Cinta Pada Berpotong-potong Roti

25 03 2022

Pada dasarnya, di awalnya, saya tidak begitu menyukai makanan pokok saya sendiri, nasi. Dulu saya tak banyak memiliki pilihan dan setelah dewasa, saya tetap tak memiliki pilihan ketika harus berhadapan dengan sambel terasi Selebihnya, saya tidak mencari roti kue, sayur dan makanan lain yang mandiri tanpa nasi.

Kenyataan itu, sekarang diwarisi oleh sulung saya. Selera makannya lebih membule’ dibanding adiknya yang lebih tradisional. Maka pernah ada masa, sulung saya itu harus bertemu roti dan meisjes minimal dua tangkap roti sehari. Setiap hari. Saya saja dibuat bergidik dengan kemonotonan itu. Tapi dia sehati dengan eyang kakungnya. Sedangkan si ragil, kadar kegemarannya pada roti meisjes ini tidak segila kakaknya.

Beranjak remaja, kebosanan mulai bisa dirasakan oleh sulung saya itu.

Dia masih makan roti meisjes itu, tetapi tidak lagi setiap hari. Pertama kali menyadari kebosanan itu adalah saat bekal rotinya tidak dimakan habis di sekolah. Saya mulai leluasa memberinya menu sarapan yang berganti-ganti dan memberinya makan siang dengan catering yang ditawarkan sekolah.

Sekarang, roti tawar dan meisjes itu sendiri sudah berbalik menjadi seperti momok di rumah ini. Kenapa menjadi terdengar menyeramkan? Semuanya karena sang eyang kakung menjadi tetangga kami. Pengetahuan eyang kakung tentang kesukaan cucunya, tidak terbarui dengan benar. Bisa jadi karena saya, Uban dan anak-anak tidak merasa perlu terus mengumumkan apa yang sedang disukai oleh cucu-cucunya.

Bisa jadi juga, beliau sengaja tidak ingin mendengar perkembangan itu mendengar perkembangan itu karena merasa gembira ada keturunannya yang mewarisi kegemarannya itu. Dan ketika akhirnya tinggal berdekatan seperti saat ini, tampak kisahnya seperti humor yang akan dikenang sepanjang masa.

Setiap sore, si eyang kakung akan membuat beberapa lembar roti meisjes dan menunggu cucunya datang. Pagi hari, sudah ada beberapa lembar roti meisjes dimasukkan bungkusan plastik. Yang terjadi, dua anak saya, juga saya sendiri, akan saling mengingatkan giliran siapa hari itu yang akan membawa ‘trophy’ ke sekolah. Terserah bagaimana caranya roti itu bisa habis, meski artinya banyak teman mereka akan bersorak mendapat bekal gratis. Begitupun, beberapa kali saya masih harus membuang bekal itu karena terlupakan dan akhirnya basi

Tidak hanya sekali anak-anak saya berusaha bicara pada eyangnya untuk tidak setiap hari membuatkan mereka hidangan wajib. Pesan diterima, dan hasilnya adalah menjadi dua hari sekali secara tepat. Luar biasa! Dan meski sesekali eyang ini terlambat bangun dan cucu-cucunya sudah berangkat sekolah, hidangan wajib itu toh masih diantar ke rumah saya.

Seperti pagi ini.

Kami tidak tahu bagaimana menenangkan ‘tembakan roti’ ini. Tampaknya bagi eyang, itu adalah passion. Tak ada juga rasa tega di hati untuk menolak ataupun mengingatkan lagi.

Pikiran saya, seperti biasa, melayang jauh ke depan. Ke masa nanti yang entah kapan. Pasti, akan ada masa bagi kami membicarakan humor ini dengan penuh cinta dan air mata kerinduan. Pasti kami akan selalu merindukan pensiunan tentara yang setia menembakkan mitraliur roti meisjesnya. Kami akan tahu, roti meisjes bisa dibuat oleh siapapun. Tetapi kehadirannya akan selalu dikenang secara berbeda. Dan semua alasan itulah yang membuat kami tidak cukup punya hati untuk berkata TIDAK. Roti meisjes itu hadir hanya karena cinta.

