Bersih-bersih Mbikin Sungkan ?

28 02 2007


Ada seorang kakak iparku yang terkenal paling putih, lumayan cantik, satu-satunya yang berbahasa ibu ala mang Kabayan, dan tinggal dalam satu komplek perumahan denganku. Dari begitu banyak keistimewaannya, ada satu hal yang selalu menjadi pembicaraan dan bahan ledekan jika kami sedang berkumpul keluarga besar. Kebiasaannya bersih-bersih dan terlalu bersih. Terlalu bersih? Begini ceritanya.

Setiap kali ada peristiwa kumpul di rumahnya, jarang terjadi dia akan diam lama ngeriung bersama kami. Yang dia lakukan adalah sebentar-sebentar menyapu apa saja yang sedikit saja tercecer di lantai rumahnya. Bahkan jika kotoran itu adalah beberapa helai rontokan rambut, maka akan dia punguti helaian-helaian itu satu persatu. Atau dia akan membereskan meja tempat kami meletakkan gelas minum, untuk membawa gelas-gelas itu segera ke bak cuci piring. Maka, jika tidak ingin kebingungan mencari kemana perginya gelas yang bahkan baru sekali teguk itu menghilang, sebaiknya jadikan gelas itu jimat yang kami bawa kemanapun kami melangkah.

Pernah juga terjadi ketika kami diajak ke rumah kakaknya dan disuguhi buah kelengkeng. Kulit kelengkeng kami kumpulkan menjadi satu di meja dihadapan kami dengan harapan nanti setelah kami puas menyantap kelengkeng yang ada, barulah tumpukan sampah itu kami buang sekaligus. Apa yang terjadi? Baru juga menjadi timbunan kecil saja, kakak iparku ini sudah mengambil untuk membuangnya. Tentu saja ini sontak menghentikan kegiatan kami memakan buah-buah kelengkeng. Kami jadi merasa sangat tidak enak hati, takut jika kami memang betul-betulmengotori rumah kakaknya. Padahal….kakaknya sendiri sampai malu dan takut dikira tidak menjadi tuan rumah yang baik, yang ikhlas menjamu para tamunya.
Maka tidak heran, jika kami seringkali berpikir ulang jika ingin berkumpul di rumahnya. Tentu saja, selain sungkan, kami juga menjadi merasa tidak nyaman dan seolah mengganggu dan merepotkannya saja.

Sebagai salah satu akibat rasa sungkan itu, maka jika acara kumpul-kumpul itu akan dilaksanakan, sasarannya adalah rumahku. Tempat yang lumayan cukup besar, dan tidak akan merasakan perasaan sungkan dan tidak nyaman itu. Silakan saja yang ingin makan, kongkow dimanapun dan kamar manapun yang ingin dijajah, setiap sudut rumah bisa dipergunakan dengan bebas. Tempat sampah tersedia cukup banyak, jika mereka tidak malas untuk membuang sampah langsung kesana. Jika memang malas, yah…tumpuk di meja. Tapi, jangan lupa saat akan meninggalkan rumah, bantu memasukkannya ke tempat sampah…heheheh !
Tidak, keluarga bebas melakukan apapun di rumahku.

Lalu, apakah ada akibat tidak enaknya bagiku? Mmmm…kalau aku sedang berjalan keliling rumah untuk sebuah tujuan, maka tampaklah olehku hal apa yang sangat mencolok mata. Bantal-bantal di kedua kamar, termasuk kasur-kasur gulung, mainan, kertas-kertas,akan bertebaran oleh tangan dan tingkah keponakan-keponakan kecilku. Tentu anakku juga senang mendapat sedikit peluang untuk tidak dimarahi ibunya selama beberapa jam membuat rumah berantakan. Puyeng kepalaku memang langsung terasa, namun aku toh baru bisa membereskan itu semua setelah mereka pulang. Dan benar-benar menjadi pekerjaan besar untuk bersih-bersih, meski waktu sudah menunjuk jam 10 malam. Malam-malam menyapu, apa boleh buat…..Beruntung beberapa saudara dan biasanya adalah adik-adik iparku, rela membantu pekerjaan sapu jagad itu. Jika tidak, entah jam berapa aku baru bisa membaringkan diri di tempat tidur.

