segala situasi, tapi jangan kehilangan rasa. Mereka harus mengerti bahwa kekerasan itu pasti ada, tapi bukan untuk orang yang punya kasih dan cinta. Maka pastilah anak-anak yang melakukan kekerasan pada temannya sendiri, memiliki lubang besar yang tak tertutup di dirinya. Lalu aku sebagai orangtua, menilik lagi….mungkin kesalahan terbesar ada pada orangtua. Karena orangtua berperan besar dalam pembentukan anak-anaknya. Dan menutupi lubang dalam diri mereka tidak cukup hanya dengan jeruji penjara. Karena mereka pasti tidak mengerti apa yang salah dengan sikap mereka.

Lalu aku menjadi takut sendiri. Karena aku juga tidak mengenal kelembutan maka tak ada kelembutan untuk kekasih kecilku. Tapi aku punya cinta untuk mereka, yang kuharapkan bisa mereka rasakan dan mereka gunakan untuk menutupi lubang dalam dirinya, andaikan ada mereka rasakan lubang itu. Sementara itu, hidup ini masih akan berjalan terus. Dan kekasih kecilku masih akan harus menempuh jauhnya belantara dunia dengan bekal yang mereka dapatkan dari rumah ini. Maka dengarlah ketika salah satu bekal itu disampaikan pagi tadi,
” Mas Ari sama Adek, nanti pulang sekolah lihat kemana saluran air yang sedang dibuat itu mengalir. Besok-besok kalau ada masalah disana, kalian harus tahu kemana mencari sumbernya….”





Teori Jodoh, Apakah Ada ?

10 04 2007
Banyak mitos beredar yang men-teori-kan jodoh tidaknya sepasang manusia yang memadu kasih dan kemudian menikah. Salah satunya adalah mitos kemiripan wajah. Konon, jika sepasang kekasih memiliki wajah mirip, maka mereka berdua adalah jodoh yang telah dipilihkan Tuhan untuk bersanding. Benar tidaknya aku tidak tahu karena sebagian diriku mempercayai dan sebagian lainnya mentertawakan. Percaya karena bisa saja hal itu terjadi melihat bukti-bukti di lapangan seringkali menunjang teori. Mentertawai karena bisa runyam akibatnya jika orang tidak kunjung menikah hanya karena alasan belum bertemu pasangan yang mirip wajahnya dengan dirinya. Atau lebih parah mungkin, jika merasa memiliki kemiripan wajah dengan seseorang lantas langsung dilamar dan dijadikan istri tidak perduli di belakang wanita itu berdiri suaminya dengan kumis melintang dan golok di tangan. Dalam hal ini semuanya cuma misteri Tuhan yang ingin menyelipkan sedikit humornya bagi manusia sesuai penafsiran masing-masing.

Teori lain, katanya sepasang suami istri adalah belahan jiwa bagi masing-masing pasangannya. Pemahamannya tentu perlu penghayatan dan pengertian yang lebih dalam. Mungkin juga untuk memahaminya memerlukan bukti-bukti nyata yang bisa dirasakan tiap pasangan, agar tidak berhenti sampai di slogan semata. Dan aku tahu tidak mudah melihat satu atau beberapa kejadian untuk kemudian merumuskannya sebagai bukti dari slogan belahan jiwa itu. Ah, hari ini aku sangat ingin bergurau dengan segala sesuatu yang biasanya dilihat secara serius. Soal belahan jiwa ini….artinya tiap orang hanya memiliki separuh saja dari hati atau jiwanya dan hanya bisa utuh jika bertemu jodohnya. Lalu mereka-mereka yang terus melajang, kapan akan menjadi utuh? Dan yang beristri banyak…ah, kasihan sekali ternyata hatinya sebenarnya berkeping-keping. Seharusnya teori ini lebih mudah dimengerti untuk menerima konsep poligami daripada pembenaran secara agamis. Karena pasti tiap orang akan merasa iba dengan orang yang hatinya berkeping-keping dan berusaha membuat utuh. Tapi kenapa yang tak utuh itu malah berdakwah?