Note: salin tempel dari sebuah catatan di tahun 2009. Lalu, dua tahun kemudian, 10 Maret 2011, eyang kakung ini berpulang.





Kaum Datar dan Secukupnya

18 11 2021

— Kaum Datar dan Secukupnya —

Iya, cenderung datar dalam menunjukkan sesuatu terkait rasa. Tak pernah menjadi sangat.
Jika suatu saat terjadi begitu tampak nyata, maka itu adalah ledakan yang tersimpan setelah melalui jalan panjang diam.

Ketika saya berjuang memasuki dan menekuni dunia yang boleh dibilang baru, meski pernah tetapi tak seserius ini, mereka para lelaki kaki panjang ini seolah tak banyak bereaksi. Tak banyak bicara.
Padahal, sesungguhnya mereka hadir di saat yang tak saya minta tetapi saya butuhkan.

Saat saya ragu, belahan jiwa saya itu memerintahkan untuk lanjut. Jika keraguan saya tak juga reda dan hampir pergi, dia memarahi saya. Lanjut!
Ya, dengan kata dan mimik seru, serius.

Saat saya merasa cukup dengan peralatan lama bekas pakai, anak mbarep memfasilitasi dengan yang sangat baru dan dikhususkan bagi saya. Tak perlu meminjam.

Saat saya harus menerima tamu banyak, ragil akan memberikan semua yang dia punya termasuk tenaganya, bahkan keinginan makannya. Dia akan menunda makannya, menunggu hingga saya selesai dan bisa mengambilkannya sepiring nasi.

Saat saya perlu seluruh sumber daya untuk sebuah perhelatan “besar”, mereka semua mengatur yang diperlukan, memberikan tenaga dan pikiran, lalu bersembunyi tak ingin ditampilkan. Lalu hingga akhir membereskan residu yang ada. Dan semua santai bercanda dan tertawa.

Pagi ini, sarapan bersama, saya bercerita. Bahwa saya memasuki tahap baru yang lebih sulit. Dan biasanya, saya tak mampu menghentikan ketika sudah duduk memusatkan mood dan pikiran. Jika harus terpotong sesuatu hal, termasuk kedatangan tukang sayur, semua itu harus saya cari lagi dari awal, sehingga lebih baik saya menunggu hingga semua tugas negara selesai. Begitu.

Sarapan selesai, semua kembali pada kegiatan masing-masing. Pak Uban sambil akan menutup pintu kembali pada perbengkelannya, bertanya dengan senyum, “Jadi, nanti tukang sayur datang, mau beli atau bilang apa?”
Buat saya, ini pengertian luar biasa yang datang tanpa diminta.
“Kalau saya belum duduk mengetik, ya saya akan bisa diganggu.”

Mereka tak membaca karya saya, memang. Karena bukan seleranya. Tak membantu menjualkan juga. Tetapi mereka memberi ruang dan membebaskan saya bergerak sesuai keinginan. Memberi dukungan tak henti dalam bentuk lain yang tak tampak oleh orang luar.

Demikianlah iklim yang kami miliki di rumah. Tidak mengatur, tidak memaksa, tetapi memahami siapa membutuhkan apa.
Alhamdulillah.





Kering, Gering

7 10 2021
Kutajamkan telinga,
Ingin kumengerti sang burung dalam bahasa cuitnya.
Adakah dia sekadar bernyanyi, menangis, atau tertawa,
Aku cuma mengira.

Kucari teman bergandengan,
Biar seperti kaki sepasang belajar berjalan.
Tapi kutemui halimun,
Dan kau berceloteh tentang bayangan.

Tanganku mengering
Gering





Rindu yang Serba Salah

26 09 2021

Memanglah, rindu itu akan selalu berulang. Dituntaskan sekali, diberi jeda, pada saatnya yang berlalu sekian waktu akan terapung kembali. Beberapa rindu bahkan tak mungkin terobati tuntas ketika terantuk pada sosok yang pergi tanpa jalan kembali. Tetapi pada yang ada, segala upaya pasti ditempuh untuk dibayar lunas.