Lalu, kemana kakak iparku yang cantik dan kepala cleaning service itu? Di rumahku, dia bisa duduk tenang, tidak menyentuh apa pun saat bercengkerama. Dan dia juga ikut membantu acara bersih-bersih malamku. Tapi, tahukah apa jawaban dia ketika secara iseng dan sambil lalu kukeluhkan tentang anak-anak dan hasil kerja mereka membuat angin ribut? ” Udah, biarin aja dulu…nanti saja kalau mereka pulang baru dibersihkan..”
Kontan aku menganga heran. Mengapa kata-kata itu bisa ada di sana, sedangkan para krucil itupun ikut sungkan jika di rumahnya?





Eksperimen

23 02 2007

Yang dulu tidak pernah kubayangkan saat mencoba memasuki dunia blogger adalah liku-liku pembelajaran tentang dunia internet khususnya yang menyangkut apa dan bagaimana dalam menjalankan sebuah blog. Ya, aku dulu hanya berpikir tentang belajar menulis dengan baik dan mengungkapkan rasa secara runtut dan komunikatif dalam barisan huruf, kata, kalimat hingga paragraf. Ternyata kenyataannya aku harus mengenal lebih jauh bahasa-bahasa yang jauh lebih sulit dari sekedar alfabet. Waktu yang dibutuhkan, layaknya aku seorang analis komputer saja, bisa sehari penuh tanpa lupa meninggalkan kondisi kepala yang berdenyut dan mata berkunang-kunang.

Selanjutnya, aku harus meluaskan wawasan dan menuruti kegemaranku membaca. Maka, mulailah berkelana ke berbagai alamat para blogger. Akibatnya, aku seperti orang desa masuk kota besar, ternganga dan bercucuran liur melihat banyak ragam tampilan blog yang begitu indah, mengagumkan, dan tulisan yang mengasyikkan untuk dibaca. Dalam benakku berputar pertanyaan mendasar, bagaimana mereka bisa melakukannya, membuat blognya tampak begitu indah dan canggih? Bermodalkan kewibawaan seorang tante terhadap keponakan di negara Sakura, hampir setiap hari aku mendapat kursus kilat HTML, melalui jendela obrolan yang terkenal. Antara mengerti dan tidak, kujalankan semua informasi yang kuterima sesuai kebutuhanku. Sulit menghafal, copy-paste adalah jalan termudah. Semakin lama, mungkin permintaanku membuat keponakanku menjadi stress, hingga dia lebih baik menghilang dari peredaran. Maka, mulai lagi kugunakan jejak perasaan dan naluriku untuk mendapatkan yang kuinginkan, termasuk tampilan impian. Tampilan yang tidak akan disamai oleh blogger manapun. Cara termudah, tentu saja memasang latar belakang foto diri.

Latar belakang foto diri akhirnya berhasil membuat aku senang. Bukan soal ingin dipuji cantik tidaknya atau merasa tiba-tiba menjadi artis, tetapi sekali lagi, aku memiliki identitas. Tidak ada yang menyamai. Dan yang lebih membuatku senang, aku melakukannya dengan tangan, hati dan pikiranku sendiri untuk meramu berbagai resep yang kudapat dari sebuah situs. Bahkan ada satu dua orang yang menanyakan bagaimana caranya membuat tampilan seperti itu. Tentu saja hal ini membuatku tampak seolah pintar. Senang, bangga, namun juga malu jika yang bertanya adalah pemilik sebuah blog canggih. Namun itu ketika fasilitas gratis yang kudapat ini masih dalam versi lama. Sekarang, aku sudah hengkang dalam versi barunya, BETA. Tampaknya versi baru ini memiliki banyak fasilitas bagus dan menarik seperti yang bisa dimiliki blog bergengsi ini. Sayangnya, yang kuunduh belumlah dalam kondisi lengkap sehingga ketika ibu tetangga ini mencoba membantu, yang terjadi justru tekanan darahnya mungkin mendadak naik hampir pecah. Aku merasa begitu kecil. Dimarahi ( ah, ini kulebih-lebihkan saja) seorang seleblogger, sebuah kemewahan yang menciutkan memang. Untung, akhirnya dia mengerti apa masalah yang sebenarnya terjadi, dan bukan salahku.