Ah sudahlah, tak jelas arah penerawanganku ini. Memang ini hanya penerawangan pengisi waktu kosong. Dan dalam waktu kosong beberapa jam ini, aku cuma melihat yang terjadi pada diriku. Aku orang yang tak sabaran, kulihat Uban adalah orang yang 95 persen lebih sabar menghadapi masalah, orang-orang dan diriku juga. Uban adalah orang yang sangat kurang nilai kebersihan di rapornya, aku sangat memperhatikan soal ini hingga seringkali kesulitan juga datang, duduk terlebih menginap di tempat lain. Aku tidak suka bertanam karena disana tersimpan cacing-cacing yang membuatku lari kalang kabut, Uban akan dengan senang hati mengaduk-aduk tanah memperbaiki penampilan halaman kami. Perpaduan soal kebersihan dan kesediaan bergaul dengan kotoran ini, lalu membuat pembagian tugas jadi lebih jelas bahwa pembuang sampah rumah ke penampungan depan rumah dan mengganti plastik sampah adalah bagian Uban juga dan aku sebagai pengontrolnya. Uban tak punya banyak waktu untuk menyelesaikan tugas kuliah, aku selalu menagih makalah apa yang mungkin harus kucari di internet ataupun kuketik dan cetak untuk dikumpulkan.

Semua itu, bukan lagi teori untuk kami mengatakan mengapa kami berjodoh. Bisa kubayangkan bagaimana para malaikat akan pusing jika cacing, sampah dan kebersihan rumah kami tidak diurus hanya karena kami berpembawaan sama. Juga malaikat yang mengikutiku pasti akan stress jika tak ada Uban yang menenangkanku. Maka biarlah usia kami terpaut begitu jauh, asalkan hidup kami menjadi lebih lengkap karenanya. Hanya satu yang aku tidak mengerti. Ketika kami belum lagi menjadi kekasih, ada satu peristiwa kecil mengejutkanku. Aku sedang mendengarkan lagu Hello milik Lionel Richie melalui headphone walkman. Uban entah dimana melanglang sendiri dalam keperjakaannya. Tiba-tiba untuk beberapa detik, Lionel Richie tidak lagi bernyanyi, berganti dengan panggilan namaku sendiri dalam suara milik Uban. Lalu esok harinya saat bertemu, kutanyakan pada Uban apa yang dilakukannya tadi malam pada jam aku mendengarkan lagu itu. Katanya,…..” Aku keliling kota naik motor, dalam keadaan kesal dan berteriak manggil kamu……..” Air mataku menitik, dan ini bukan teori.





Beda badan

5 04 2007

Melihat-lihat koleksi foto yang kusimpan di berbagai tempat, kutemukan lagi foto ini. Aku dan satu teman blogger, Tata, yang satu waktu bertemu tanpa direncanakan. Kuingat-ingat apa yang menarik dari cerita-cerita yang mengalir di antara kami. Dan kami jadi tertawa sendiri karena dua hal.

Setelah menelusuri keseharian kami sebagai latar belakang pengetahuan untuk saling mengenal satu sama lain, ternyata kami mengenal satu orang yang sama. Tata ini, bekerja di Kalimantan dalam naungan sebuah perusahaan minyak. Dari sanalah, kucoba mencari tahu segala sesuatunya, karena perusahaan itu terdengar cukup akrab bagiku. Dan benar, disana dia mengenal seorang wanita yang ternyata tanteku sendiri. Wanita yang kerap diajaknya bercerita dan bergurau ketika tiba jadwalnya berkunjung ke kantor pusat. Dan menjadi ramailah suasana ketika akhirnya tanteku itu berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu. Dan semakin bising, karena teriakan suara obrolan kami di dalam dunia yang semakin sempit ini . Berlebihan sekali…tapi memang dunia semakin sempit.