Tetapi masa ini, untuk kesekian kali, harus kusebut masa terburuk. Perjumpaan harus dipikir masak, bercerita dan terbahak dilarang lepas. Seberapa kuat dan lama manusia bertahan?

Katakanlah setengah nekad, setengah membangkang. Setelah memastikan beberapa ukuran, semua kata ‘Jangan’ itu, akan ditinggal entah di mana.

Demi menekan rasa tersumbat yang bisa meledak, memutar otak untuk tetap tertawa. Berkreasi dalam pengap tekanan.
Malam minggu, harus dinikmati dengan banyak cara.
Semoga perlindungan itu selalu ada.

#jurnalseptember

#perlima





Menyapa Orang-orang di Menara Gading

19 09 2021

— Menyapa Orang-orang di Menara Gading —

Seorang teman, pernah menyebut saya adalah makhluk kuno dan langka –extinct, dalam istilahnya– bertahun lalu. Saya hanya tertawa, tak tahu tentang apa, atau harus bagaimana. Saya tak menilai diri sendiri, kan? Seiring waktu, saya menemukan apa yang dimaksud.

Salah satu kekolotan saya, adalah sulit untuk bisa mendekatkan diri dengan orang yang saya posisikan sebagai guru secara resmi. Dalam sebuah program belajar. Hampir pasti, saya tak akan berani menyapa mereka dalam suasana santai, dalam situasi pertemanan. Jika terjadi, pasti melalui beberapa tahapan mengamati dan mencoba. Lebih banyak didahului untuk didekati oleh para guru itu.

Tak ada kosa kata santai yang saya miliki untuk berkomunikasi dengan mereka. Hampir pasti, sikap saya secara otomatis resmi, menghormat. Rasa terima kasih pun disampaikan resmi dalam kata. Jika ingin bertanya di luar waktu resmi belajar, maka saya akan bertanya untuk meminta izin lebih dahulu. Di hadapan banyak orang, sesama peserta kelas.

Begitu pun dengan guru baru ini, yang oleh kalangan teman-teman baru saya, dipandang sebagai maha guru. Guru yang paling berpengaruh dalam proses pembelajaran, selain ibu kepala sekolah yang lebih ‘nyemanak’.

Dan siapa sangka, dari bertanya di luar kelas, ungkapan terima kasih, beliaulah yang kemudian menyapa saya lebih dulu dalam suasana lebih santai. Lebih santai. Lalu mulailah saya masuk dalam mode melunak. Mengikis rasa takut, mengubahnya menjadi lebih bersahabat. Bertukar pikiran dan cerita dalam keilmuan.

Hingga akhirnya, kemarin. Saya mengajak ‘ngopi’, ritual andalan untuk bersosialisasi. Tentu saja karena ada yang menemani, hingga saya berani melakukannya.

Dan sesuatu yang luar biasa adalah, beliau berkenan memilih untuk bersantai di padepokan sederhana milik saya, ketimbang tempat-tempat ngopi yang semula saya ajukan.
Jadilah kemarin satu hari menimba ilmu tambahan, yang akan saya pupuk dalam benak untuk –semoga– menambah kecintaan dalam bidang baru ini. Seperti dulu pernah saya lakukan dengan kecintaan lama yang harus saya tinggalkan. Ngangsu kawruh dengan mendengar para maestro bercerita.

Alhamdulillah.
Maturnuwun, guru.
Untuk ilmu dan kerendahhatiannya.
Sebuah kehormatan untuk saya, untuk kami.





Maafkan Ibu Menyiksa Kalian

7 09 2021

Sudah bukan rahasia jika di rumah ini tak suka makanan pedas. Cabe, rasa pedas, hanya dijadikan latar belakang dan hiasan dari hidangan. Apa pun masakan yang datang dari luar rumah ini dan tampak pedas, akan dihindari, melalui beberapa lapis kurasi penghuninya.