Akhirnya, sekarang aku betul-betul mengunduh secara lengkap fasilitas yang ada, meski aku harus kembali sama dengan tampilan di tempat lain. Rencanaku, suatu hari nanti akan kubuat lagi sebuah identitas yang khas menjadi milikku, meski harus operasi plastik berulang kali. Namun, pagi ini aku sudah menerima tanggapan dari teman berbagi pacarku itu. Dia memuji tampilin kali ini, dengan ancaman….”Awas kalau pasang background kemarin…sakit mata !”
Oh..teganya dia…..apa yang harus kulakukan, teman?





Timbangan Kasih Sayang

20 02 2007


Rumah Bapak dan Ibu sudah semakin bersih dari sisa banjir. Untuk kembali ditinggali tentu juga sudah sangat memungkinkan. Maka, setelah 2 minggu lebih berada di rumahku, hari Minggu kemarin beliau kembali ke sana. Bapak, memang sempat melihat kondisi rumah setelah kerja bakti kami waktu itu. Tapi Ibu, sejak terakhir melihat keadaan porak poranda paska banjir, memang baru kemarin itu beliau melihat kembali kondisi terkini kediamannya.

Yah..masih ada kekhawatiran kami keadaan kacau akan terulang, mengingat hujan kembali turun cukup deras beberapa hari ini. Namun, toh mereka harus kembali kesana. Seandainya terjadi yang kami takutkan, maka diputuskan untuk mengulangi kembali proses evakuasinya.
Yang terpenting, mereka bisa beristirahat seperti yang seharusnya disana. Bagi kami, tidak lagi ada berbagai pikiran selain keadaan baik-baik saja untuk keseharian Bapak Ibu.

Tapi telepon Ibu di keesokan harinya justru membuat aku tertegun dan tak bisa bicara.
” Terima kasih untuk semuanya. Rumah Ibu bersih sekali…Ibu Bapak juga senang selama beristirahat di tempatmu. Bapak Ibu terharu, anak-anak mengerti semua pada keadaan orangtua…..”

Apa yang sudah kami kakak beradik anak menantu lakukan ? Bagi kami, tidak ada yang istimewa. Bagi kami, itu sudah kewajiban yang tidak memerlukan apresiasi apa-apa. Bagi kami, Bapak Ibu bisa senang. Lalu jika memberikan keharuan bagi beliau, hingga harus terucap kata Terima Kasih …sama sekali tidak kami duga. Semua tidak ada artinya dibandingkan segala doa beliau untuk setiap putra putrinya. Bukan sebuah pekerjaan besar dibandingkan bertahun asuhan yang diberikan untuk kami.

Ibuku menangis haru…aku cuma terdiam, malu……..malu untuk terima kasihnya, malu untuk pujiannya…….malu untuk timbangan yang tak sebanding ini….





Mengenang Masa Lalu

16 02 2007

Bagi banyak orang, mengenang masa lalu yang manis, indah dan mungkin juga lucu, benar-benar merupakan hal yang menyenangkan. Dalam waktu sekian detik dan menit yang diperlukan untuk prosesi nostalgia itu, rasanya kita kembali menjadi muda dan menghayati ketuaan saat ini sekaligus. Detik dan menit yang dibutuhkan untuk mengingat dan mengenang apa saja yang pernah ada, terjadi dan siapa saja yang berperan di dalamnya, lantas cepat sekali berubah menjadi jam yang tidak sepenuhnya kita sadari. Segala kerinduan seolah tak habis digali dari simpanan memori dan sejarah yang kita miliki. Terlebih jika kemudian ditemani oleh beberapa lembar gambar nyata pada saat sejarah itu sedang dilukiskan, secangkir kopi panas dan pisang molen hangat, lengkap sudah keindahan ritual perjalanan menembus waktu itu.

