Pada dasarnya, di awalnya, saya tidak begitu menyukai makanan pokok saya sendiri, nasi. Dulu saya tak banyak memiliki pilihan dan setelah dewasa, saya tetap tak memiliki pilihan ketika harus berhadapan dengan sambel terasi Selebihnya, saya tidak mencari roti kue, sayur dan makanan lain yang mandiri tanpa nasi.
Kenyataan itu, sekarang diwarisi oleh sulung saya. Selera makannya lebih membule’ dibanding adiknya yang lebih tradisional. Maka pernah ada masa, sulung saya itu harus bertemu roti dan meisjes minimal dua tangkap roti sehari. Setiap hari. Saya saja dibuat bergidik dengan kemonotonan itu. Tapi dia sehati dengan eyang kakungnya. Sedangkan si ragil, kadar kegemarannya pada roti meisjes ini tidak segila kakaknya.
Beranjak remaja, kebosanan mulai bisa dirasakan oleh sulung saya itu.
Dia masih makan roti meisjes itu, tetapi tidak lagi setiap hari. Pertama kali menyadari kebosanan itu adalah saat bekal rotinya tidak dimakan habis di sekolah. Saya mulai leluasa memberinya menu sarapan yang berganti-ganti dan memberinya makan siang dengan catering yang ditawarkan sekolah.
Sekarang, roti tawar dan meisjes itu sendiri sudah berbalik menjadi seperti momok di rumah ini. Kenapa menjadi terdengar menyeramkan? Semuanya karena sang eyang kakung menjadi tetangga kami. Pengetahuan eyang kakung tentang kesukaan cucunya, tidak terbarui dengan benar. Bisa jadi karena saya, Uban dan anak-anak tidak merasa perlu terus mengumumkan apa yang sedang disukai oleh cucu-cucunya.
Bisa jadi juga, beliau sengaja tidak ingin mendengar perkembangan itu mendengar perkembangan itu karena merasa gembira ada keturunannya yang mewarisi kegemarannya itu. Dan ketika akhirnya tinggal berdekatan seperti saat ini, tampak kisahnya seperti humor yang akan dikenang sepanjang masa.
Setiap sore, si eyang kakung akan membuat beberapa lembar roti meisjes dan menunggu cucunya datang. Pagi hari, sudah ada beberapa lembar roti meisjes dimasukkan bungkusan plastik. Yang terjadi, dua anak saya, juga saya sendiri, akan saling mengingatkan giliran siapa hari itu yang akan membawa ‘trophy’ ke sekolah. Terserah bagaimana caranya roti itu bisa habis, meski artinya banyak teman mereka akan bersorak mendapat bekal gratis. Begitupun, beberapa kali saya masih harus membuang bekal itu karena terlupakan dan akhirnya basi
Tidak hanya sekali anak-anak saya berusaha bicara pada eyangnya untuk tidak setiap hari membuatkan mereka hidangan wajib. Pesan diterima, dan hasilnya adalah menjadi dua hari sekali secara tepat. Luar biasa! Dan meski sesekali eyang ini terlambat bangun dan cucu-cucunya sudah berangkat sekolah, hidangan wajib itu toh masih diantar ke rumah saya.
Seperti pagi ini.
Kami tidak tahu bagaimana menenangkan ‘tembakan roti’ ini. Tampaknya bagi eyang, itu adalah passion. Tak ada juga rasa tega di hati untuk menolak ataupun mengingatkan lagi.
Pikiran saya, seperti biasa, melayang jauh ke depan. Ke masa nanti yang entah kapan. Pasti, akan ada masa bagi kami membicarakan humor ini dengan penuh cinta dan air mata kerinduan. Pasti kami akan selalu merindukan pensiunan tentara yang setia menembakkan mitraliur roti meisjesnya. Kami akan tahu, roti meisjes bisa dibuat oleh siapapun. Tetapi kehadirannya akan selalu dikenang secara berbeda. Dan semua alasan itulah yang membuat kami tidak cukup punya hati untuk berkata TIDAK. Roti meisjes itu hadir hanya karena cinta.
Note: salin tempel dari sebuah catatan di tahun 2009. Lalu, dua tahun kemudian, 10 Maret 2011, eyang kakung ini berpulang.
Komentar Terbaru