Ada seorang kakak iparku yang terkenal paling putih, lumayan cantik, satu-satunya yang berbahasa ibu ala mang Kabayan, dan tinggal dalam satu komplek perumahan denganku. Dari begitu banyak keistimewaannya, ada satu hal yang selalu menjadi pembicaraan dan bahan ledekan jika kami sedang berkumpul keluarga besar. Kebiasaannya bersih-bersih dan terlalu bersih. Terlalu bersih? Begini ceritanya.
Setiap kali ada peristiwa kumpul di rumahnya, jarang terjadi dia akan diam lama ngeriung bersama kami. Yang dia lakukan adalah sebentar-sebentar menyapu apa saja yang sedikit saja tercecer di lantai rumahnya. Bahkan jika kotoran itu adalah beberapa helai rontokan rambut, maka akan dia punguti helaian-helaian itu satu persatu. Atau dia akan membereskan meja tempat kami meletakkan gelas minum, untuk membawa gelas-gelas itu segera ke bak cuci piring. Maka, jika tidak ingin kebingungan mencari kemana perginya gelas yang bahkan baru sekali teguk itu menghilang, sebaiknya jadikan gelas itu jimat yang kami bawa kemanapun kami melangkah.
Pernah juga terjadi ketika kami diajak ke rumah kakaknya dan disuguhi buah kelengkeng. Kulit kelengkeng kami kumpulkan menjadi satu di meja dihadapan kami dengan harapan nanti setelah kami puas menyantap kelengkeng yang ada, barulah tumpukan sampah itu kami buang sekaligus. Apa yang terjadi? Baru juga menjadi timbunan kecil saja, kakak iparku ini sudah mengambil untuk membuangnya. Tentu saja ini sontak menghentikan kegiatan kami memakan buah-buah kelengkeng. Kami jadi merasa sangat tidak enak hati, takut jika kami memang betul-betulmengotori rumah kakaknya. Padahal….kakaknya sendiri sampai malu dan takut dikira tidak menjadi tuan rumah yang baik, yang ikhlas menjamu para tamunya.
Maka tidak heran, jika kami seringkali berpikir ulang jika ingin berkumpul di rumahnya. Tentu saja, selain sungkan, kami juga menjadi merasa tidak nyaman dan seolah mengganggu dan merepotkannya saja.
Sebagai salah satu akibat rasa sungkan itu, maka jika acara kumpul-kumpul itu akan dilaksanakan, sasarannya adalah rumahku. Tempat yang lumayan cukup besar, dan tidak akan merasakan perasaan sungkan dan tidak nyaman itu. Silakan saja yang ingin makan, kongkow dimanapun dan kamar manapun yang ingin dijajah, setiap sudut rumah bisa dipergunakan dengan bebas. Tempat sampah tersedia cukup banyak, jika mereka tidak malas untuk membuang sampah langsung kesana. Jika memang malas, yah…tumpuk di meja. Tapi, jangan lupa saat akan meninggalkan rumah, bantu memasukkannya ke tempat sampah…heheheh !
Tidak, keluarga bebas melakukan apapun di rumahku.
Lalu, apakah ada akibat tidak enaknya bagiku? Mmmm…kalau aku sedang berjalan keliling rumah untuk sebuah tujuan, maka tampaklah olehku hal apa yang sangat mencolok mata. Bantal-bantal di kedua kamar, termasuk kasur-kasur gulung, mainan, kertas-kertas,akan bertebaran oleh tangan dan tingkah keponakan-keponakan kecilku. Tentu anakku juga senang mendapat sedikit peluang untuk tidak dimarahi ibunya selama beberapa jam membuat rumah berantakan. Puyeng kepalaku memang langsung terasa, namun aku toh baru bisa membereskan itu semua setelah mereka pulang. Dan benar-benar menjadi pekerjaan besar untuk bersih-bersih, meski waktu sudah menunjuk jam 10 malam. Malam-malam menyapu, apa boleh buat…..Beruntung beberapa saudara dan biasanya adalah adik-adik iparku, rela membantu pekerjaan sapu jagad itu. Jika tidak, entah jam berapa aku baru bisa membaringkan diri di tempat tidur.
Lalu, kemana kakak iparku yang cantik dan kepala cleaning service itu? Di rumahku, dia bisa duduk tenang, tidak menyentuh apa pun saat bercengkerama. Dan dia juga ikut membantu acara bersih-bersih malamku. Tapi, tahukah apa jawaban dia ketika secara iseng dan sambil lalu kukeluhkan tentang anak-anak dan hasil kerja mereka membuat angin ribut? ” Udah, biarin aja dulu…nanti saja kalau mereka pulang baru dibersihkan..”
Kontan aku menganga heran. Mengapa kata-kata itu bisa ada di sana, sedangkan para krucil itupun ikut sungkan jika di rumahnya?
Komentar Terbaru