Beberapa hari lalu, Hany, teman masa lalu dan penguasa jagad bintang matahari, memulai ritual ini. Tak berhenti disana, ia juga menantangku melakukan ritual yang sama di halaman ini. Maka, hari ini kujawab tantangan itu dengan suka cita. Lalu mengapa tiba-tiba ritual ini dimunculkan kembali saat ini, mestinya Hany memiliki alasan sendiri. Tapi, mestinya aku boleh menebak satu saja alasan yang mungkin muncul di kepalanya. Atau , setidaknya, alasan itulah yang terpikir olehku sewaktu menyanggupi membuat cerita ini. Alasan itu adalah karena beberapa waktu sebelum ini juga, kami sempat berbincang ramai di jendela dunia maya dan mulai mengeluarkan cerita-cerita kuno lucu, dan ada juga rahasia yang baru diungkap saat itu. Tiga orang dari kami kini menjadi seorang blogger. Dan kami tentunya berharap, makin banyak lagi teman masa lalu kami yang bisa kami temukan di dunia para blogger. Dengan begitu, kami tetap bisa melakukan reuni meski secara fisik masing-masing telah dibatasi oleh jarak , waktu dan kesibukan yang beraneka ragam.

Beruntung aku masih bisa menemukan lembaran-lembaran yang mengharu biru perasaan ini. Maksudku adalah, album kenangan itu kusimpan di rumahku sendiri. Seandainya album itu tetap kutitipkan di rumah ibuku, mungkin nasibnya akan berbeda mengingat banjir besar kemarin telah menghancurkan banyak album kenangan yang tak sempat diselamatkan.

Kalau sudah begini, mungkin bagi yang masih belum tahu bagaimana penampakan Hany waktu dulu, lihat saja beberapa foto ini ( bukan yang dari masa kuliah ) dan carilah sosok perempuan imut dengan rambut potongan lelaki. Ada juga temanku di foto-foto itu, yang kini menjadi suami Hany, tapi…sebaiknya tebak saja sendiri oknum mana yang telah menawan hatinya. Silakan dipandangi sepuasnya !





Berjuang Reparasi Rumah !

12 02 2007

Beberapa hari setelah air surut dari rumah Bapak Ibu di Sunter dan kami mendapatkan hari yang tepat, maka hari Minggu kemarin mulailah menyingsingkan lengan dan berpakaian dinas . Dengan sedikit merayu ibu agar berdiam diri saja di tempat pengungsian di pondokku dan mengambil kesempatan saat bapak terlelap, kami berangkat dalam 2 kendaraan. Pasukan yang terdiri dari 2 keluarga ditambah 2 tenaga sewaan, kami siap bertempur dengan segala situasi. Di rumah bapak ibu sendiri telah menunggu 2 orang penjaga rumah– yang sudah sedikit menyelamatkan barang-barang yang ada– sehingga jumlah kami mencapai 12 orang.

Rumah itu sangat menjijikkan saat kami tiba disana, dengan segala bau yang ada dan penempatan barang yang ala kadarnya. Dengan membawa berbungkus-bungkus karbol, sikat, detergen, plastik sampah, sarung tangan bahkan hingga penyemprot air bertenaga besar, dimulailah pesta besar kami. Untuk meramaikan suasana dan menekankan keseriusan kerja kami, tentu saja segala teriakan tentang apa yang harus dilakukan terus on air laksana radio tempatnya om ini bekerja. Meski sebenarnya repot sekali, namun bergotong royong dan bersimbah air dan detergen ini tampaknya menyenangkan juga, karena si bungsuku Rayi tertawa-tawa dan kadang sengaja meluncurkan dirinya di genangan air dan sabun yang kami semprotkan ke sana kemari.

Bukan cuma itu, kami juga harus merelakan beberapa kursi dan bufet rotan yang lapuk dan tak mungkin diperbaiki lagi, mumpung juga di luar pagar banyak berkumpul para pemulung yang siap menerima rejeki itu. Segala otorisasi pembuangan itu ada pada kami, tanpa perlu kami tanyakan pada sang pemilik sahnya yang sengaja kami tinggalkan demi kelancaran pekerjaan dan demi kesehatan sang empunya rumah juga.