Siang ini, tukang sayur langganan tak datang. Setelah kemarin diliburkan karena bahan masakan dibeli cukup untuk dua hari. Untuk hari ini meski tukang sayur tak datang, beruntung masih memiliki sisa bahan yang bisa direka-reka menjadi lauk. Dan tak ada rencana membuat masakan pedas, tentu saja.

Tetapi, ibu baru saja membuat chili oil pesanan teman. Belakangan hari, cabe kering yang ibu beli terasa lebih pedas karena ketika diamati ada cabe-cabe oranye dengan bentuk lebih kecil. Sepertinya cabe rawit merah ukuran gajah. Bukan cabe merah besar. Lalu dimulailah….

Ibu tak suka repot memasak dengan banyak peralatan. Maka, memasaklah ibu menggunakan pan yang baru saja digunakan membuat chili oil. Menyadari pedasnya cabe kering tadi, pan dikeringkan semaksimal mungkin, tetapi tetap tanpa dicuci. Bahkan karena masih ada sedikit sisa minyak, meski sudah dikeringkan, tidak ditambahkan lagi minyak baru.

Ternyata, tetap saja aroma pedasnya menguar terkena panas api. Saus tomat, gula garam, saus masak, bahkan air yang ditambahkan, tak mampu menghilangkan aroma itu.

Seluruh makhluk rumah ini, yang di lantai bawah hingga lantai atas bersin-bersin hebat. Terbatuk-batuk. Dan pilek mendadak. Apalagi ibu yang memasak, berkali-kali harus berlari ke wastafel untuk membuang ingus sebagai dampak ikutan bersin-bersin itu.

Kata anak-anak,”Bu, masakannya jahat?”

Tetapi juru masaknya tetap ibu. Tetapi, ibu tidak jahat. Hanya tak sengaja menyiksa kalian.

#jurnalseptember

#perlima





Tuntas Sudah!

5 09 2021

Tuntas sudah!

Sejak muda dan sudah dalam usia mampu menentukan baik dan buruk, aku termasuk orang yang memahami semua rekomendasi medis untuk kesehatan kita sendiri. Dalam hal ini maksudku adalah vaksin.

Pernah satu kali, aku berjalan kaki ke klinik dekat rumah orangtua –saat masih berstatus mahasiswa– dan meminta vaksin hepatitis. Lengkap dua kali, dan bayar dengan uang sendiri. Dokter sempat memuji kesadaran dan inisiatifku. Yang ingin kukatakan adalah, dengan kesadaran seperti ini jelas tak mungkin termasuk golongan yang menolak vaksin apa pun. Mempertanyakan di awal jika masih ada isu keraguan tentang efikasi dan sebagainya, itu wajar sebagai sebuah sikap kritis untuk suatu hal yang masuk ke tubuh sendiri.

Kemarin adalah jadwal vaksinasi keduaku untuk penanggulangan pandemi. Waktu itu aku ( dan seluruh anggota rumah ini ) aktif mencari di mana bisa ikut vaksin sesuai giliran. Aku akhirnya dapat slot di UPK Kemenkes yang diadakan di Hang Jebat.

Tiga kekasih hatiku masing-masing dengan gilirannya sendiri. Suami di Bank Mandiri Taspen karena panggilan taspen untuk usia lanjut, mbarep di Mall Central Park mengikuti fasilitas kantornya, dan ragil di GBK dengan mendaftar melalui JAKI. Dari berempat ini, sekarang tinggal mbarep yang menanti jadwal penuntasan suntikan keduanya minggu depan.

Alhamdulillah, baik suntikan pertama dan kedua, tidak ada KIPI yang terjadi. Tanpa pusing, demam, atau apa pun. Tidur cukup, makan baik sebelum dan setelah suntik, selalu itu kami usahakan.

Satu hal saja efek psikologis vaksin ini yang harus kuakui. Aku, yang pada dasarnya sangat sebal, marah dan membenci pemakaian masker, merasakan sekali betapa aku ingin segera melepas masker dalam kegiatan dan pergaulanku.