Hal lain yang membuatku tertawa, adalah ketika sekali lagi kupandangi foto itu. Satu hal yang berusaha kulupakan dan tidak kupikirkan. Diriku ini ternyata kecil sekali, terlebih jika harus bersanding dengan orang seperti Tata ini. Aku langsung teringat alasan ketika dulu teman-teman kuliahku yang kebanyakan lelaki itu sering sekali beramai-ramai menggotong badan ini dan ‘dibuang‘ ke tong sampah besar di sudut kampus. Terlebih saat dulu, aku pastinya lebih kurus dibanding saat sekarang. Mungkin mereka takut aku akan terinjak-injak oleh lalu lalang orang di kampus sehingga lebih baik diamankan saja. Maka, mungkin sekarang akupun harus hati-hati berbicara dengan Tata, jika tidak ingin diperlakukan yang sama dengan satu tangan saja.

Banyak hal lucu pula yang aku bagi berdua dengan Tata, berkait perbedaan badan kami yang begitu mencolok. Dan selalu tawa itu berasal dari pandangan salah orang-orang di sekeliling kami. Tapi kami tetap bersyukur dengan kondisi yang kami miliki. Terlebih jika dipikirkan lagi, sebenarnya banyak pula keuntungan yang kami masing-masing dapatkan. Tata selalu diperlakukan hati-hati di tempat umum karena dikira sedang hamil dan membutuhkan perhatian khusus. Sedang aku……lebih banyak dipanggil ‘ mbak ‘ daripada ‘ ibu ‘ meski usiaku beberapa tahun lebih tua dari Tata, yang ketika berjalan-jalan dengan suaminya pun disangka orang sedang menggandeng anaknya.

Jadi Ta,.. rupanya aku tampak awet muda….” ..ouch!!….ampun Ta…nggebuknya kekencengan !”





Yang Asli

3 04 2007
Rutinitas. Suka atau tidak, lilitan itu dijalani hingga pada titik tertentu menjadi jenuh. Bosan, meski setiap hari bepergian untuk bekerja. Dan menjadi tidak heran manakala beberapa orang bicara tentang bosan di mana-mana, meski dalam nuansa yang beraneka macam. Lalu aku menilik diri ini dan bertanya, seberapa sering kau rasakan itu?

Setiap jam 4 pagi bangun tidur dan mematikan alarm yang sudah kutunggu deringnya sejak satu hingga setengah jam sebelumnya. Menyiapkan kopi dan sarapan dan pekerjaan rumah lain, hingga kemudian kudapati diriku berada sendiri lagi di rumahku. Tanpa teman, tanpa suara, kantuk yang tak bisa lagi dibawa tidur. Langit belum lagi terang, tapi aku sudah sendiri. Maka, kehadiran teman maya, yang dulu kuhindari bahkan hingga kini masih sedikit kubatasi, justru kurindukan. Dan ada yang hilang ketika dirinya tak hadir…*miss you, Nek! thanks for calling me..*

Siang datang, hariku lebih ceria dengan aneka sapaan. Berbagai bentuk percakapan mengalir, entah cerita, canda, umpat dan maki tanpa arti, kadang konsultasi kecil para keponakan. Bobot makna bervariasi, tapi semua punya kesamaan dalam mengisi lalu waktu di ruang fisik dan hatiku. Namun adakalanya ketika terpaksa semua selesai, aku harus pandai mencari hidupku di dalam segala sepi. Dan pencarian itu tidak boleh menjadi parsel kosong semua. Kalau pun ada, biarlah untukku menyimpan tawa yang tetap harus kupunya. Selebihnya, parsel-parsel itu harus bisa membuatku cukup berharga untuk dinilai.

Maka, disinilah aku. Bagi sebagian orang, aku adalah sosok yang sangat berliku. Kunikmati itu sebagai keindahanku, kawan. Dari sanalah aku mengerti dunia dan bisa memahami banyak orang dengan caraku. Dan membuatku bisa mencintai onak duri seperti yang dirasakan relung hati cermin kecilku . Tahukah kalian, fase ini bukanlah diriku yang dulu. Langkah ini sudah begitu jauh melampaui yang mampu kulakukan dulu. Bila duniaku kini memberiku jendela besar untuk melihat dan menghirup angin segar, maka akan kujadikan kekuatanku untuk mempelajari hidup dan memiliki cinta yang lebih banyak. Meski kadang datang juga kesulitan di dalamnya.

Lalu, pantaskah aku kemudian mengeluh lagi?

untuk semua teman dalam hari-hariku….