Sebenarnyalah, rumah itu selayaknya lebih baik dipindahtangankan dan biar mereka bergabung dengan salah satu dari ke lima putra putrinya. Namun karena satu dan lain hal, maka keterpaksaan seperti ini harus kami hadapi. Yang penting, pada saatnya nanti bapak ibu ingin kembali pulang, mereka tidak perlu lagi melihat kekacauan yang ada. Tidak mungkin selesai dalam satu hari memang, mereparasi rumah sebesar milik bapak ibu. Namun, setidaknya kami berusaha membuatnya tampak lebih manusiawi untuk bisa disebut sebagai rumah. Dan terpenting, bisa kembali kami gunakan untuk berkumpul dan berbagi cinta jika pemilik rumah pengungsian dan juragan cinta sedang lelah.

Hanya ada satu catatan di tengah pesta besar reparasi rumah ini. Saat tengah senangnya membuang segala yang tampak tak perlu dan tak sedap dipandang mata, tiba-tiba aku mendapat perasaan tidak enak. Aku merasa sedang menjadi bintang film kartun, melayang dan….benar saja…tak berapa lama dari saat itu, tubuhku ini mendarat kembali di lantai basah bergenangan air detergen. Sepersekian detik yang ada, masih sempat kugunakan untuk mengatur bagaimana posisi terbaik untuk mendarat agar tidak membahayakan bagi keutuhan bentuk kepala dan punggung yang kupunya. Hasilnya cukup memuaskan, karena hanya menyisakan sebelah bokong (jujur, aku tidak menemukan istilah yang tepat agar lebih sopan) memar dan siku sedikit berdarah. Lokasi jatuh, ada di deretan foto berikut, dipintu sebelah kanan dimana 2 pintu bersebelahan dan di depannya bisa digunakan untuk mengorok.
Yang lebih indah dari itu adalah komentar Pak ubanku tersayang,” ah, untung lantainya tidak retak…” Oh, Pak Ubaaaannn…..untung aku masih sayang kamu…..





Mencari Kenikmatan Dalam Kesulitan

7 02 2007
Gambar diambil dari sini

Beberapa hari terakhir merupakan hari terdingin sekaligus terhangat dalam kegiatan harianku. Jakarta seperti terkena tsunami tatkala hujan lebat terus turun dan tak ada lagi yang dapat membendung aliran airnya. Rumahku yang berada di pinggiran kota Jakarta bahkan cenderung ke arah Depok dan Bogor, tentu saja tidak mendapatkan paket air dalam jumlah besar itu. Tapi di dalam kota di sana, masih ada bapak ibuku yang hanya hidup berdua saja. Jadilah di hari pertama air itu mulai meninggi, evakuasi dengan segala upaya dan peralatan dilakukan demi membawa mereka bersama kami. Dan biarlah rumah yang terendam kami titipkan pada penjaga rumah untuk waktu yang tak bisa kami perkirakan.

Segala aktifitas harian mendadak terhenti dan hanya berpusat di rumah saja. Ada Pak Uban yang tidak bisa bekerja, keponakan yang harus meninggalkan tempat kost namun juga tak dapat pulang ke rumahnya, ada pula calon dokter yang harap-harap cemas akan datangnya ujian sementara kegiatan perkuliahan masih berada di tengah kota yang terendam. Semua berkumpul di tengah minggu di rumahku, tempat yang curah hujannya sangat tinggi namun bebas banjir.

Suasana saat itu indah, begitu mirip lirik lagu Vina Panduwinata….Sangat dingin, namun ada kehangatan juga . Kami memiliki tambahan waktu untuk berkumpul, bercengkerama, bermain dan menonton film bersama. Meski harus tidur di atas kasur-kasur lipat karena keterbatasan kamar yang kami miliki, namun jika berdesakan dan berbagi selimut serta bantal guling seperti itu, rasanya lebih nikmat dari semua hotel bintang lima sekalipun. Kami memangsa segala makanan yang ada di depan mata, terlebih segala bentuk gorengan hangat yang ditemani minuman panas kegemaran. Bahkan sempat terpikir oleh mereka untuk banjir ini bisa bertahan lebih lama agar kebersamaan itu tidak segera berakhir. Tuan rumah pun sama beratnya jika harus melepas mereka kembali ke bawah atapnya masing-masing.