STOP!
Jangan ceramahi soal ini. Keinginan, kemarahan, berbanding terbalik dengan pemahaman akan keadaan. Jujur mengakui ingin melepas masker bukan berarti itu yang sungguh akan kulakukan tanpa melihat perkembangan situasi kasusnya.

Suatu hari kelak, ketika herd immunity terjadi di seluruh dunia, dan covid ini tidak lagi menjadi golongan penyakit luar biasa …

#jurnalseptember

#perlima





Mencari Mata untuk Mencari

4 09 2021

Lagu anak-anak yang kita ingat itu, hanya bicara tentang mata yang tak akan pernah lepas. Yang tak perlu dicari lagi, tetapi sering dituduh hilang ketika tak menemukan yang dicari. Yang bisa rusak, oleh karena perlakuan yang salah pemiliknya dan tak pernah menyadari kesalahannya. Lalu membutuhkan mata lain yang lensanya terbuat dari kaca.

Eeehh manusia, masih juga tak insyaf perilakunya. Mata dari kaca dan dipanggil kaca mata ini pun seringkali tak menempel di depan mata ori di atas batang hidung. Dia bisa tiba-tiba bertengger di kepala saja, atau tergantung di depan dada dengan bantuan rantai, bahkan selembar kain baju. Lalu, sudah seburuk itu perilakunya masih dibuat lebih buruk lagi dengan melupakannya, dan dicari lagi. Menugaskan mata ori tadi mencari lagi. Aku, salah satu manusia buruk perilaku pada mata. Tadi terjadi.

Kaca mataku, ada dua. Satu bertugas melihat jauh bernama tante Minus, satu lagi bertugas melihat dekat bernama bude Plus. Ketika berjalan-jalan seperti tadi saat harus vaksin terakhir, aku bersama tante Minus. Tetapi, ada yang jadi tampak membayang sesuatu yang harus kuperhatikan lebih dekat. Dan aku berkeringat. Tante Minus kuistirahatkan di atas kepala, hingga aku berpindah ruang, sembari melakukan banyak hal kecil yang bisa dilakukan sambil berjalan.

Aku duduk di hadapan seorang petugas muda, pencatat data yang menghadap layar laptop. Tanganku meraba puncak kepala, rindu pada tante Minus. Tiba-tiba, aku panik sendiri. Tante Minus tak bertengger lagi di sana!

Aku berdiri, hingga menyita perhatian anak muda pencatat data itu.

“Ada apa, Bu?”

“Kaca mata saya, jatuh sepertinya.”

“Oh! Itu Ibu sedang pakai”

Kamu tahu, sayang? Aku berharap waktu berputar kembali untuk memperbaiki kekonyolan itu. Tante Minus mungkin tertawa sampai terjengkang.

#jurnalseptember

#perlima





Menanggalkan Tanggalan

3 09 2021

Pernahkah memikirkan bentuk-bentuk benda apa yang sesuai dan tidak untukmu? Untuk rumahmu? Jika tak sesuai, apa yang terjadi? Terganggu, masa bodo, atau mentertawakan kekonyolan karena membiarkannya tetap terjadi?

Terkait tanggalan, dengan bentuk sobek begini, sesungguhnya sangat tak sesuai dengan karakter empat makhluk manis –tua dan muda, lelaki dan perempuan– di rumahku. Makhluk-makhluk yang tak suka repot dengan hal kecil remeh temeh, semacam menyobek tanggalan setiap hari.

Bayangkan saja, tak satu pun dari kami yang setia memeriksa hari ini hari apa dan tanggal berapa. Bahkan pernah ada masa, tahun berlalu tanpa memiliki tanggalan sama sekali di rumah. Sebabnya adalah karena tak ada yang memberi atau membelikan di momen akhir tahun. Zaman seperti ini, selain ingatan yang selalu merekam waktu, hari tanggal selalu bisa diperiksa di gawai masing-masing. Tanggalan cetak fisik hanyalah aksesori dinding atau meja kerja di rumah ini.

Tentu saja tanggalan ini juga hasil pemberian. Oleh salah seorang tetangga. Yang seketika saat diberikan itu saja, aku berpikir, “Siapa yang masih membuat dan mau menggunakan bentuk tanggalan merepotkan begini?” Kata ‘siapa’, ini tentu saja tidak langsung merujuk tetangga yang memberi. Namun lebih kepada jenis pekerjaan atau profesi, atau…entahlah, tak harus berjawab juga.

Tanggalan ini malang saja ada di rumah ini. Yang terpampang di lembarannya dan terlihat mata, biasanya sudah kadaluwarsa parah dari hari yang sedang berjalan. Tak ada yang merobeknya setiap hari. Jika akhirnya dirobek, biasanya lebih karena tak sengaja terlihat, ditertawakan, lalu,”Okelah, kita sesuaikan!” Persis seperti ini. Tanggal 31 Agustus, difoto di tanggal 1 September, dan dirobek di tanggal 3 September. Merobek tiga lembar saja, masih lebih baik dari yang pernah terjadi, bisa hingga lima belas lembar.

Soal repot, belum lagi bicara sampahnya. Kertas yang dirobek, ditanggalkan dari dinding itu. Akhirnya, ditumpuk, dibendel dengan klip kertas, dijadikan tempat mencoret-coret daftar belanjaan atau apa pun. Bahkan maklumi saja jika ada alamat pada paket yang berupa sobekan tanggalan ini. Semua sekadar usaha untuk memperkecil ketidakbergunaannya.

Oh ya, kalau berniat memeriksa hari apa tanggal berapa di saat kita benar-benar lupa hari apa tanggal berapa saat ini, benarkah tanggalan membantu? Tanpa ingatan tertinggal, atau orang lain yang mengingatkan, sebagai petunjuk awal?

#jurnalseptember

#perlima





Selamat Berpisah

2 09 2021

Suatu kali, ada rasa terima kasih bergunung-gunung ingin kuucapkan. Tetapi gudang kataku kerontang. Mereka yang tak berharap apa pun selain langkahku yang panjang mengulaskan tinta, selayaknya menerima lebih.

Terkirimlah kemudian balok-balok kue manis pengganti bunyi yang sembunyi. Harapanku, balok-balok itu bersuara lebih lantang dalam bahasa berbeda. Bersama teh atau kopi, di sore-sore mereka yang mungkin seringkali tenggelam dalam ketak ketuk mesin abjad, gurih legitnya kue itu mestinya adalah teman terbaik. Ia, adalah penyampai pesan terbaik bagiku. Salah satu cerita yang pernah ada.

Cerita lain, balok-balok ini juga pembawa pesan bahagia bagi keriaan sebuah kerukunan. Penambah rasa hangat sebuah keluarga yang merindu untuk bertemu namun terpenjara pagebluk. Memunculkan tawa ria berkepanjangan seperti ketika agustusan di lapangan.

Apa daya, kehidupan selalu memiliki rentang usia. Tersebab jalan yang sepi, atau mungkin runtuhnya tulang pertahanan, begitu pula usia hidup sang balok penyampai pesan. Ia memilih waktunya pergi, dan disampaikanlah pesan-pesan perpisahan pada kami yang kerap menanti kabarnya.

Kami mengerti, banyak hal tak bisa dilawan. Dan kami ingin mengenang saja tentang persahabatan yang pernah ada. Melambaikan tangan, membantu menutupkan matanya, menyimpan yang terbaik di ujung kalimat selamat berpisah itu.

Masa sulit ini milik siapa pun. Setiap saat bisa berakhir, setelah perjuangan panjang. Kalah saat ini, menorehkan pelajaran tentang arti berdiri, bertahan, atau jatuh. Tak ada yang sia-sia. Senang pernah bersama-sama dalam sebuah cerita tentang waktu untuk saling mendukung.

Seperti namamu. Good Life. We, apparently have the good life together.

#jurnalseptember

#perlima