Namun, segala kesulitan toh harus diakhiri juga, terlebih demi mereka yang tidak memiliki kenikmatan dan kemewahan berkumpul seperti kami. Hidup harus berputar kembali pada jalurnya yang benar, dan kami tinggal mengenang saat-saat itu dalam bagian yang paling dalam di hati kami. Kesempatan berkumpul memang terbentang luas bagi keluarga kami. Namun ketika terjadi di tengah kesulitan besar seperti kemarin, rasanya kami menikmati lebih banyak lagi. Berjuta hikmah dan kehangatan yang tiada tara, yang harus kami resapi dalam-dalam.

Senang rasanya melihat senyum terkembang di tiap wajah mereka. Dan aku, lebih senang lagi ketika bisa juga menularkan penyakit dan mendapatkan korban baru dari kecintaanku pada beberapa keping cakram film yang….ah, sudahlah…semua juga sudah tahu apa maksudku….





Whatever It Takes…..

1 02 2007

Menjadi seorang Ibu ataupun seorang Bapak, sama berat dan susahnya. Tetapi dalam diri seorang Ibu, sepertinya sudah diciptakan sebuah sistem yang membuatnya bisa tiba-tiba menjadi perkasa ketika harus menjadi orangtua tunggal. Tidak bermaksud mengecilkan arti kaum adam dan ingin berpihak pada kaumku. Namun aku sangat memahami ketika seorang Bapak, yang kukenal pun tidak, segera memutuskan menikah kembali tidak lama setelah kepergian mendiang istri tercinta.

Aku tidak berpikir tentang seonggok nafsu yang menyertai sebuah keputusan untuk segera menikah. Karena disana, ada sebuah tanggungjawab dan rasa cinta. Mata Bapak itu pastilah tertuju pada mata kecil buah hatinya, pada tangan-tangan mungil yang membutuhkan uluran tangan kuatnya, pada hati kecil mereka yang rindu akan kasih seorang Ibu. Disanalah tanggungjawab dan rasa cintanya berpusat. Kepada merekalah hidupnya diabdikan dan Bapak itu harus menempuh banyak cara untuk membahagiakan sang buah hati.

Menjadi orangtua, hampir sama seperti menjadi prajurit. Apapun akan dipertaruhkan demi kehidupan sang buah hati . Manakala hati kecil sang buah hati telah tertambat pada tangan lembut lain untuk membelai puncak kepalanya, maka itulah sebuah pilihan yang pasti. Tidak perlu bicara cinta asmara dulu untuk menyambut kepastian ini, karena dalam hatinya mungkin masih dalam cintanya pada mendiang. Dan cinta juga bisa dipelajari dengan segala kesabaran dan keinginan untuk saling menerima. Yang pasti, ada hidup yang terselamatkan, dan ada juga luka yang ingin disembuhkan.

Kemurnian hati seorang anak, memang bisa memudahkan segalanya yang terasa begitu sulit. Ketika seorang wanita pernah melihat jendela kehidupan wanita lain yang dikenalnya, tidak mudah baginya untuk masuk saat pintu itu terbuka bagi dirinya. Hanya tangan-tangan kecil itulah yang kemudian menguatkan niatnya untuk menerima sang Bapak yang sarat beban.
Maka, dimana letak cinta bagi keduanya?

Melangkahi jalan yang baru bukan berarti kehilangan jalan yang telah lalu, meski tidak perlu kembali kesana. Karena apa yang pernah ditemui dulu, mungkin akan datang lagi pada kesempatan mendatang, dengan bentuk yang mungkin lebih rumit. Hanya, sekali lagi, dengan kesabaran dan keinginan untuk saling menerima, cinta akan tumbuh semakin besar. Dan pengorbanan apapun yang dilakukan saat ini akan menumbuhkan buah manis pada saatnya nanti. Semoga….